Beberapa hari lalu saya berkesempatan ngobrol dengan CEO (chief executive officer) salah satu perusahaan keuangan nasional terkemuka. Entah kenapa saya iseng tanya: “Bapak punya akun Twitter?” Jawab si CEO straight forward: “tidak!” Mendengar jawaban yang konfiden itu saya langsung menimpali: “Kenapa tidak?” Sejurus kemudian si CEO menjawab: “Wah, kita-kita ini banyak urusan, nggak ada waktu untuk twitteran.”
Ungkapan di atas adalah jawaban tipikal yang diberikan oleh kalangan CEO perusahaan besar ketika ditanya apakah mereka menggunakan media sosial untuk berinteraksi dan menjalin hubungan baik dengan stakeholders. Memang saya tak punya datanya, namun dari pengamatan umum yang saya lakukan, sangat sedikit kalangan CEO perusahaan besar yang memanfaatkan Twitter untuk menjalin relationship dengan seluruh kalangan satkeholders perusahaan: pelanggan, karyawan, partner, pers, LSM, dsb.
Too Busy to Tweet
Segudang alasan dikemukakan oleh CEO mengenai kenapa mereka tidak menggunakan Twitter untuk kepentingan strategis perusahaan. Pertama, seperti dikemukakan CEO teman saya di atas, karena mereka terlalu sibuk untuk ngetwit. Mereka merasakan kerepotan luar biasa kalau harus merespons tweet, mention, pertanyaan, atau komentar dari para followers. Sementara, memang jadwal rapat-rapat mereka begitu padat. Resistensi terhadap Twitter ini makin komplit kalau si CEO juga gaptek, alias gagap teknologi.
Kedua, karena para CEO ini menganggap Twitter adalah “mainan anak-anak” yang hanya cocok untuk ABG dan anak SMA/mahasiswa (dan orang tua yang sok muda seperti saya, hehehe…). Mereka menganggap Twitter bukanlah strategic tools untuk mereka. Celakanya, mereka menganggap isi conversation di Twitter hanyalah sebatas obrolan remeh-temeh yang nggak perlu dan tak jelas juntrungan-nya. Karena itu mereka menganggap ngetwit adalah pekerjaan buang-buang waktu yang tidak menghasilkan sales bagi perusahaan.
Ketiga, mereka merasa informasi pribadi atau informasi perusahaan bisa terekspos ke luar jika mereka tiap hari ngetwit. Memang, jika seorang dengan posisi strategis seperti CEO aktif melakukan conversation di Twitter, maka ada kemungkinan informasi perusahaan terekspos ke publik. Informasi-informasi itu bisa menjadi obyek intelijen bagi para pesaingnya, sehingga twit-twit yang dikeluarkan oleh si CEO harus dikelola secara hati-hati. Tak hanya itu, ketika seorang CEO aktif di Twitter, maka dengan sendirinya ia akan terbuka terhadap masukan dan kritik dari followers baik yang membangun maupun yang destruktif.
Hilang Peluang
Apa dampaknya jika CEO dari begitu banyak perusahaan besar di Indonesia tidak menggunakan Twitter? Dampaknya selintas sepele, namun kalau kita telusur lebih lanjut, luar biasa besarnya. Dengan tidak mengadopsi Twitter, Facebook, atau blog, ia akan kehilangan peluang yang luar biasa untuk bisa berinteraksi dan membangun koneksi (emotional connection) dengan pelanggan, karyawan, partner bisnis, dan anggota stakeholders perusahaan lainnya.
Si CEO juga melewatkan peluang untuk menjadi advocator dan evangelist bagi perusahaan yang ia pimpin. Seperti dilakukan Tony Hsieh, CEO Zappos, kehadiran CEO di media sosial bisa mendongkrak corporate brand dari organisasi yang dipimpinnya. Dengan cerdas Tony Hsieh menggunakan Twitter untuk mengomunikasikan nilai-nilai budaya perusahaan (disebut Core Values Frog, CVF) baik secara internal ke seluruh karyawan, maupun secara eksternal ke pelanggan dan stakeholders terkait. Hasilnya luar biasa, reputasi Zappos terdongkrak naik dan ujung-ujungnya sales meroket tajam.
Media sosial seperti Twitter adalah medium yang ampuh untuk mendengar suara konsumen. Karena itu, dengan berinteraksi intens dengan konsumen melalui Twitter, CEO juga bisa mendapatkan insight–insight sangat berharga mengenai produk dan layanan langsung dari tangan pertama di pasar. CEO bisa mendapatkan masukan-masukan bermanfaat dari karyawan mengenai berbagai isu organisasi mulai dari budaya perusahaan, kebijakan-kebijakan yang ia ambil, atau sistem-sistem yang sedang dijalankan. Dengan tidak hadir di jagat media sosial, sekali lagi CEO kehilangan peluang sangat berharga.
Lambat
Beberapa tahun terakhir ini saya intens mengamati penerapan media sosial sebagai strategic tools untuk membangun daya saing perusahaan di Indonesia. Kesimpulan saya, adopsi dan penerapan media sosial ini, khususnya untuk perusahaan besar, berjalan lambat. Memang banyak perusahaan yang sudah punya akun Twitter dan Facebook. Banyak juga yang sudah memiliki corporate blog. Tapi sangat sedikit yang mengelolanya secara benar dan dilandasi pertimbangan-pertimbangan strategis.
Salah satu sebab kuncinya, menurut saya, adalah tak adanya sponsorship dari CEO sebagai pucuk pimpinan perusahaan. Banyak inisiatif penerapam media sosial di perusahaan diprakarsai oleh kalangan manajer di level tengah. Kalangan manajer ini umumnya masih muda dan sangat “social media freak” sehingga mereka sangat exciting dan bersemangat melakukannya. Masalah muncul karena ia tak cukup mendapatkan dukungan dari CEO disebabkan berbagai alasan seperti saya sebutkan di atas.
Kalau sponsorship dari CEO lemah, maka bisa diduga insiatif seambisius apapun akan melempem di tengah jalan. Inisiatif itu kurang mendapatkan resources memadai karena tidak menjadi prioritas perusahaan. Inisiatif itu juga terlokalisir menjadi program taktikal yang punya efek minimal bagi kinerja perusahaan. Kalau sudah begitu maka peran media sosial sebagai strategic tools untuk mendongkrak daya saing perusahaan pun menjadi tak berarti. Tak heran jika kasus-kasus penerapan strategi media sosial yang breakthrough tak kunjung kita dapati di negeri ini.
Indonesia membutuhkan CEO-CEO yang visionary dan berwawasan media sosial. Karena itu melalui artikel ini saya mau curi-curi pasang iklan baris. Bunyinya: “Dicari: CEO Yang Ngetwit!”
4 comments
terima kasih link-nya, jadi nemu akun para ceo di twitter 😉
[…] CEO Yang Ngetwit! Posted: 8 April 2012 in Uncategorized 0 http://www.yuswohady.com/2012/04/07/dicari-ceo-yang-ngetwit/ Share this:Like this:LikeBe the first to like this […]
Waduch…kebayang emang ‘repot’nya si CEO u/ bisa mnjalin komunikasi dua arah dengan semua pihak. BTW… ada jg kan yg ‘nyewa’ admin?hehe..makanya acung jempol 4 deh, buat yg bisa mnjalaninya dg INTENS…*canggih*
Saya dulu awalnya juga mikir apa bisa tiap hari ngetwit, setelah dijalani akhirnya kok jadi kebiasaan dan budaya. Apapun ujung-ujungnya kembali ke niat ingsun. Nggak ada yang namanya alasan sibuk atau nggak punya waktu. Kalau diniati, pasti waktu itu bisa disisihkan sesibuk apapun kita
[…] Sumber: http://www.yuswohady.com/2012/04/07/dicari-ceo-yang-ngetwit/ Leave a comment Click here to cancel reply. Name (required) […]