Saya menulis artikel ini sambil menuggu nonton pentas Teater Koma Sie Jin Kwie di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM) kemarin sore (24/3). Pertunjukan baru jam delapan malam, tapi jam empat saya sudah di TIM, takut nggak kebagian tiket. Maklum sehari sebelumnya seorang teman sudah wanti-wanti tiket ludes. Betul juga, lihat di monitor kursi yang di-book, nggak sampai 20 kursi yang masih tersedia. Hebat juga, sudah 24 hari (pertunjukan Teater Koma direncanakan 1-31 Maret 2012) pertunjukkan, tiket masih sold out.
Bukan Satu-Satunya
Sukses pentas Teater Koma bukanlah satu-satunya sukses pentas pertunjukan di Jakarta. Sebelumnya pentas drama musikal Laskar Pelangi juga meraup sukses luar biasa. Pertunjukannya di TIM pada akhir 2010 sukses, berlanjut di bulan Juli 2011 sekali lagi mendulang sukses, lalu terakhir Laskar Pelangi mencapai sukses yang sama saat dibesut di Dufan Desember 2011/Januari 2012. Kesimpulan sementara saya, ibu-ibu kelas menengah Jakarta haus dengan pertunjukan berkualitas, intelek, dan mendidik macam ini.
Beberapa minggu lalu untuk pertama kalinya dalam sejarah pertunjukan teater di Indonesia, pentas Broadway New York bisa diboyong ke Jakarta melalui pentas Phantom of the Opera di Balai Kartini. Pertunjukan hampir sebulan ini bisa disebut sukses walaupun tiketnya tidak bisa dibilang murah berkisar antara 500 ribu hingga 1,5 juta perak. Harap tahu saja, tidak gampang lho memahami pentas seperti Phantom of the Opera. Penikmatnya mestinya punya cita rasa dan pengetahuan yang cukup untuk mencernanya.
Kalau diperlebar ke pentas pertunjukan musik, maka kita pasti akan terkagum-kagum melihat fenomena begitu derasnya artis asing berkonser di negeri ini. Sebuah situs musik dan hiburan memperkirakan setidaknya tahun 2012 ini akan ada sekitar 100 pertunjukan musik yang mendatangkan artis asing khususnya Amerika. Setidaknya tahun ini telah dan akan hadir artis-artis top penguras devisa mulai dari Rod Steward, Katy Perry, Lady Gaga, New Kids on the Block, Backstreet Boys, hingga Sepultura dan Deam Theater.
Ambil contoh konser Lady Gaga, tiketnya berkisar 500 ribu hingga 2,5 juta perak, saya kira bukanlah harga murah. Tapi tetap saja Lady Gaga menjadi magnet yang mampu menguras kocek para penggemarnya. Ada yang karena memang ingin mendengarkan musik dan menyaksikan aksi panggungnya, tapi banyak juga yang nonton agar teman-teman tahu (yup, melalui status update Facebook atau tweet di Twitter) bahwa ia menonton Lady Gaga.
Global-Minded
Pertanyaannya, ada apa sesungguhnya di balik fenomena maraknya bisnis pertunjukkan di Tanah Air tersebut? Saya tak akan menjawab pertanyaan tersebut dari sisi kehebatan si bintang seperti Lady Gaga atau karena kecanggihan para promotor musik dalam merayu calon penonton. Saya akan meninjaunya dari sisi perilaku konsumen (consumer behavior) kita yang kini berubah begitu cepat.
Seiring dengan meningkatnya daya beli dan pengetahuan konsumen perkotaan di Tanah Air, kini muncul segmen pasar yang saya sebut sebagai “experiencer”. Konsumen baru yang saya prediksi jumlahnya besar dan terus bertambah ini umumnya memiliki pendapatan dan daya beli yang cukup tinggi sehingga kebutuhannya semakin advance, tak melulu kebutuhan dasar seperti sandang-pangan-papan.
Segmen konsumen ini juga sangat knowledgable karena memiliki akses informasi melalui internet dan media sosial yang luar biasa. Karena memiliki akses informasi yang luas, maka mereka memiliki global view, rakus mengadopsi gaya hidup global (yes, gaya hidup “Sex and the City”), dan pengonsumsi pertama produk-produk global terbaru (yes, iPad 3). Melalui Twitter mereka mengikuti apa yang dilakukan Lady Gaga menit demi menit. Mereka juga begitu bernafsu mengikuti film-film bermutu peraih Oscar atau Golden Globe (yes, Hugo atau The Artist, dan pasti bukan film Kuntilanak dan Suster Ngesot).
Penikmat
Kenapa mereka saya sebut experiencer? Karena ketika kebutuhan untuk makan kenyang sudah lewat, maka kebutuhan mereka meningkat ke arah yang lebih advance yaitu mendapatkan pengalaman (experience). Mereka menonton Lady Gaga untuk mendapatkan pengalaman luar biasa bernyanyi bersama, berjoget bersama, dan narsis bersama di dalam gedung pertunjukan. Mereka nonton Phantom of the Opera untuk mendapatkan pengalaman larut dalam kisah percintaan, tragedi, dan horor ala Broadway yang dibangun oleh sang sutradara.
Jangan salah, orang ke mal bukanlah semata untuk membeli barang yang ia butuhkan. Kita ke mal untuk mendapatkan pengalaman luar biasa melihat dan dilihat (see and to be seen) orang lain. Kenikmatan nge-gym di Celebrity Fitness bukanlah untuk mendapatkan kebugaran dan mandi keringat, tapi pengalaman menggairahkan melihat dan dilihat orang lain (yes, itu sebabnya Celebrity Fitness selalu ada di mal dengan kaca etalase yang terbuka lebar). Begitupun orang ke Starbuck atau 7-Eleven bukanlah semata untuk menenggak Espresso Macchiato atau Slurpee. Kenikmatan terbesar mereka diperoleh melalui pengalaman nongkrong di tempat-tempat cool tersebut.
Itulah manusia. Itulah konsumen. Semakin punya banyak duit, semakin otaknya berisi macam-macam, maka kebutuhannya pun menjadi semakin nggak karuan, semakin macam-macam, semakin aneh-aneh. Itu sebabnya setiap kali mertua saya yang sudah kepala 7 saya ceritakan mengenai polah-tingkah konsumen baru Jakarta ini, ia selalu mengelus dada, sambil bergumam: “Apa dunia ini mau kiamat ya?” Hahahaha…!!!
3 comments
[…] Posted: 26 March 2012 in Uncategorized 0 http://www.yuswohady.com/2012/03/24/experiencer/ Share this:Like this:LikeBe the first to like this […]
Betul. Basic need nya sdh trpenuhi yg paling bawah (makan). Tinggal mencari experience. Brarti BBM, sah2 aja dongs naik? *hadoh* ^.^
[…] konsekuensi dari tumbuhnya kelas menengah (“Consumer 3000”) kita yang luar biasa. Dengan meningkatnya pendapatan, kebutuhan mereka juga makin aneh-aneh. […]