Setiap kali nonton Java Jazz saya selalu takjub. Takjub bukan oleh penampilan ratusan musisi hebat kelas dunia di gelaran tahunan jazz paling bergengsi itu, tapi oleh penonton yang membludak luar biasa. Dan setiap kali saya menonton “orang kaya Jakarta” meluap berpesta pora menikmati jazz, di otak saya selalu terbersit ucapan-ucapan indah, “makmur betul Indonesia ini, orang kaya bertebaran di mana-mana”. Saya juga bergumam, “hebat benar Indonesia, orang-orang kayanya selera musiknya borju betul.”
Itulah kelas menengah Indonesia. Saya menyebutnya “consumer 3000” (Angka 3000 saya ambil istilahnya dari angka ambang batas GDP perkapita negara maju baru, USD3000). Mereka adalah konsumen yang memiliki daya beli tinggi. Mereka memiliki tingkat konsumsi tinggi. Tak hanya itu, mereka juga knowledgable karena rakus informasi dan pengetahuan.
Mereka global minded, kosmopolit, information freak, trend-follower sekaligus trend-setter. Apa yang terjadi di New York-London-Paris informasinya mereka terima secara real time lewat Google, Twitter atau Facebook. Karena knowledgable, maka jenis-jenis konsumsi mereka canggih, salah satunya adalah mengkonsumsi musik jazz. Gelaran Java Jazz menyadarkan saya betapa kelas menengah Indonesia demikian massif dan memiliki potensi luar biasa baik sebagi pasar (demand-side) maupun sebagai produsen atau entrepreneur (supply-side).
Konser Tiap Minggu
Tak terbayangkan oleh saya sebelumnya bagaimana bisa Jakarta menyelenggarakan konser musik kelas dunia praktis setiap minggu sekali. Mulai dari Katy Perry, Elton John, Maroon 5, Rod Steward, hingga Lady Gaga nanti bulan Juni. Sabtu kemarin saat artikel ini saya tulis dipelataran parkir JIExpo Kemayoran tempat Java Jazz dibesut, tiga pentas dunia digelar dalam waktu bersamaan: Java Jazz dengan 1700 artis, konser Roxette, dan pertunjukan musikal The Phantom of the Opera. Ruarrr biasa Indonesia!!!
Indonesia sudah menjadi pasar yang empuk bagi konser musik dunia. Para promotor panen duit karena konser apapun digelar asal dari negeri Paman Sam pasti laku keras. Padahal tiket masuk konser-konser tersebut tidak murah. Untuk masuk ke Java Jazz tiket terusan tiga hari yang saya beli sebulan sebelum pelaksanaan konser harganya hampir sejuta perak. Harga ini membumbung terus seiring dekatnya waktu konser, dan di tangan calo saat pelaksanaan konser harga bisa berlipat 3-5 kali lipat, wow!!!
Tahun lalu tiket Java Jazz terjual sekitar 120 ribu lembar. Harus diingat, dengan jumlah penonton sebanyak itu, Java Jazz merupakan salah satu festival jazz terbesar di dunia. Harap tahu saja, tiga hari penyelenggaraan North Sea Jazz Festival (Belanda) “hanya” dikunjungi oleh 70-an ribu penonton. Monterey Jazz Festival (AS) yang sudah berusia 54 tahun “cuma” dikunjungi 40 ribu penonton untuk 3 hari event. Bagaimana Herbie Hancock, David Sanborn atau Pat Metheny nggak ngiler tampil di Java Jazz dengan audiens yang jumlahnya luar biasa seperti itu.
Hedonis
Menonton Java Jazz di tengah luapan penonton kelas menengah Indonesia juga menyadarkan saya bahwa kelas menengah Indonesia adalah kelas hedonis. Salah satu teman berbagi di Twitter menyebut fenomena ini dengan mangatakan bahwa bangsa Indonesia adalah “bangsa penikmat”. Kelas menengah Indonesia adalah “kelas penikmat” dengan tingkat konsumsi yang tinggi terhadap berbagai bentuk kenikmatan: mulai dari makanan enak, musik yang menyejukkan, tontonan yang menghebohkan, liburan yang menyegarkan, hingga merek-merek mahal yang memanjakan kenarsisan.
Dalam literatur politik kelas menengah sering ditempatkan dalam posisi dan peran strategis sebagai agen perubahan politik dan sosial. Namun, larut di tengah-tengah penonton kelas menengah Java Jazz, rasanya tak terbayang gambaran perubahan tersebut. Mereka adalah kaum hedonis yang bekerja keras untuk membangun karir cemerlang untuk mendapatkan gaji tinggi dan kelimpahan ekonomi. Mereka berupaya keras mengadopsi teknologi dan menyerap sebanyak mungkin informasi sebagai senjata untuk membangun bisnis dan mencapai kemakmuran ekonomi.
Saya kira banyak dari mereka yang hanya samar-samar tahu kasus Wisma Atlet Sea Games atau kasus Hambalang yang membeli Partai Demokrat. Bagaimana meroketkan karir, mengembangkan bisnis pribadi, membangun kompetensi profesional, atau menjalin networking dengan komunitas profesi secara global adalah isu-isu yang lebih penting bagi mereka dibanding isu-isu korupsi yang membelit Indonesia, hukuman berat bagi pencuri sandal jepit, atau Pemilu 2014 yang kian absurd.
Sudah ya. Jam sudah menujuk pukul 15.14, itu artinya saya harus siap-siap masuk JIExpo, soalnya yang ngantri di pintu masuk Java Jazz banyak minta ampun. Takut nggak kebagian panggung. Saya ke Java Jazz bukan sekedar nonton Herbie Hancock, Pat Metheny, atau David Sanborn. Yang lebih penting, justru, saya ingin berpesta-pora bersama lautan kelas menengah Indonesia. Ikut-ikutan hedonis. Ikut-ikutan narsis. Keren abis.
Hidup kelas menengah Indonesia!!! Hidup Kelas Penikmat Indonesia!!!
5 comments
kelas menengah indonesia… terutama di kota besarnya adalah value hunter…
Baru sekedar Penikmat ya, Pak. Kapankah menjadi pemberi rasa, penentu perubahan?
Iya..kalangan menengah MASAnya kini untuk ‘asik’ sendiri. Mereka dg mudah bisa mnikmati ‘kebebasan’ semua fasilitas yg sdg trend didunia (ga ktinggalan zaman lg). Mulai dri jalan2, makanan, tehnologi sampai MUSIK…selamat MENIKMATI hidup… kelas MENENGAH!!!….*pesan nene: jangan lengah* hehehe (^.^)
[…] dikutip dari : http://www.yuswohady.com/2012/03/04/java-jazz-dan-kelas-menengah/ […]
maaf, yang belum terdapat dalam tulisan ini adalah mereka yang menyisihkan uang tiap hari untuk membeli tiket awal yang pasti lebih “murah” sebagai sebuah nilai apresiasi ya Pak? mereka yang melakukan hal ini pun, mungkin ada yang menyeruak di kalangan yang bapak sebut sebagai kelas menengah?