Beberapa bulan terakhir ini banyak brand para politisi yang gonjang-ganjing, flop. Sebabnya kita semua tahu, nggak jauh-jauh dari urusan korupsi, sogok-menyogok, penyalahgunaan wewenang, hingga politik uang. Yang sedang hot tentu saja kasus korupsi dan sogok-menyogok Wisma Atlet Sea Games. Politisi-politisi ternama tersangkut: Nazaruddin, Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, Andi Malarangeng, I Wayan Koster, dan lain-lain.
Di antara para politisi selebritas itu ada yang sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, ada yang belum, tapi oleh publik sudah dihakimi menjadi “tersangka”, “terdakwa”, bahkan sudah divonis “bersalah”. Dan celakanya, wisdom of crowd itu sudah dianggap sebagai kebenaran umum, tanpa si politisi mampu menangkalnya. Siapa bisa mengalahkan hegemoni opini publik?
Pekerjaan Berat
Setiap gerak-gerik politisi kini diawasi dan dijadikan “opera sabun” oleh stasiun TV, dikemas dan disajikan di ruang-ruang keluarga, untuk kita nikmati sambil makan popcorn plus nyruput Coke. Dalam opera sabun itu politisi dikupas dan ditelanjangi. Perilaku-perilakunya, keputusan-keputusannya, pandangan-pandangannya, ngomong ngawur-nya, keteledoran-keteledorannya, latar belakang keluarganya, urusan-urusan pribadinya (dari selingkuh hingga adegan mesum di Internet), semuanya diulas dan dibeberkan ke publik.
Ada beberapa politisi yang cerdik memanfaatkan pentas opera sabun itu untuk membangun pencitraan. Mereka banyak mengomentari isu-isu politik-sosial yang aktual, ada yang lumayan isinya, tapi tak sedikit yang ngawur. Mereka memberikan analisis-analisis kritis di panggung-panggung talk show agar terlihat pintar. Acapkali mereka tampil dengan roman muka serius ketika diwawancarai host agar kelihatan bijak dan peduli kepada rakyat. Celakanya, makin banyak para politisi ini tampil di media, bukan citra kinclong yang mereka dapat, tapi justru sebaliknya. Ya, karena kepercayaan masyarakat (public trust) kepada politisi kini sedang berada di titik nadir.
Mereka masih beruntung, lebih celaka lagi adalah politisi yang sudah terhakimi oleh opini publik yang simpang-siur seperti dialami para politisi Partai Demokrat di atas. Walaupun sampai detik ini palu hakin belum diketuk, sudah bisa dipastikan reputasi merek (brand reputation) mereka telah hancur berkeping. Saya masih belum bisa membayangkan bagaimana reputasi itu bisa dipulihkan, bahkan ketika mereka terbukti tak bersalah.
Intinya saya ingin mengatakan bahwa membangun brand politisi di Indonesia bukan pekerjaan gampang. Begitu banyak faktor-faktor tak menentu (uncertain) dan tak terkontrol (uncontrolable) yang dihadapi politisi, sehingga aktivitas brand-building menjadi demikian rumit dan unmanagable. Saya tak ragu mengatakan bahwa membangun brand politisi itu jauh lebih sulit dibanding dengan produk atau perusahaan. Pertanyaannya, bagaimana kita bisa membangun brand politisi yang solid, ampuh, dan sustainable?
Tingkatan Brand
Saya membagi brand politisi ke dalam tiga tingkatan. Tingkatan pertama adalah brand awareness, yaitu seberapa besar si politisi dikenal oleh publik dan konstituennya. Tak sulit membangun brand awareness bagi para politisi apalagi kalau mereka adalah konglomerat yang bisnisnya meradang dan duitnya tak kenal seri. Mereka tinggal pasang iklan di TV, radio, atau koran. Mereka bisa pasang billboard di jalan-jalan protokol kota dan kabupaten di seluruh Tanah Air. Mereka juga dengan mudah pasang spanduk dan menempel poster foto mereka di desa-desa dan kampung-kampung.
Pada Pemilu yang lalu politisi PAN Sutrisno Bachir melakukan ini dengan mengusung kampanye iklan sangat massif di TV, Radio, dan koran. Fotonya juga terpampang di billboard, spanduk, dan poster di seluruh pelosok Tanah Air. Hasilnya luar biasa, tak bisa dipungkiri brand awareness politisi yang kini tenggelam ini meroket luar biasa waktu itu.
Tingkatan kedua adalah brand association, yaitu asosiasi yang terbentuk di benak audiens ketika mendengar atau melihat sosok si politisi. Politisi Partai Gerindra Prabowo Subianto misalnya, dalam Pemilu lalu membangun asosiasi sebagai capres yang peduli pada nasib petani dan nelayan. Brand association ini dibentuk dengan melakukan strategi pencitraan ke kalayak.
Namanya pencitraan, kalau bisa yang baik-baik diomongkan; yang jelek-jelek ditutup rapat-rapat. Saya sering menyebut pencitraan sebagai strategi “pupur dan gincu”. Maksudnya, nggak masalah borok-borok bertebaran di seluruh tubuh dan muka, asal pupur dan gincunya tebal, so pasti tubuh dan muka akan tetap kelihatan kinclong. Pencitraan menghasilkan kecantikan palsu bukan kecantikan alamiah gadis dusun.
Character Matter
Tingkatan ketiga adalah brand character, yaitu keutamaan brand si politisi yang tercipta karena nilai-nilai luhur yang diyakini dan praktekkan. Keutamaan brand yang terbentuk karena perilaku arif-bijaksana yang dilakoninya. Dan keutamaan brand yang terpancar karena akumulasi tindakan-tindakan yang dilandasi moralitas dan etika. Akumulasi tindakan-tindakan luhur itu membentuk jejak rekam si politisi. Akumulasi tindakan-tindakan al amin itu menentukan siapa si politisi itu sesungguhnya (“who he is”).
Brand character tak cukup dibentuk melalui ucapan-ucapan si politisi di acara talk show TV atau wawancara media. Brand character terbentuk melalui ucapan, pikiran, dan tindakan riil si politisi. Brand character tak perlu pupur dan gincu. Brand character tak perlu kecantikan palsu di layar kaca atau halaman-halaman koran.
Ketika kekuatan brand seorang politisi hanya ditopang oleh awareness dan association, maka sesungguhnya bangunan brand tersebut rapuh. Brand seorang politisi akan solid, ampuh, dan sustainable hanya jika bangunan brand tersebut ditopang oleh karakter luhur si politisi. Ketika brand-building politisi demikian uncertain dan uncontrolable, maka resep suksesnya hanya satu kata: karakter!!!. Yes… character matters!!!
2 comments
Dalam demokrasi 50% + 1 ala Indonesia hari ini, daya karakter seringkali harus rela terkubur ketika diganjal oleh kekuatan pupur & gincu. Kelugasan yg jujur dan bersahaja model Pak JK misalnya, begitu gampang menguap ketika berhadapan dengan polesan citra Pak Beye nan tebal berkilau-kilau. Dan banyak orang baru terkesima & merindukan lagi sosok JK, ketika pupur & gincu Pak Beye berikut Partai Mercy Biru-nya itu hancur-luntur diguyur badai korupsi seperti hari-hari ini. Sebuah ketersimaan yg telat dan pahit. Kerisauan saya adalah, apakah kita sebagai bangsa harus terus mengulang-ulang kebodohan serupa setiap kali kita memilih pemimpin? Akankah orang2 seperti Dahlan Iskan atau Jokowi misalnya, harus bernasib sama dengan Pak JK?
Jika para politisi itu bermaksud berkarir panjang, mestinya sejak awal mereka peduli pada Character Matter ini ya Mas..Aiii..Mestinya politisi serius belajar tentang marketing 🙂