Ketika Consumer 3000 basic needs-nya sudah tercukupi, maka kebutuhan mereka pun kemudian naik kelas, tak hanya urusan perut tapi juga kebutuhan-kebutuhan lain yang aneh-aneh. Yang nggak penting-penting kini menjadi penting. Salah satunya adalah mengungkapkan kasih-sayang di hari Valentine.
Kenapa yang nggak penting-penting sekarang menjadi penting? Sekarang untuk mengungkapkan kasih-sayang kepada orang-orang yang kita cintai kita membutuhkan “simbol”; kita membutuhkan “perayaan”; kita butuh “momen mengharukan”. Perasaan dulu nggak gitu-gitu amat.
Dulu mau kasih-kasihan, mau sayang-sayangan, ya spontan saja. Kalau mau pakai omongan ya ngomong begitu saja, selesai. Kalau mau pakai tindakan, ya langsung dijalankan tindakan kongkritnya, selesai. Dulu waktu SMA saya mengungkapkan kasih sayang kepada bapak-ibu saya dengan cara tidak menyusahkan mereka. Caranya dengan tindakan kongkrit belajar keras agar diterima PMDK, terus kuliah yang bener agar gampang cari kerja. Dulu nggak ada tuh candle-light dinner atau perayaan di diskotik (apalagi pakai narkoba segala). Orang kampung mah nggak kenal valentine-valentinan.
Mahal
Dulu mau kasih-kasihan atau sayang-sayangan murah-meriah, banyak gratisnya. Sekarang mahal minta ampun. Untuk menciptakan “simbol fenomenal”, “perayaan monumental”, atau “momen mengharukan” di hari Valentine seringkali kita harus menguras kocek. Kalau mengungkapkan kasih-sayang ala mahasiswa pakai bunga mawar merah yang dibeli di perempatan bangjo, itu sih murah. Tapi kalau simbol kasih-sayang itu harus pakai cincin dan kalung berlian; kalau momen mengharukan itu harus pakai candle-light dinner di hotel bintang lima, ya jadinya mahal.
Celakanya banyak yang beranggapan, makin mahal perayaan, maka akan makin monumental dan fenomenal pula ungkapan kasih kita di hari Valentine. Celakanya lagi, banyak yang beranggapan, makin monumental dan fenomenal perayaan, maka makin dalam pula cinta kita kepada orang-orang terkasih. Mengungkapkan kasih pakai puisi di warteg Bang Miun itu mah sudah jadul, karena murah, karena tidak elit, karena tidak mahal.
Narsis
Minggu lalu saya mengatakan bahwa era Consumer 3000 dan era media sosial adalah eranya konsumen narsis. Dulu kita narsis dengan cara pamer tampang. Kini saluran untuk narsis menjadi bermacam-macam. Salah satunya adalah pamer merayakan Valentine: bahagianya minta ampun kalau kita merayakan Valentine dilihat tetangga atau teman. Bagi yang suka ngetwit, sore-sore sudah woro-woro di Twitter berisi pengumuman bahwa nanti malam mau merayakan ritual candle light dinner. Selepas ritual dilakukan giliran serunya ber-Valentine di-share di Twitter atau blog, foto-fotonya di-upload di Facebook.
Memang banyak untungnya kita menggunakan Valentine sebagai obyek narsis. Ketika semua orang tahu kita merayakan Valentine maka orang akan melihat kita sebagai sosok penyayang, sosok yang penuh kasih, sosok yang peduli dengan kekasih kita. Apakah betul kita penyayang dan penuh kasih, itu tidak penting. Yang penting adalah citra bahwa kita penyayang dan penuh kasih tersampaikan. Dan dunia narsis makin gampang karena Twitter, Facebook, atau blog menjadi alat ampuh untuk membetuk citra dan topeng kita di mata tetangga dan teman-teman.
Terkorupsi
Siapa bilang saya nggak setuju perayaan Valentine. Saya setuju 1000% Hari Valentine karena seharusnya perayaan ini mengerek keagungan kasih-sayang pada posisi terpuncaknya. Namun celaka, seringkali yang kita dapati perayaan ini justru mereduksi makna kasih sayang yang substansi dan hakiki. Sebut saja ini “paradoks Valentine”.
Berikut ini fenomena-fenomenanya. Seringkali dengan perayaan Valentine, keagungan kasih-sayang justru tereduksi hanya sebatas sehari di saat perayaan. Seringkali dengan perayaan Valentine, keagungan kasih-sayang justru tereduksi menjadi sebatas bunga mawar merah yang disemprot parfum mahal. Seringkali dengan perayaan Valentine, keagungan kasih-sayang justru tereduksi menjadi hanya sebatas candle-light dinner di hotel berbintang.
Ketika keagungan kasih-sayang terkorupsi, lalu apa yang kemudian terjadi? Kita jadi kebolak-balik: mengedepankan yang “kulit” dan mengesampingkan yang “isi”. Kita lebih mengedepankan “simbol-simbol kasih-sayang”, “perayaan kasih-sayang” dan “momen-momen sesaat kasih-sayang”. Sementara yang prinsip dan substansi, yaitu tindakan kongkrit sehari-hari yang penuh cinta, penuh kasih, penuh pengertian, penuh kepedualian, selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu, dan 52 minggu setahun, justru dikesampingkan. Itulah kita, suka yang instan, gampang, tapi penuh citra.
****
Setiap kali datang hari Valentine saya selalu memberikan tebak-tebakan kepada istri saya. Saya bilang, “Sayang, kalau disuruh memilih satu di antara dua jenis pasangan berikut, mana yang akan sayang pilih?” Pertama, pasangan yang sepanjang tahun berantem tak ada saling sayang sama sekali, hanya satu hari mereka sayang-sayangan yaitu di hari Valentine, pakai bunga mawar, pakai candle-light dinner di hotel berbintang”. Sementara kedua, pasangan yang sepanjang tahun sayang-sayangan tanpa sedikitpun berantem, hanya satu hari saja mereka berantem persis di hari Valentine”.
Setiap kali mendapatkan tebak-tebakan itu selalu saja istri saya diam seribu basa sambil mengernyitkan dahi, kesal!!! Nafsu istri mengajak saya merayakan Valentine di hotel berbintang pun serta-merta meredup. Saya berandai-andai, mungkin dalam hati istri saya bilang: “hmmmm… ini suamiku garing amat sih!” ihickihickihick…
3 comments
S7..S7..ada yg bilang: esensi sayang 4 man adalah PEMBUKTIAN, sdgkan 4 woman PERKATAAN..hoho..*jgan terjebak*. Bahkan katanya acara v-day digadang2 u/ menaikkan Pamor ‘sebuah coklat’?…kalo bisa beli skrg, knapa nunggu v-day?..*siip*
Hªªhªªhªª jurus tebak2an ternyata sangat ampuh utk mengurangi cost merayakan v-day d hotel bintang 5 .. 🙂
Yessss 🙂
hahahaha ngebayangin istri mas Siwo yang kesal :D. Seumur2 saya juga gak pernah menganggap V-day sbg hari special. Sekarang, makin variasi cara merayakannya. Malah saya baca di twitter, ada paket V-day : coklat plus kondom. Duuuh, jadi keblinger kan cara mengungkapkan kasih sayang *ngelus dada* 🙁
mari dimaknai positif… 🙂