yuswohady.com
  • Home
  • Biography
  • Home
  • Biography
bu zamana kadar sadece babası ile beraber yaşayan mobil porno genç oğlan üniversiteyi bitirdikten sonra hiç bir iş bulamaz porno izle ve evinde pineklemeye başlar Babasının milf bir kadın porno resim ile evlenme kararı ile adeta dumura uğrayan oğlan bunu porno izle ilk başta istemese de belki onunla iyi anlaşacağını seks izle düşünerek evde olduğu zamanlarda canı sıkıldığında üvey annesi sex hikayeleri ile sohbet edeceğini düşünerek kendisini rahatlatır Babasının yeni evlendiği porno izle kadın beklediğinden de çok iyi anlaşan genç oğlan sapık ensest hislerine mobil seks hakim olamayarak üvey annesinin odasına gelip siker
yuswohady.com

Konsumen Narsis

by yuswohady January 28, 2012
January 28, 2012

Akhir 2010 saat saya mengintroduksi terminologi Consumer 3000, saya sudah mengatakan bahwa salah satu ciri dari konsumen gaya baru Indonesia ini adalah terhubung satu sama lain (connected). Dua ciri yang lain adalah, mereka berdaya beli tinggi (high buying power) dan berpengetahuan (knowledgable).

Bagi yang belum tahu, Consumer 3000 adalah istilah yang saya pakai untuk menyebut konsumen kelas menengah (middle-class consumers) di Indonesia yang memiliki nilai-nilai (values), perilaku (behavior) dan sikap (attitude) yang unik dan berbeda dengan segmen konsumen lain.

Mereka bisa terhubung satu sama lain dan gampang berkomunitas karena hadirnya social technologies seperti SMS, BBM, Facebook, Twitter, atau blog. Fenomena connected customers adalah fenomena pemasaran baru yang begitu marak perkembangannya bak luapan tsunami sejak 5 tahun terakhir. Terhubungnya konsumen merubah secara fundamental keseluruhan nilai-nilai, perilaku, dan sikap konsumen Indonesia.

Fenomena baru ini menjadikan “DNA” konsumen Indonesia berubah total. Fenomena baru ini membuat “isi otak” konsumen Indonesia mengalami “rebooting”, memori lama terhapus, kemudian terisi dengan hal-hal yang sama sekali baru.

Connected Means Narcissism
Ketika satu konsumen terhubung satu sama lain, maka secara otomatis exposure mereka ke konsumen yang lain juga akan terbuka luas. Selama ini kita memerlukan media massal (broadcasting media) seperti TV, Radio atau koran untuk bisa mendapatkan exposure, dilihat, dan diperhatikan oleh audiens yang luas. Celakanya media-media itu berbayar dan karena mahal, tak semua orang mampu mendapatkannya.

Kini, ketika SMS, BBM, Facebook, Twitter, YouTube, atau blog memungkinkan kita mendapatkan exposure itu dengan murah dan mudah, maka keinginan kita untuk dilihat dan diperhatikan (saya sebut: “naluri narsis”) pun menjadi terbebaskan dan terlampiaskan. Tagline YouTube menjadi semacam “pekik kemerdekaan” yang menandai terbebasnya konsumen untuk memuaskan kebutuhan narsisnya: “Broadcast Yourself!!!”

Saya percaya bahwa naluri narsis sudah ada sejak jaman purbakala. Saya juga percaya bahwa narsis adalah kebutuhan elementer anak manusia. Namun karena teknologi tidak memungkinkan kebutuhan narsis itu tercukupi secara mudah, murah, dan layak, maka kita terpaksa mengekangnya. Sudah cukup lama kita berpuasa mengekang kebutuhan dan naluri kenarsisan kita.

Ketika social technologies memungkinkan kita menjangkau audiens yang begitu luas, maka kinilah saatnya kita mengumbar kenarsisan kita. Sebut saja jaman ini adalah era “democartization of narcissism”. Era dimana siapapun mendapatkan hak penuh untuk narsis, nggak cuma monopoli Depe dan Jupe. Budaya “see and to be seen” pun menjadi wabah yang merajalela.

Me Personality
Ketika kebutuhan untuk narsis menjadi kian gampang terpenuhi dan terlampiaskan, maka tren perilaku konsumen ke depan gampang ditebak. Kepribadian yang mengagungkan keakuan (sebut saja: “me personality”) bakal marak dan begitu gampang menular dari satu konsumen ke konsumen lain melalui medium BBM, Facebook, Twitter, atau YouTube.

Persis kata Jean Twenge (penulis dua buku hebat: “The Narcissism Epidemic” dan “Generation Me”) bahwa narsis itu menular: “narcissism is contagious!!!” Twenge bahkan sudah melakukan survei menelusuri tren Narcissistic Personality Inventory Score (NPI score) di kalangan mahasiswa di Amerika selama kurun waktu 1982-2006. Hasilnya, tingkat narsisme mereka naik tajam. Bagaimana dengan di Indonesia?

“Me personality” menempatkan diri kita (“aku”) sebagai pusat dari hal-hal di luar kita (self-centered). Orang yang memiliki kepribadian semacam ini akan menganggap diri mereka sebagai “aktor utama” dan orang lain sebagai “figuran”. Mereka akan menganggap diri mereka sebagai mahluk yang paling spesial, paling cantik-ganteng, paling pintar, paling kreatif, paling peduli, paling superior, dan segudang “paling” yang lain. Di sisi lain mereka juga menganggap orang di luar dirinya sebagai medioker, rata-rata, pecundang, atau inferior.

Pribadi Tak Utuh
Sudah menjadi naluri kita semua, bahwa kalau kita ingin menunjukkan diri kita ke orang banyak, maka yang kita tampilkan adalah yang baik-baik saja. Keluarkan yang baik-baik, sembunyikan rapat-rapat yang jelek-jelek. Tak heran jika yang muncul kemudian adalah “mentalitas selebriti”, tampil prima, sempurna, tanpa cacat di depan audiens, walaupun di balik itu banyak sampah-sampah dan borok-borok bertebaran. Menjadi celaka kalau sampah dan borok itu membusuk… ups!!!

Contoh gampangnya adalah foto profil kita di BBM, Facebook, atau Twitter. Pasti kita ambil foto-foto itu adalah foto-foto tercantik dan terganteng kita. (hehehe… foto profil saya di Twitter keren bukan main, jauh dari wajah aslinya). Pasti tak ada yang “bunuh diri” dengan memasang foto profil jelek.

Omongan kita di blog, Facebook, atau Twitter juga kita atur sedemikian rupa sehingga terbentuk citra bahwa kita adalah orang terhebat di dunia, terbijak di dunia, dan teralim di dunia. Sisi jeleknya kita sembunyikan rapat-rapat, jangan sampai audiens kita tahu. Tak heran jika artikel atau ebook bertopik: “effective personal branding” atau “How to build personal image” menjadi laris manis di internet.

Kalau sudah begitu, maka kita menjadi mahluk dengan jiwa yang tereduksi. Kita menjadi pribadi yang tak utuh, pekat dilumuri pencitraan dan kepura-puraan, lebih parah lagi tindak-tanduk dan perilaku kita diwarnai kemunafikan.

Lepas dari kontroversi yang melingkupinya, rasanya kita makin comfortable dengan kenarsisan kita. Buktinya, banyak teman Facebook atau Twitter saya berkomentar enteng mengenai narsisme. Kata mereka: “Narsis… siapa takuuuut!!!”

Related posts:

  1. Dunia Narsis Briptu Norman
  2. Nasionalisme Konsumen
0
FacebookTwitterWhatsappEmail
yuswohady

Yuswohady, Managing Partner Inventure. Author of 50+ books on business & marketing, incl. the best seller "Millennials KILL Everything" (2019) and "Consumer Megashift after Pandemic" (2020).

previous post
Imlek
next post
Brand “Indonesia”

Baca Juga

Memberi eTalk: Surveillance Economy

April 20, 2018

Setiap Orang Berbohong di Facebook

March 10, 2018

Milenial Jaman Now: Penggerak Leisure Economy

November 18, 2017

“Dua Dunia” Otak Kita

October 13, 2017

Facebook: Guru Menulis Terbaik di Dunia

September 9, 2017

The Dark Side of the Gen Z

September 24, 2016

“Mukidi Effect”

August 27, 2016

Bukber

June 18, 2016

Multi-Tribes Netizen

February 21, 2016

Grup WA

November 2, 2015

3 comments

Diah Yusuf January 30, 2012 - 3:14 am

Hidup Narsis untuk Eksis 🙂

salam dr KBRI Bangkok 🙂 -narsis.com-

Reply
ny. If February 9, 2012 - 11:06 pm

Jenengan ki kalau nulis tajam, menohok tapi pas bener. Semoga bisa ambil hikmahnya

Reply
Valentine?… EGP! — yuswohady.com March 11, 2012 - 10:45 pm

[…] Minggu lalu saya mengatakan bahwa era Consumer 3000 dan era media sosial adalah eranya konsumen narsis. Dulu kita narsis dengan cara pamer tampang. Kini saluran untuk narsis menjadi bermacam-macam. […]

Reply

Leave a Comment Cancel Reply

Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment.

Artikel Terbaru

  • Corona: A Serial Killer

    February 26, 2021
  • Sharing Economy in the Pandemic

    February 19, 2021
  • Syariah Universal

    February 12, 2021
  • Stay @ Home Lifestyle

    February 7, 2021
  • Best Business Book 2020 on COVID-19: My Picks

    December 27, 2020
  • Best Business Books 2020: My Picks

    December 24, 2020
  • Industry Megashifts 2021 (3)

    December 14, 2020
  • Industry Megashifts 2021 (2)

    December 14, 2020
  • Industry Megashifts 2021 (1)

    December 14, 2020
  • 6 Forces of Change 2021

    December 13, 2020
  • Konsumen Indonesia Optimis

    November 28, 2020
  • Prospective Businesses for UKM

    October 14, 2020
  • UKM Outlook 2021

    October 11, 2020
  • New Omni Marcomm

    October 1, 2020
  • Dunia Hiburan Terkoyak Pandemi

    September 4, 2020
  • Family Life in the Pandemic Era

    September 4, 2020
  • 5 Digital Consumer Megashifts

    August 26, 2020
  • 15 Banking Consumer Megashift

    August 10, 2020
  • New Normal 100: Leisure & Travelling Trends

    July 26, 2020
  • New Normal 100: Digital Life & Privacy Trends

    July 24, 2020

Langganan Artikel via Email

Recent Posts

  • Corona: A Serial Killer
  • Sharing Economy in the Pandemic
  • Syariah Universal
  • Stay @ Home Lifestyle
  • Best Business Book 2020 on COVID-19: My Picks
  • Best Business Books 2020: My Picks
  • Industry Megashifts 2021 (3)
  • Industry Megashifts 2021 (2)
  • Industry Megashifts 2021 (1)
  • 6 Forces of Change 2021
  • Konsumen Indonesia Optimis
  • Prospective Businesses for UKM
  • UKM Outlook 2021
  • New Omni Marcomm
  • Dunia Hiburan Terkoyak Pandemi
  • Family Life in the Pandemic Era
  • 5 Digital Consumer Megashifts
  • 15 Banking Consumer Megashift
  • New Normal 100: Leisure & Travelling Trends
  • New Normal 100: Digital Life & Privacy Trends
  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
  • Youtube

@2020 - All Right Reserved. Designed and Developed by Wihgi.com


Back To Top