Sebelum demam mobil Esemka menyeruak di koran-koran beberapa hari lalu, terus terang selama ini saya berpikir bahwa membuat mobil nasional (mobnas) itu pekerjaan paling sulit di dunia. Kenapa begitu? Karena sudah berkali-kali bangsa ini merintis proyek mobnas tapi proses yang dilalui seperti benang ruwet dan ujung-ujungnya gagal hancur-lebur, persis banget kasus Bank Century
Jalannya betul-betul berliku. Pertengahan 1990-an Mazda membuat MR alias Mobil Rakyat, lalu Habibie yang Menristek waktu itu merintis Maleo, kemudian Tommy Soeharto tampil dengan Timor, Bambang Trihatmojo tak mau kalah bikin Hyundai Accent, lalu Grup Bakrie dengan mobil B-97, terakhir PT Dirgantara Indonesia tak mau kalah merintis mini car Gang Car. Hampir semua rintisan mobnas itu pekat beraroma politik, ditekak-tekuk, dan akhirnya gagal total.
SMK Bisa
Membaca berita Esemka saya seperti tersambar petir. Saya kaget luar biasa karena dulu-dulu konglomerat sekelas Bakrie atau Bimantara saja KO merintis mobnas; anak presiden se-powerful Tommy Soeharto KO merintis mobnas; ikon tenologi selegendaris Habibie KO merintis mobnas; eh sekarang tiba-tiba kita mendengar anak-anak SMK begitu perkasa merintis mobnas… ruarrrr biasa!!! Serta-merta saya pun kemudian berpikir: “Ooh, bikin mobnas itu pekerjaan paling gampang di dunia, buktinya anak SMK aja bisa… ehem-ehem”.
Saya mohon ampun, karena selama ini meremehkan SMK. Saya juga mohon ampun kalau memandang sebelah mata slogan “SMK Bisa”; ya karena saya pikir itu hanyalah slogan kosong yang hobi dilakukan birokrat kita. Saya mikir, wong universitas, akademi, atau politeknik saja masih banyak yang menjadi pabrik pengangguran, apalagi SMK. Saya masih berpikir SMK itu kayak SMEA atau STM jaman saya muda dulu yang sering dianggap sebagai sekolah untuk menampung “anak buangan”.
Keberhasilan SMK menelorkan Esemka membuktikan kepada kita semua bahwa SMK memang bisa. Slogan “SMK Bisa” bukan pepesan kosong. Tak hanya, itu kerja keras anak-anak muda negeri ini mengusik rasa nasionalisme kita semua dari Sabang sampai Merauke. Mereka membangkitkan kebanggaan kita sebagai bangsa besar, bukan bangsa kecoa. Mereka menebarkan aura positif yang menyejukkan di tengah goncang-ganjing kealpaan bangsa ini yang tiap hari membombardir otak kita — Nazaruddin, toilet seharga 2M, sandal untuk Kapolri, kisruh PSSI.
Gadis Molek
Esemka punya nilai strategis luar biasa di tengah Indonesia yang menggeliat menjadi bangsa besar. Tahun 2050 Indonesia menjadi kekuatan ekonomi no 4 di dunia. Dengan jumlah penduduk besar, ukuran pasar kita bakal gedhe luar biasa (tahun 2011 telah mencapai Rp 3500 triliun). Kekuatan pasar dalam negeri itu akan berpotensi menjadi driver bagi perekonomian kita yang solid dan mandiri. Ingat, kini 60% GDP kita di-drive oleh konsumsi domestik. Dengan semua itu, maka kini Indonesia adalah gadis dusun yang molek bukan main. Seluruh merek global kepincut kepadanya.
Kekuatan besar pasar domestik itu akan sangat powerful jika dibelanjakan ke produk-produk lokal kita: batik lokal, pariwisata lokal, buah lokal, hingga (insya Allah) mobil lokal. Karena dengan begitu maka batik lokal akan berkembang, pariwisata lokal akan berkembang, agrobisnis lokal akan berkembang, industri otomotif lokal akan berkembang. Ketika semua industri lokal itu berkembang, maka pengrajin batik lokal akan makmur, petani buah lokal akan makmur, dan teknisi perakit Esemka (sekali lagi insya Allah) akan makmur. Ketika kita semua makmur, maka ini bakal melipatgandakan kekuatan pasar domestik kita yang akan makin perkasa.
Nasionalisme Merek
Dengan logika seperti itu, saya meramalkan bahwa sentimen nasionalisme merek lokal bakal marak di Indonesia. Wajar saja, karena kita tak mau hanya menjadi bangsa penikmat. Nurani kita terusik jika kita hanya dijadikan pasar oleh merek-merek hebat dunia. Kita harus menjadi pemain tangguh (bukan pemain kelas teri) di negeri sendiri. Caranya, kita harus manfaatkan potensi captive pasar domestik yang luar biasa besar di atas untuk mempertangguh merek-merek lokal kita.
Contohlah Cina. Dengan kekuatan pasar luar biasa dengan 1,3 miliar manusia, Cina tahu persis bahwa dia punya bargaining position lebih kuat melawan merek-merek asing. Karena itu siapapun yang mau ikutan menghisap manisnya madu pasar Cina harus tunduk pada aturan-aturan yang diberlakukan pemerintah. Skenarionya gampang ditebak, bahwa aturan itu dirancang untuk mendewasakan dan mempertangguh (bukan sekedar melindungi secara membabi-buta) merek-merek lokal Cina.
Nasionalisme Konsumen
Ketika Esemka sudah digulirkan, maka kini kita semua dari Sabang sampai Merauke ditantang dan diuji nasionalismenya. Sebut saja ini nasionalisme modern, bukan nasionalisme dar-der-dor merebut kemerdekaan. Nasionalisme melalui pembangunan merek lokal yang menyejahterakan rakyat kebanyakan. Nasionalisme melalui penggunaan produk-produk berkualitas hasil karya anak negeri. Sebagai konsumen kita ditantang untuk bangga menggunakan Esemka.
Jokowi adalah orang hebat. Ia menjadi model nasionalisme konsumen yang menjadi panutan kita semua. Dengan perkasa dia menunjukkan kebanggaannya memakai mobil lokal ciptaan anak negeri. Ia juga menjadi powerful evangelist yang ngomong di mana-mana mengenai hebatnya Esemka. Jokowi adalah pahlawan kita semua. Pahlawan modern kita, setali tiga uang kepahlawanannya dengan Panglima Besar Jendral Sudirman.
Berkorban
Saya salut pada jawaban jujur Jokowi ketika ditanya wartawan, apakah Esemka memang hebat? Jawaban sang walikota: “Sejauh ini oke, tapi kalaupun nanti tidak oke, ya nggak papa, kita perbaiki terus-menerus.” Sebuah jawaban yang lugas khas Dahlan Iskan.
Mengatakan bahwa Esemka lebih hebat dari Toyota atau Honda itu namanya ngelindur. Kalau Esemka kalah kualitas dibanding Toyota, itu pasti. Justru karena itu kita sebagai konsumen dituntut “berkorban” memberikan kesempatan kepada anak negeri untuk terus membangun dan memperbaiki diri dengan cara membelinya. Inilah esensi nasionalisme konsumen. Kalau Esemka tak ada yang beli, mana ada kesempatan emas itu?
Saya bermimpi ada jutaan orang seperti Jokowi di negeri ini. Presiden, menteri, gubernur, anggota DPR, petinggi partai, koruptor, penyuap, ketua FPI, bupati, camat, lurah, demonstran, aktivis LSM, pengusaha, petani, ibu rumah tangga, mahasiswa, semua. Seperti Jokowi mereka bangga menggunakan produk anak negeri. Di mana-mana mereka ngomong kehebatan produk lokal. Mereka menjadi salesman dan ambasador semua-semua yang lokal: buah lokal, batik lokal, kuliner lokal, warung lokal, laptop lokal, sepatu lokal, motor lokal, ponsel lokal. Kalau mimpi saya ini kejadian, saya jamin 1000% ekonomi kita bakal mampu melibas raksasa Cina.
Mari menjadi Jokowi.
10 comments
Siap guru
Great inspiration.yuk kita dukung jokowi n pake produk indonesia
S7…terpenting ‘jiwa’ nya menyeruak kedalam diri tiap insan indonesia…tinggal menunggu hitungan waktu…*sabar*
gan , saya ijin y ngambil refrensi sebagai tugas saya .,., thanx info nya gan
Monggo… 🙂
Jokowi memang panutan, mas siwo juga panutan kok 🙂
Saya banyak omong (nulis maksudnya) tapi ngelakuinnya belum tentu… beda dengan Jokowi yang practice what he preach.. TOPBGT
Semoga banyak lagi fenomena ‘pejabat/tokoh punya integritas + produk anak negri = powerfull’
waah bagus mas iwo tulisannya, mengajak tanpa memaksa, btw mas kita juga pengen memahami meliat peluang di sekitar. kalau boleh, mohon buku-buku karya anda, kalau bersedia, disumbang ke teman-teman perusahaan balairung b21 untuk belajar bersama:)
Berbesar hati mengakui bahwa kita belum sehebat mereka dan berjanji untuk dapat memperbaiki diri kita ke depannya…superb! Sebagai wong klaten saya turut bangga atas prestasi anak SMK bekerja sama dengan Kiat 🙂
Great inspiration… Tapi tidak akan mudah untuk me aplikasikannuya…
Menjadi sosok seperti Jokowi memang nggak mudah, karena butuh kejujuran, keberanian, rasa percaya diri, dan keikhlasan…
Perlu kekompakan kesadaran disetiap lini Wo….Pembuatan manufacturnya hrs dilengkapi melimpahnya sukucadang dan tenaga bengkelnya. Krn nasionalisme satu “lapis” saja, pelan tapi pasti akan patah semangat seberapapun menggeloranya nasionalisme itu. Krn akhirnya kita akan berpikir kok sy jadi repot ngurusi nasionalisme, smtr barang sy rusak nggak ada onderdilnya, mekaniknya juga nggak tertarik memperbaiki, ….. bikin pekerjaan lain jadi terhambat saja! Ibarat sebuah orkestra, permainan msg2 musik alat akan indah jika ada KONDUKTORnya. Disinilah perlu KONDUKTOR suatu nasionalisme. Sejatinya KONDUKTOR ini adalah lembaga yg berpengaruh bisa menggerakan faktor2 sumberdaya produksi yg steril dr intervensi negatif dr manapun dan yg lebih penting si KONDUKTOR ini tetap teguh dan istiqomah dg Nasionalisme tersebut….!….Nice writing Wo…!
True, project mobnas memang tidak simpel. Tapi bagaimanapun kita harus mulai mengurai kompleksitas dan kerumitan itu dari sekarang di tengah kita punya bargaining power yang luar biasa yaitu domestic market yang luar biasa. Kekuatan pasar ini yang dijadikan senjata untuk belajar teknologi dan manajemen dari perusahaan-perusahaan global yang beroperasi di Indonesia. Jangan sampai kiamat kita harus terus tergantung pada Toyota atau Ford. Memang jalan masuk panjang dan penuh liku-liku.