Malam tahun baru 2011 kemarin saya habiskan di Wayaua, sebuah desa nelayan kecil di pulau Bacan, Maluku Utara. Menjangkau tempat ini dari Jakarta butuh lumayan perjuangan: penerbangan sekitar 3 jam ke Menado; lanjut ke pulau Ternate hampir 1 jam dengan pesawat baling-baling; setelah itu menumpang kapal motor malam hari selama 8 jam perjalanan laut dari Ternate menuju pulau Bacan singgah di desa Babang; kemudian lanjut dengan perahu tempel hampir dua jam perjalanan menyusuri laut nan perawan ke desa nelayan Songa; dan akhirnya dari Songa saya menempuh jalan darat sekitar setengah jam ke Wayaua. Menempuh perjalanan heroik ini serasa saya menjadi Dr. Indiana Jones.
Saya ada di Wayaua dalam rangka reuni keluarga besar istri yang nenek moyangnya berasal dari desa ini. Pengalaman malam tahun baru yang luar biasa walaupun desa gelap gulita karena lampu PLN mati. Di Jakarta listrik PLN mati satu jam saja pengusaha berteriak lantaran miliaran rupiah melayang. Di desa ini listrik mati 3 hari nonstop tak satupun warga mengeluh karena sudah menjadi rutinitas.
Bersama warga desa kami keluarga besar merayakan pergantian tahun dengan hikmat, penuh kesederhanaan, kepolosan, dan kekeluargaan yang luar biasa. Blessing in disguise, layanan BB raib sejak dari Ternate dan layanan ponsel mati suri di desa terpencil ini, sehingga otak fresh terbebas dari hiruk-pikuk urusan Jakarta.
Keindahan laut dan panorama alam pulau Bacan luar biasa eksotik. Tapi karena saya orang marketing, bukan itu yang menarik perhatian saya. Selama hampir 2 minggu di desa ini saya memanfaatkan waktu sebaik mungkin menjadi etnografer amatiran, menyatu dengan masyarakat desa dan menyelami kehidupan sosial-ekonomi mereka.
Dengan keasyikan luar biasa saya ikuti bagaimana mereka mengelola kebun kelapa (untuk dijadikan kopra) dan menangkap ikan di laut sebagai sumber pencaharian subsisten mereka. Saya ikuti bagaimana mereka bertransaksi ekonomi (di desa ini belum ada pasar, sehingga seringkali barter kebutuhan sehari-hari masih menjadi pilihan). Bahkan saya potret ruang tamu, isi dapur, atau kamar tidur mereka untuk mendapatkan insight mengenai pola hidup dan perilaku konsumsi mereka.
Pertanyaan eksistensial pun kemudian menggelitik otak saya: “bagaimana seharusnya marketer memainkan peran strategisnya di tengah konsumen yang masih underdeveloped semacam ini? Saya berpikir keras, dan akhirnya saya menemukan tiga formula berikut ini. Formula ini menjadi guiding principles dari (meminjam Prof. Prahalad) apa yang saya sebut “marketing at the bottom of the pyramid (BOP)”.
Mission Is about Transforming
Sejak awal saya tidak setuju dengan anggapan kebanyakan orang bahwa marketing adalah bentuk eksploitasi terhadap konsumen. Saya tidak setuju dengan anggapan bahwa marketing menempatkan konsumen sebagai target dan obyek penderita yang siap diperas madunya dan setelah itu dienyahkan. Marketing haruslah menampakkan wajah humanisnya dengan menjadi sahabat, partner, dan problem solver bagi persoalan-persoalan aktual yang dihadapi konsumen.
Apa persoalan aktual yang dihadapi konsumen BOP seperti masyarakat desa Wayaua? Persoalan utamanya adalah mentransformasi diri menjadi masyarakat yang makin baik, makin maju, makin pintar, makin makmur, makin berdaya. Jika marketer mampu menjadi partner dan enabler bagi konsumen BOP dalam mentransformasi diri, maka brand yang ia bangun akan menjadi sangat powerful dan begitu dicintai konsumennya. Karena itu saya mengatakan, misi terbesar seorang merketer yang menggarap konsumen BOP adalah: transforming their life not exploiting their market.
Strategy Is about Empowering
Mengembangkan pasar BOP tidak bisa dilihat hanya dari sisi demand (mereka sebagai konsumen), tapi juga harus dari sisi supply (mereka sebagai micro-entrepreneur di desa). Dengan pendekatan holistik semacam ini mereka tak diposisikan sebagai “korban” tetapi pemain aktif yang mampu meng-empower dan mengentaskan diri dari belenggu kemiskinan dan keterbelakangan. Begitu mereka berdaya dan mampu mengentaskan diri dari kemiskinan dan keterbelakangan, maka taraf kehidupannya meningkat, dan potensi pasarnya juga akan membesar.
Karena itu strategi yang dibangun untuk mengembangkan pasar BOP harus inheren melibatkan proses pemberdayaan untuk menciptakan micro-entrepreneur sebanyak mungkin di desa. Dalam kasus masyarakat Wayaua di atas, strategi pemberdayaan ini bisa dalam bentuk pengembangan entrepreneurship masyarakat untuk meningkatkan produktivitas hasil kopra atau untuk mengolah hasil tangkapan ikan agar memiliki nilai jual (value-added) lebih tinggi. Karena itu saya mengatakan, strategi jitu untuk membangun konsumen BOP adalah: empowering their economy not just commecialization.
Tactic Is about Educating
Untuk mewujudkan misi “transforming” dan dan strategi “empowering” di atas maka di tingkat taktik dan program, kata kuncinya adalah edukasi. Mereka adalah konsumen yang masih belum berkembang (underdevelop) sehingga edukasi harus mewarnai setiap program yang dijalankan ke konsumen BOP. Edukasi tak hanya sebatas mengenai produk dan layanan yang kita tawarkan, tapi juga harus customer-centric menyangkut segala aspek permasalahan sosial-ekonomi yang mereka hadapi. Karena itu saya mengatakan, taktik cespleng untuk mengembangkan konsumen BOP adalah: educating not just selling.
Mengikuti tiga prinsip marketing @ BOP di atas rasanya kok sulit dan repot banget. Betul! Tapi perlu dingat begitulah kompetisi. Ketika Anda menuai sukses karena mampu melakukan hal yang sangat sulit dan kompetitor tak mampu melakukannya, maka Anda akan menjadi pemenang dan kompetitor menjadi pecundang. Grameen (keuangan) di Bangladesh, Hindustan Lever (toiletris) di India, Casas Bahia (appliances) di Brasil, atau Cemex (semen) di Meksiko, adalah sedikit contoh pemenang yang sukses menggarap pasar BOP dengan inovasi marketing yang di luar kewajaran.
Bagaimana dengan Anda para marketer di Tanah Air? Satu hal yang perlu Anda ingat adalah kenyataan bahwa pasar BOP di Indonesia sangat-sangatlah besar.
3 comments
mas yuswohady, setelah membaca tulisan mas saya langsung teringat satu video yang pernah saya tonton sebelumnya: http://www.youtube.com/watch?v=Qqh8r3Z1e8I -> saya rasa micro franchising merupakan bisnis model yang sangat tepat untuk pangsa pasar yang berada di dasar piramid ini 🙂
Yess…smakin kesini para Marketer sudah harus memiliki KONSEP: tidak hanya sama2 saling menguntungkan dari segi KEBENDAAN, namun juga dari segi nonmateri (KEPUASAN)…utamanya adalah NILAI EDUKASI bagi masyarakat….*perfecto*
hmm…memang tidak ada yang kebetulan kalo Mas Siwo harus bertahun baru disana…….