Mallism atau kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “malisme” adalah istilah rekaan saya mengenai sebuah kepercayaan di kalangan kaum urban dalam memanjakan keinginan (wants) dan kebutuhan (needs) mereka di tempat keramat nan eksotik bernama mal. Istilah ini diilhami dari kata “animisme” (animism) dan “dinamisme” (dynamism) yang begitu saya hafal saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar di kampung.
Kenapa saya hafal? Karena pertanyaan, “Apa beda animisme dan dinamisme?” selalu saja keluar di setiap ujian mata pelajaran sejarah. Dan setiap kali pertanyaan itu keluar, saya selalu tepat menjawabnya. Anda penasaran ingin tahu jawaban itu? Setiap kali ujian multiple choice, jawaban cespleng inilah yang selalu saya pilih: “Animisme percaya pada roh-roh, sedang dinamisme percaya pada kekuatan gaib.”
Pada waktu SD dulu, guru sejarah saya mengajarkan bahwa di dalam animisme-dinamisme selalu ada kepercayaan yang diyakini pemeluknya, misalnya kepercayaan akan roh dan mahluk gaib. Di dalam animisme-dinamisme juga ada pemujaan, misalnya pemujaan kepada pohon keramat atau batu besar. Di dalam animisme-dinamisme juga selalu ada ritual–ritual, misalnya upacara persembahan berhala atau ritual pemberian sesaji.
Kalau animisme-dinamisme diikuti oleh manusia super-primitif, maka malisme dianut manusia super-modern, super-canggih, super-hedonis. Kalau animisme-dinamisme tumbuh subur di jaman paleolitikum, maka malisme tumbuh subur di jaman consumer 3000… sebut saja jaman “maleolitikum”. Di tengah perbedaan tersebut, animisme-dinamisme dan malisme memiliki persamaan mendasar. Ya, karena keduanya sama-sama memiliki tiga elemen: kepercayaan, pemujaan, dan ritual yang begitu khusu dijalankan para penganutnya.
Kepercayaan: “Buying Is Great”
Para penganut malisme memiliki kepercayaan (basic beliefs) yang dipegang teguh dan mempengaruhi setiap tindakan dan perilaku mereka. Kalau kita bangsa Indonesia memiliki Pancasila dengan lima sila, maka mereka memiliki dua sila saja tapi sangat powerful. Sila pertama adalah: “consuming is good”. Dan sila kedua adalah: “buying is great.”
Yes, penganut aliran malisme ini menempatkan “membeli” dan “mengkonsumsi” sebagai panglima. Menurut mereka hasrat membeli dan mengkonsumsi haruslah dimanjakan, dibebaskan, dan dilepaskan; tak boleh ditahan-tahan. Karena kalau ditahan-tahan hanya akan menjadi bisul dan jerawat. Kalau hasrat membeli dan mengkonsumsi tak dilepaskan, maka Mick Jagger akan terus berteriak-teriak: “I can get nooo… satisfaction!!!”
Anyway, kenapa buying kok “great”, sedangkan consuming kok cuma “good”? Pertanyaan menarik. Karena bagi mereka yang penting adalah: “beli-beli-beli”; masalah nanti barang yang dibeli itu dikonsumsi atau nggak itu urusan belakang. Bagi mereka yang penting adalah: “pengin-pengin-pengin”; masalah nanti barang yang dipenginin (dan dibeli) itu dibutuhkan atau nggak itu urusan belakang. Ingat gejala decoupling: “want” is far more important than “need”.
Pemujaan: “Apple, Starbucks… Louis Vitton”
Seperti halnya animisme-dinamisme, pemujaan adalah satu hal yang penting dalam tradisi malisme. Apa yang dipuja-puja? Merek-merek hebat dari negeri seberang. Kalau jam ya harus yang dari Swiss. Kalau mobil ya harus yang dari Jerman. Kalau sepatu ya harus yang dari Italia. Kalau gadget ya harus yang gambarnya buah apel digigit. Kalau tempat nongkrong ya harus di Starbuck. Kalau ngantre ya harus ngantre Blackberry paling gress. Kalau tas sebisa mungkin yang Louis Vitton, bukan tas Cibaduyut (ihik..ihik..ihik.. sedih!). Kalau nonton film ya harus yang Hollywood (Kuntilanak-Pocong-Suster Ngesot?… amit-amit!!!).
Merek hebat dari negeri seberang sudah layaknya “berhala” yang mereka puja-puja dan mereka sembah-sembah. Ia menjadi simbol SES (social economic status) mereka. Ia menjadi media pencitraan mereka. Ia menjadi alat ekspresi diri (self-expression) mereka. Ia menjadi sumber ketidakpuasan mereka, yang tak pernah berujung. Ia menjadi sumber hedonisme mereka, yang tak pernah kenal kata akhir.
Ritual: “Midnite Sale… 70% Off”
Kalau dalam animisme-dinamisme ritual yang dilakukan adalah upacara-upacara persembahan dan sesaji, maka dalam tradisi malisme ritual itu lebih cool dan heboh berupa beragam bentuk sale yang memberikan potongan diskon menggiurkan. Dulu diskon mentok sampai 50%, kini midnite sale sedang ngetren menawarkan 50% + 20%, bahkan yang pakai kartu kredit bisa tambah lagi 50% + 20% + 10%. Makin gedhe diskon, makin heboh!
Namanya ritual, tentu dilakukan secara periodik setiap hari, setiap minggu atau setiap bulan. Dalam tradisi malisme pun ritual sale dilakukan secara rutin dan berkala. Misalnya pada saat natal dan tahun baru seperti sekarang; pada saat puasa dan lebaran; pada saat tahun baru Cina alias Imlek. Termasuk juga ritual yang dibikin-bikin sekedar untuk menaikkan omset yang kebetulan sedang loyo, misalnya saat Valentine Day bulan Februari atau hari Kemerdekaan bulan Agustus.
****
Di jaman consumer 3000 (yup, the boom of middle-class) saat ini, aliran malisme telah merasuki hati-sanubari kita semua. Penganutnya kian hari kian mengular. Kehadiran merek-merek global hebat ke bumi tercinta; kehadiran mal-mal bak jamur di musim hujan (ups, Jakarta adalah kota dengan jumlah mal terbanyak di dunia saat ini); dan kehadiran media informasi canggih dari internet, Twitter, hingga TV kabel; semuanya telah “bersekongkol” membentuk aliran baru ini.
Semuanya telah membentuk pola pikir (values), perilaku (behavior), dan gaya hidup (lifestyle) kita yang baru. Semuanya telah membentuk budaya (culture) kita yang baru, dimana di dalam budaya yang baru itu mal ditempatkan sebagai pusat dari segala kehidupan kita (center of our life). Mal telah menjadi tempat keramat untuk peneguh kepercayaan, media untuk pemujaan, dan pelestari ritual yang akan diwariskan turun-temurun hingga ke akhir jaman.
Pertanyaan singkat saya kepada seluruh sidang pembaca adalah: “Apakah Anda sudah terjebak tanpa daya menjadi penganut aliran baru ini?” Jawab yang jujur ya 🙂
Kalau jawabannya “ya”, saya ucapkan selamat datang di jaman maleolitikum.
8 comments
hmm, spertinya sy belum pak 😀
jadi, bgmn caranya kita “menunggangi” fenomena ini agar lbih positif bagi bisnis kita n ekonomi Indonesia? soalnya kalo kita liat, msih lbih bnyak gerai2 merek luar dripada lokal.
Alhamdulillah, masih kuat iman…ora sampe ‘nyandu’ ama mall….*ga dapet ucapan SELAMAT* ^.^
Ini obyektif, sarkastik atau satire ?
Gabungan ketiganya… hahaha
Untung di Aceh baru ada satu mall,eh,ada banyak se,tapi mungkin masih jarang dikunjungi,namanya Baitul Mall, hehe..btw,nice artikel mas, suka ini ya 😉
Kalo film sih mendingan yg ada hikmah nya..holywood lumayan drpd pocong2 (beda jauh lha…)..thanks buat sudut pandang yg unik pak….
Di malang sudah terjangkiti mallism lho hhe
ini juga yg biasanya terpikir kalau pas lihat banyak orang dg bgt semangatnya memilih barang2 diskonan di mall. Kadang heran sama mayoritas orang di negeri ini, ngakunya miskin tapi pola hidupnya sangat konsumtif.
[…] istilah yang direka oleh Yuswohady, Mallism atau kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “malisme” adalah sebuah […]