Nasionalisme bukan hanya monopoli pejoang 45. Konsumen juga punya nasionalisme. Bahkan harus memiliki super nasionalisme ketika bangsa ini mulai merayap menjadi bangsa besar. Penduduk kita sudah mencapai 240 juta kelima terbesar di dunia, GDP kita telah mencapai Rp 7.500 triliun dan tahun lalu untuk pertama kalinya dalam sejarah kita melampaui angka ambang batas GDP/kapita $3000. Goldman Sachs bahkan memproyeksikan tahun 2050 Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi nomor 4 terbesar di dunia.
Bulan November-Desember ini saya banyak keliling di berbagai kota untuk memberikan seminar mengenai Marketing Outlook 2012. Satu hal yang saya tekankan di situ adalah optimisme bahwa kita bisa mengatasi dampak krisis Eropa yang sedang terkena penyakit kronis utang. Kenapa begitu? Karena kemandirian ekonomi kita saat ini semakin solid karena begitu powerful-nya konsumsi domestik (domestic consumption) kita.
Porsi konsumsi domestik di dalam GDP kita saat ini sudah mencapai angka 60-an persen. Nilainya sudah mencapai Rp 3500 triliun, sebuah angka yang luar biasa besar. Dan lebih menarik lagi, dari jumlah segede itu, porsi dari kalangan kelas menengah (middle-class consumer, yes Consumer 3000) mulai cukup siknifikan. Tingginya permintaan domestik itulah yang berpotensi menggerakkan industri dan perekonomian kita.
Ketika industri kita menggeliat, maka penyerapan tenaga kerja dan peningkatan daya beli masyarakat akan terdongkrak pula. Dan ketika daya beli naik, maka permintaan domestik yang makin besar ini semakin menggairahkan industri kita. Begitu seterusnya, sehingga pertumbuhan ekonomi ini akan semakin terdongkrak naik.
Cinta Produk Indonesia
Tapi itu semua terwujud dengan satu catatan. Yaitu jika konsumsi domestik itu terserap oleh industri dan produk-produk lokal. Kalau konsumsi domestik itu diserap oleh barang-barang impor, maka sami mawon, yang maju berkembang bukannya industri dan produk-produk kita, tapi industri dan produk-produk asing. Dalam konteks ini kecintaan kepada produk-produk lokal menjadi krusial. Nasionalisme konsumen menjadi harga mati kalau bangsa ini ingin jadi bangsa besar.
Dulu jaman awal-awal pemerintahannya, pak Harto pernah mengkampanyekan penggunaan produk dalam negeri bahkan sampai ada menterinya. Lha sekarang, ketika kota-kota besar Tanah Air disesaki dengan mal-mal yang menjajakan bejibun merek global, apakah ide ini masih relevan? Ketika McD dan KFC ekspansif melakukan penetrasi ke second city dan nantinya third city, apakah pemikiran ini masih nyambung?
Saya kira sampai kiamat sekalipun, nasionalisme konsumen akan tetap urgen dan justru makin relevan. Ini adalah bentuk kecintaan kepada negeri ini. Ini adalah bentuk penghargaan kepada potensi-potensi luar biasa negeri ini. Ini juga merupakan bentuk kepeduliaan pada masa depan negeri ini. Kalau kita tidak menghargai rendang dengan membelinya, lalu siapa? Kalau kita tidak menghargai gerabah Kasongan atau lurik Yogya dengan membelinya, lalu siapa? Kalau kita tidak menghargai jamu lokal dengan membelinya, lalu siapa? Alangkah indahnya jika ngantri sampai pingsan di Pacific Place beberapa minggu lalu itu bukan ngantri Blackberry Bold tergress, tapi ngantri rendang atau ngantri jamu gendhong mbok–mbok.
Belajar dari Korea
Korea Selatan adalah negara yang hebat nasionalisme konsumennya. Negara ini memiliki merek-merek mobil Hyundai dan Kia yang awalnya punya imej medioker. Namun karena kekuatan nasionalisme konsumennya, saat ini mereka menjadi merek-merek global yang disegani di seluruh dunia. Kalau Anda ke Korea maka mobil yang lalu-lalang di jalan tak jauh dari merek Hyundai dan Kia. Sangat sedikit mobil-mobil Jepang atau Amerika-Eropa, bahkan masyarakat Korea agak anti pada mobil Jepang.
Bugitu juga dengan ponsel, di Seoul Anda akan sulit menemukan merek ponsel selain Samsung dan LG. Mereka bangga membeli dan memiliki merek bikinan dalam negeri, tak hanya sebatas mobil dan ponsel, tapi juga elektronik, tekstil, makanan-minuman, hingga kerajinan. Hebatnya lagi, dengan semangat nasionalisme konsumen pula, mereka mempopulerkan ginseng, Tae Kwon Do, hingga K-pop (Korean pop) menjadi produk yang tak hanya populer di dalam negeri tapi juga moncer di seluruh dunia.
Anak Tiri
Saya kebetulan dekat secara pribadi dengan ibu Martha Tilaar. Bicara nasionalisme konsumen saya jadi teringat kisah bu Martha yang sering diceritakan ke saya. Ini kisah mengenai sejarah masuknya produk-produk kosmetik Martha Tilaar di mal-mal di Jakarta. Kisah bermula ketika di pertengahan 1990-an bu Martha ingin mendongkrak brand image produk kosmetiknya dengan hadir di mal-mal bergengsi di Jakarta.
Pada saat bu Martha mengajukan permintaan kepada manajemen sebuah mal, permintaannya itu ditolak mentah-mentah. Alasannya, produk-produk kosmetik lokal tidak bisa masuk di mal tersebut, nggak level. Mendengar jawaban itu bu Martha sedih bukan main. Saking kesalnya bu Martha bilang ke staf manajemen: “Kamu ini tinggal dimana, kok produk bangsa sendiri nggak diterima!” Setelah bersitegang, akhirnya permintaan bu Martha diluluskan, tapi dengan catatan: harus di lantai 4. “Karena lantai 1 hanya untuk yang branded-branded dari luar,” ujar si staf.
Kisah bu Martha mungkin memang terjadi lebih dari 15 tahun yang lalu. Namun kalau kita melihat kenyataan sampai detik ini, sesungguhnya kondisinya tidak berubah. Kalau kita amati lantai-lantai strategis mal di Jakarta, praktis semuanya didominasi oleh produk branded dari luar negeri. Produk lokal cukup puas ada di lantai 4 atau 5. Atau kalaupun ada di lantai bawah, tempatnya ngumpet di belakang. Produk lokal menjadi anak tiri di negerinya sendiri.
3M
Saya paling suka 3M-nya Aa Gym. Karena itu untuk membangkitkan nasionalisme konsumen saya nggak muluk-muluk cukup pakai tips: “mulai dari diri sendiri; mulai dari hal kecil; mulai dari sekarang juga.” Saya memulainya dari makan ikan. Harap para pembaca tahu, sejak beberapa minggu terakhir ini saya paling doyan makan ikan. Kalau meminjam tagline-nya Sosro: “Apapun makanannya, lauknya pasti ikan.”
Kenapa rupanya? Bulan lalu saya seminar bareng pak Thomas Dharmawan, teman lama yang juga mantan ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI). Kata pak Thomas: “Makan ikan itu lebih nasionalis daripada makan daging sapi” Kenapa begitu? Ya karena ikan itu berlimpah tersedia di bumi pertiwi, dipancing dan dijaring para nelayan kita. Sementara daging sapi harus diimpor dari Australia dan Selandia baru, terlalu banyak makan devisa.
Karena itu saya sarankan teman-teman yang mau menjadi nasionalis sekaligus pahlawan devisa seperti saya, pakailah tips 3M-nya Aa Gym dengan banyak-banyak makan ikan. Hehe… “Hidup nelayan Indonesia!!!”
15 comments
Tulisan bagus dan menggugah. Salah satu masalah kita, adalah menciptakan brand image yg setara dgn brand dari luar. Kalau dipikir2 masalah kualitas product sudah banyak setara, semisal product ibu Marthatilaar. Indikasinya adalah Tenaga ahli kita sendiri sudah banyak jadi pekerja, mengerjakan product luar dgn brand-brand global
Hehehehe, setuju 100 persen. Dimulai dari makan ikan ya, padahal saya doyan tahu dan tempe 🙂
Tahu tempe juga nasionalis dan pahlawan devisa.. hidup tahu-tempe!!!
Mantafff…senang bukan main krn ini sesuai dgn langkah sy memajukan produk indonesia.
Lewat brand pasarterasi, sy kembangkan terasi organik hasil pengrajin nelayan pantura. Sy jual & modern-kan hasil tangkapan nelayan pantura dgn Ikan Jambal Pancing-nya.
Hidup Nelayan Indonesia, mulai dgn Terasi Organik Cirebon, mulai dgn Ikan Jambal Pancing, mulai dgn bawang goreng Brebes dr pasarterasi 🙂
great! you are a HERO… bangga sampeyan, bangga Indonesia
“Tunggangilah produk luar untuk kepentingan produk negeri sendiri”…beli Indonesia
Jangan sampai sebaliknya
Beli produk Indonesia!
Beli Semerbak jangan S**rb**k > hehe numpang iklan 😀
😀 setujuuuuuu…..
Tinggalkan parfum brand impor, beralih ke @qimosperfume 🙂
Support terus dan jadi kan NYATA produk Indonesia berjaya ..
yesss……
kalo di makassar kami tidak makan ikan, kami makannya ikang! 😀
benar sekali mas. mending makan di rm padang ato rm jawa daripada di mcx ato kfx. ato dari segi fashion deh, bnyak jg kn produk asli kita. ini rumah kita, sharusnya kita pilih makanan (produk) kita juga!
Let”s see… profitable or nggak…
Kalo soal ikan dan sapi, gak ada pertanyaan. Tapi saya masih bingung soal KFC dan McD. Semaju-majunya franchise luar ini, tenaga kerja lokal kan terserap juga, dapet gaji juga. Jadi kerugian aslinya cuma di kompetisi dengan produk lokal dong? Iya gak sih, Pak?
Kalau film2 kita kyk Laskar Pelangi optimis… kalau isinya demit dan pocong + kuntilanak melulu pesimis + malu
sangat mencerahkan Pak! saya sedang memperjuangkan agar film lokal pun memiliki konsumen nasionalis, menurut bapak chance nya bagaimana?
[…] dalam negeri kita. Karena alasan itulah dalam kolom minggu lalu saya menekankan pentingnya “nasionalisme konsumen” agar kita mencintai produk-produk nasional seperti halnya yang terjadi di negara-negara […]
[…] Merek Dengan logika seperti itu, saya meramalkan bahwa sentimen nasionalisme merek lokal bakal marak di Indonesia. Wajar saja, karena kita tak mau hanya menjadi bangsa […]
Hehe hidup nelayan!!!
[…] dalam negeri kita. Karena alasan itulah dalam kolom minggu lalu saya menekankan pentingnya “nasionalisme konsumen” agar kita mencintai produk-produk nasional seperti halnya yang terjadi di negara-negara […]
[…] seperti di atas, kini saya semakin meyakini pentingnya setiap insan anak negeri untuk memiliki “nasionalisme merek Indonesia”. Di tengah kehadiran massif MNC global asing, seluruh anak negeri harus merapatkan barisan dan […]