Jam di dinding menunjukkan pukul dua pagi lebih lima menit. Suasana lantai dua 7-Eleven Kelapa Gading hangat. Saya cari tempat duduk di bawah, tak satupun kursi kosong tersisa. Naik ke lantai dua, nyaris semua meja terisi. Untung masih ada satu-dua kursi yang menghadap jendela kosong. Suasana agak gaduh, sebagian besar ABG. Ada yang lagi chit-chat, mengerjakan tugas kuliah, ada yang serius meeting, ada yang baca novel Harry Potter seri terbaru, tak ketinggalan, ada juga yang bengong.
Saya sudah nggak muda lagi, tapi boleh dong berlagak ABG. Karena itu saya pesan Chitato plus mengambil keju cair yang disediakan gratis. Kelakuan kampung saya keluar, itu keju diambil sebanyak mungkin untuk melumuri keping-keping Chitato renyah. Untuk pilihan minum, favorit saya adalah soda beku khas 7-Eleven, Slurpee aneka rasa yang diaduk warna-warni. Cool. Di tengah lautan ABG saya serasa 15 tahun lebih muda.
Itulah potongan laporan pandangan mata saya tiga hari lalu di tempat nongkrong ABG paling keren di Jakarta saat ini. Dari sekian banyak nongkrong di 7-Eleven dan bergumul dengan konsumen on the spot, saya menemukan banyak insight menarik mengenai gerai pendatang baru ini. Terus-terang saya penasaran kenapa 7-Eleven menjadi magnet yang luar biasa bagi konsumen.
Value
Saya sering mengatakan bahwa 7-Eleven itu Consumer 3000 banget. Kenapa? Karena knowledgable consumer seperti Consumer 3000 selalu mencari value tertinggi dari produk-produk yang mereka beli dan secara pas 7-Eleven memenuhinya. Keju cair gratis, minuman branded Rp 9.000 (wow… Starbuck Rp 30.000-an), Hot Dog Rp 18.000, nongkrong bisa seharian, yang lagi kerja colokan listrik dan WiFi tak terbatas, dan yang tak kalah penting identitas anak gaul dan imej global dapat. “Mana ada tempat lain yang kasih keju cair gratis,” begitu kata seorang konsumen mahasiswa yang saya ajak ngobrol.
Nggak hanya itu, kalau Anda bukan bekerja di perusahaan besar apalagi kalau Anda entrepreneur pemula, mengajak meeting rekan bisnis di Starbuck atau resto ternama tentu saja mahal. Kalau sekali dua kali mungkin oke, tapi kalau rutin beberapa kali seminggu, mana kuat. Menghadapi problem ini 7-Eleven menjadi solusi cespleng. Imej dapat, makanan relatif murah sehingga menraktirnya nggak menguras kantong, lokasi pun umumnya strategis.
Merakyat
Saya kira salah satu hal yang membikin 7-Eleven ramai dikunjungi orang adalah environment-nya yang lebih “merakyat”. Suasananya kasual abis khas ABG dan self-service. Nggak ada jaim-jaiman. Pakai sandal jepit oke, pakai celana pendek oke, mau merokok nggak ada yang melarang. Mana ada suasana kasual begini didapatkan di Starbuck atau J.Co. Di halaman parkir juga hanya ada beberapa mobil karena memang ruangan parkirnya kecil. Di situ kendaraan didominasi oleh sepeda motor, jadi kelihatan merakyatnya.
Suasana yang merakyat dan tidak jaim inilah yang membuat mahasiswa yang berkantong pas-pasan pun pede melenggang di 7-Eleven. Saya banyak mengamati kondisi demografis pengunjung 7-Eleven dan saya menemukan strata sosial mereka campur, dari yang berkantong pas-pasan seperti mahasiswa hingga yang tongkrongan-nya Mercy.
Build Urban Culture
7-Eleven juga menjadi pembelajaran menarik bagi marketer karena ia mampu membentuk perilaku baru konsumennya, yaitu kaum muda urban. Kehadiran 7-Eleven membentuk budaya nongkrong sampai pagi yang lebih merakyat. Menyelesaikan tugas kuliah sendirian kini tidak jaman lagi: “garing!!!”. Mengerjakan tugas kini dilakukan secara fun dan beramai-ramai malam hari, sambil ngemil, sambil ngobrol, dan bersosialisasi. “Everything becomes social!!!”
Mengerjakan tugas-tugas yang tak terselesaikan di kantor kini juga nggak lagi dilakukan di rumah sendirian: “garing!!!” Sekarang menyelesaikan tugas kantor setali tiga uang dilakukan bareng-bareng sama teman kantor malam hari hingga dini hari. Semua dilakukan secara fun, sambil ngemil, sambil ngerumpi-ngerumpi, sambil bersosialisasi. “Everything becomes social!!!”
Pagi sampai sore Twitter-an melulu tanpa kopdar; pagi sampai sore Facebook-an terus tanpa kopdar… garing!!! Inilah tikipal orang Indonesia: kalau online melulu tanpa ketemu rasanya nggak greget. Itu sebabnya konsumen kita siang ber-social networking secara online, malamnya baru bersosialisasi secara offline. Maka 7-Eleven pun menjadi “kopdar point” bagi para Tweeps dan Facebookers untuk melepas kerinduan offline.
Community + Buzz
7-Eleven juga menjadi media pembentuk komunitas yang powerful. Karena orang yang ke 7-Eleven secara tipikal adalah orang-orang yang memiliki minat yang sama (common interest), maka secara natural mereka akan membentuk komunitas. Tadi malam saya iseng googling untuk mencari tahu komunitas yang menggunakan 7-Eleven sebagai meeting point. Seperti dugaan saya, rupanya banyak komunitas-komunitas yang menggunakan 7-Eleven sebagai hub. Salah satunya adalah para Kaskuser yang rutin nongkrong di 7-Eleven.
Ketika komunitas terbangun kokoh, maka hasil ikutannya adalah krusialnya word of mouth sebagai media pemasaran yang ampuh. Tak heran jika WOM menjadi alat penentu sukses pemasaran 7-Eleven. Saya belum melihat iklan 7-Eleven di TV atau media cetak. Kalaupun memang ada, saya kira sedikit sekali. Tapi kenapa gerai ini sukses luar biasa? Jawabnya adalah the power of WOM… the power of customers as salesmen.
Saya menulis kolom ini memuji luar biasa 7-Eleven bukan karena saya dibayar, bahkan saya nggak kenal satupun anggota manajemen 7-Eleven. Saya menulis kolom ini karena, pertama, sebagai pelanggan saya menemukan value yang luar biasa di gerai ini. Kedua, karena saya menggeluti dan mencintai dunia pemasaran, sehingga saya punya panggilan untuk mengungkap merek-merek yang memiliki strategi pemasaran hebat.
Apapun alasannya, tulisan ini telah menjadi bagian dari the power of WOM bagi 7-Eleven. Apapun alasannya, saya telah “terperalat” menjadi salesman bagi 7-Eleven. Saya telah “terperangkap” dalam jejaring WOM 7-Eleven. Upsss!!!
18 comments
Wah anak Sevel juga nih mas 😀
Ya, Sevel menjawab semua kebutuhan c3000: strategis, bisa duduk lama, colokan+wifi, harga murah, buka 24 jam 🙂
Semerbak Coffee harus banyak belajar dari Sevel mas
ya catatan pandangan mata, yang membuat mata manajemen sevel berbinar-binar. haha.. memang enak juga sih.. bisa kalah nih tongkrongan yang asli indonesia seperti nasi kucing dan bubur kacang ijo (burjo)..
Nasi kucing menurut saya nggak kalah dari Sevel… saya pribadi sih ngerasain nasi kucing lebih experiential dibanding Sevel… hidup nasi kucing!!!
Gimana costing-nya ya? Gimana caranya supaya outlet ini ngga cuma dipake nongkrong, pake colokan+wifi, tapi salesnya jeblok?
Cost ini yang perlu kita tahu, tapi kalao dimana2 buka baru, saya kira mestinya profitable
Jangan2 Mas ini yang waktu itu aku lihat nongkrong sendirian ya…qiqiqiiq..setuju Mas..anak2ku paling seneng kalo dibawa ke SevEl..the best lah pokoknya..apalagi di kelapa gading udh ada jadi gak perlu jauh2…
Hehehe…
Saya jd teringat buku Anxiety & Desires-nya Hermawan Kertajaya, dimana pasar terbesar di masa dpn adl Youth, Women & Netizen. Sevel sukses mndapatkan pasar Youth & Netizen, congratz 🙂
Jgn lupa mampir ke blog saya y mas (lewatmulut.com)
wah, ternyata mas siwo ini suka “galau” juga ya, hehehe
7 eleven memang memang sangat menarik dan telah mengubah peta bisnis mini market. tapi belum tahu gimana salesnya, karna kebanyakan yg nongkrong adalah kaum abg yg cuma “cari tempat”
Asyik baca postingan pak siwo 🙂 kebetulan sy barusan nulis jg ttg perlunya warkop pinggir jalan mengadopsi konsep bisnis sevel… klo gak,bisa2 warkop tergusur sevel…hehehe…
Thx for the article pak 🙂
Sip, saya sudah baca tulisannya… great 🙂
[…] Fitness selalu ada di mal dengan kaca etalase yang terbuka lebar). Begitupun orang ke Starbuck atau 7-Eleven bukanlah semata untuk menenggak Espresso Macchiato atau Slurpee. Kenikmatan terbesar mereka […]
[…] Fitness selalu ada di mal dengan kaca etalase yang terbuka lebar). Begitupun orang ke Starbuck atau 7-Eleven bukanlah semata untuk menenggak Espresso Macchiato atau Slurpee. Kenikmatan terbesar mereka […]
[…] hobinya nongkrong sambil ber-“see and to be seen” ria hingga menjelang Subuh. Gerai seperti 7-Elevenmenikmati sukses luar biasa karena cerdik menangkap peluang kelas menengah dengan gaya hidup baru […]
[…] atau Twitter, dan tidak bisa dilakukan oleh perusahaan konvensional. Salah besar! Ambil contoh 7-Eleven. 7-Eleven adalah inovator di industri ritel nasional dengan menawarkan value proposition yang tak […]
[…] atau Twitter, dan tidak bisa dilakukan oleh perusahaan konvensional. Salah besar! Ambil contoh 7-Eleven. 7-Eleven adalah inovator di industri ritel nasional dengan menawarkan value proposition yang tak […]
[…] hobinya nongkrong sambil ber-“see and to be seen” ria hingga menjelang Subuh. Gerai seperti 7-Eleven menikmati sukses luar biasa karena cerdik menangkap peluang kelas menengah dengan gaya hidup baru […]
[…] 3000”) di Indonesia. Maraknya pasar baru inilah yang membuat pemain seperti 7-Eleven (“Sevel”) mencapai sukses luar biasa, layanan Indomaret 24 jam begitu mencorong, atau McCafe begitu […]
[…] atau Twitter, dan tidak bisa dilakukan oleh perusahaan konvensional. Salah besar! Ambil contoh 7-Eleven. 7-Eleven adalah inovator di industri ritel nasional dengan menawarkan value proposition yang tak […]
[…] 3000″) di Indonesia. Maraknya pasar baru inilah yang membuat pemain seperti 7-Eleven (“Sevel”) mencapai sukses luar biasa, layanan Indomaret 24 jambegitu mencorong, atau “McCafe” […]
[…] atau Twitter, dan tidak bisa dilakukan oleh perusahaan konvensional. Salah besar! Ambil contoh 7-Eleven. 7-Eleven adalah inovator di industri ritel nasional dengan menawarkan value proposition yang tak […]
[…] Innovation Hero Setelah jatuh, banyak pengamat (termasuk pengamat dadakan di medsos) yang mengkritik, menyalahkan, dan menghakimi Sevel sebagai the loser. Saya sebaliknya melihat Sevel sebagai “innovation hero”. […]