Untuk kesekian kali gadget bikin heboh. Nggak hanya Crocs saja yang membikin para pemburu diskon kalap. Sudah menjadi kebiasaan di Jakarta sekarang, begitu ada cool gadget diluncurkan di mal, para gadget lover pun kalap. Kita masih ingat heboh launching Galaxi Tabs, iPhone, atau Nexian beberapa bulan lalu yang menimbulkan buzz effect luar biasa.
Itulah yang terjadi pada launching BB Bold 9790 di Pacific Place Jumat kemarin. Beberapa hari sebelumnya memang kita dibikin penasaran dengan iklan satu halaman di koran-koran mengenai kehadiran BB terbaru yang peluncuran perdananya (world launch) dilakukan di Jakarta. Namanya yang pertama, tentu saja para BB mania penasaran ngerasain menjadi pengguna pertama di dunia.
Kira-kira sama dengan sensasi yang dirasakan saat para Apple mania mengular di Apple Store, Fift Avenue New York untuk menjadi pemilik iPad pertama di dunia. Sensasi ini menjadi daya tarik yang luar biasa bagi para BB mania, apalagi dengan embel-embel diskon 50%. Dengan background semacam ini, tak heran jika antrian para pemburu diskon gadget menjadi begitu luar biasa seperti kita saksikan dua hari lalu.
Saya terhenyak nggak percaya melihat foto headline di koran-koran esok paginya yang memperlihatkan lautan manusia tumplek-blek di Pacific Place untuk berburu produk yang sedang di puncak ketenaran ini. Makin terhenyak lagi, karena kekalapan itu telah membawa korban hingga 90 orang pingsan. Dalam hati kemudian saya bergumam, biasanya yang sampai bikin pingsan itu ngantri sembako atau ngantri daging kurban, eh ini ngantri diskon gadget.
Berikut ini adalah catatan saya mengenai peristiwa tersebut. Agar cool, saya beri nama fenomena itu, insiden “pingsan BB”.
Connected Customers
Insiden “pingsan BB” adalah fenomena perilaku konsumen baru yang saya sebut middle-class consumer, atau di Twitter saya sering memberinya istilah seksi “consumer 3000”. Pertumbuhan luar biasa ekonomi Indonesia selama beberapa tahun terakhir telah menciptakan kelas konsumen baru dengan kemampuan daya beli yang tinggi (high buying power) dan tingkat konsumsi tinggi. Mereka juga konsumen yang knowledgable karena memiliki akses informasi global yang luar biasa dengan cukup googling di internet. Dan tak hanya itu, mereka juga terkoneksi satu sama lain (connected) sehingga informasi produk bisa begitu mudah (seamless) merambat dari satu konsumen satu ke konsumen lainya.
Kekuatan konsumen yang terkoneksi satu sama lain inilah yang memungkinkan “penggalangan massa” berjalan begitu powerful di Pacific Place Jumat lalu. Hal ini persis seperti yang terjadi saat hastag #cairo dan #jan25 di Twitter mampu “memobilisasi” pendemo Mesir berkumpul di lapangan Tahrir. Saya menduga luapan massa yang tumpah ruah di Pacific Place kemarin bermula dari proses buzzing yang berlangsung massif di media sosial (blog, Twitter, Facebook, Kaskus, dll.) yang kemudian menghasilkan “energi sihir” luar biasa kepada para BB mania untuk berduyun-duyun datang memperebutkan BB terbaru.
Mass Luxury
Fenomena “pingsan BB” juga menyadarkan kita semua bahwa gadget mutakhir yang kita tahu harganya tidak murah, kini sudah menjadi apa yang saya sebut mass luxury. Kenapa saya sebut demikian? Karena gadget itu memang barang mewah, namun kini kebanyakan orang mampu memilikinya. Barang mewah umumnya hanya dimiliki oleh kalangan masyarakat elit tertentu, tapi kini barang itu sudah dimiliki masyarakat kebanyakan secara massal.
Seperti juga yang terjadi di Cina, India, atau Brasil, kemunculan kelas menengah yang cukup siknifikan serta-merta diikuti dengan fenomena merebaknya produk-produk mass luxury. Ya, karena konsumen kelas menengah yang memiliki daya beli cukup tinggi ini sudah memiliki cukup disposable income untuk membelinya. Dulu berlibur ke Singapura atau KL adalah barang mewah, kini liburan ke luar negeri menjadi mass luxury. Dulu mobil adalah barang mewah, tapi kini mobil seperi Jazz, Kijang, atau Avanza adalah mass luxury.
Hypervalue-Oriented Customers
Insiden “pingsan BB” juga mengkonfirmasi hipotesis saya selama ini bahwa consumer 3000 adalah konsumen yang smart dan hypervalue-oriented customer. Ketika konsumen memiliki daya beli yang meroket tinggi, maka logikanya mereka akan royal, boros, dan konsumtif dalam membeli barang-barang yang diinginkannya. Dalam kasus konsumen kelas menengah, rupanya hal itu tak serta-merta terjadi. Mereka justru menjadi sangat value-oriented dalam artian setiap rupiah uang yang dibelanjakan dihitung-hitung secara cermat. Tak heran jika mereka adalah discount-hunter dan bargain-hunter sejati. Smart customer selalu ingin dapat sebanyak mungkin, dengan harga serendah mungkin.
Kenapa ini terjadi? Jawabannya simpel, karena mereka adalah konsumen yang sangat knowledgable. Karena akses informasi yang demikian luas cukup klik di Google atau mencari rekomendasi teman di Twitter, mereka akan tahu value dari produk-produk yang akan mereka beli. Mereka akan searching untuk mencari best deal (diskon, menunggu harga turun, bundling, dll.) sebelum memutuskan membeli. Membludaknya para pemburu diskon di Pacific Place kemarin bisa dijelaskan dari background perilaku konsumen semacam ini.
Buzzing
Catatan terakhir saya mengenai insiden “pingsan BB” adalah menyangkut keuntungan luar biasa yang bakal diperoleh RIM dalam mendongkrak ekuitas merek BB karena adanya insiden ini. Saya tidak membahas apakah persiapan RIM tidak baik atau polisi tidak tanggap sehingga terjadi insiden ini. Dari sudut pandang pemasaran, insiden itu terjadi secara natural tanpa ada satu pihakpun yang merekayasa. Salah satu kunci kesuksesan buzz marketing adalah jika promosi yang dilakukan berlangsung secara genuine dan spontan tanpa direkayasa, tanpa dibuat-buat.
Insiden yang genuine ini telah membangkitkan buzz effect yang luar biasa yang dipastikan akan terus bergulir dan mewabah seperti virus hingga beberapa minggu ke depan. Peristiwa yang genuine itu pulalah yang menjadi kunci kesuksesan buzzing es krim Magnum, heboh pulau Komodo masuk New Seven Wonder, juga meroketnya selebriti dangdut Ayu Ting Ting. Apapun kontroversi yang terjadi, “Pingsan BB” adalah aset luar biasa bagi RIM untuk mendongkrak brand BB di negeri ini.
7 comments
Tulisan yang menarik pak. tapi apa RIM perlu melakukan Pembersihan citra terkait beberapa dampak acara ini yang menciptakan hujatan seakan RIM dan rekan tidak mempersiapkan konsep dengan baik pak?
Om, apa RIM sudah bisa dibilang mereka sudah menjual budaya, bukan lg produk ke masy Indonesia?
Wah saya ga sampe berpikir kesana mas
Tapi bahasan ini memang jadi menyadarkan sih efek buzzing itu dapat dicontek utk digital marketing
Kalo dlm pikiran sederhana saya, orang indonesia itu rakus
Mulai dari antre daging kurban sampe gadget mahal
Sama semua rakusnya 😀
Btw emang crocs pernah bikin heboh jugakah?
Pdhl itu kan produk berbahaya (di mall) dan udh byk korban jatoh
Enakan pake sendal jepit suwalow 😀
ini kelompok yang ekonominya udah menengah tetapi mentalnya masih miskin, katanya eknomi sudah mapan tapi mau barang yang ada discount.
[…] Anak-anak juga nggak perlu diajarkan mengendarai kendaraan sendiri, selagi belum cukup umur. Cukup di-training beberapa kali bagaimana menggunakan transportasi publik, selanjutnya bisa jalan sendiri. Tentu negri ini juga mesti cukup aman sehingga orang tua tidak perlu khawatir melepas anak untuk mandiri. Hitung-hitung jaga kesehatan dengan olahraga jalan kaki dan nggak manja naik mobil atau motor yang makin hari nambah macet dan polusi. Sebuah kebiasaan disiplin terhadap aturan, hasil dari implementasi dan konsistensi terhadap sistem yang telah dibangun. Termasuk kebiasaan tertib antri, sehingga nggak perlu jatuh korban pingsan hanya gara-gara ngantri gadget. […]
[…] “Pingsan BB” […]
[…] “Pingsan BB” […]