K-pop, alias Korean pop, alias Korean wave, alias Hallyu memang hebat. Demamnya melanda ke seberang, ke seluruh pelosok dunia: dari Amerika hingga Eropa; dari Rusia hingga Timur Tengah.
Sekretaris saya fanatik 2PM. Avatar BBM-nya berganti-ganti foto Tae Cyeon salah satu dedengkot 2PM yang di tiap lagunya selalu kebagian ngerap. “Dia cakep, jago ngerap, dan humoris,” ujarnya tentang sang idola. Pengetahuannya A sampai Z tentang Tae Cyeon dan 2PM extraordinary. Dan tiap kali diajak ngomong 2PM matanya selalu berbinar-binar nyaris keluar dari kantungnya dan mulutnya nerocos sulit dihentikan, bicara supersemangat dan penuh passion. Itu sebabnya saya malas ngobrol dengan dia soal 2PM.
Hampir tiap saat ia meng-update informasi mengenai setiap personil 2PM melalui Twitter @Hottest, Facebook fanpage Hottest Indonesia, dan YouTube sehingga tak sedikitpun informasi mengenai boy band kebanggaannya itu terlewatkan. Yang belum tahu, Hottest adalah sebutan untuk para fans fanatik 2PM. Bahkan setiap Rabu lepas Magrib dia tekun belajar bahasa Korea melalui akun @Hottest yang secara khusus memberikan “kursus” bahasa Korea melalui Twitter.
Sekretaris saya adalah potret fanatisme K-pop. Fanatisme yang sama dialami jutaan ABG di seluruh pelosok Tanah Air. “It’s the power of K-pop!!!”
Bicara tentang K-pop saya punya tiga opsi: the good, the bad, dan the ugly. The good adalah kebaikan-kebaikan yang harus kita tiru dari K-pop. The bad adalah keburukan-keburukan yang harus kita hindari. Dan the ugly adalah kejelekan-kejelakan, yang kalau bisa jangan sampai terjadi di Tanah Air.
The Good
Saya kagum dengan Korea karena piawai menjual “komoditi ekspor” berupa budaya pop ke seluruh pelosok dunia dan laku keras kayak pisang goreng. Bagi saya nggak masalah budaya pop itu meniru atau mengadopsi budaya pop Amerika (gaya hidup, penampilan, aliran musik, gaya tarian), toh sukses dan kita semua suka. Kenapa saya sebut komoditi ekspor, karena sebuah komposisi musik berikut pernik-perniknya adalah bagian dari industri kreatif yang di Indonesia sedang digalakkan.
Hebatnya Korea, dalam kasus K-pop, mereka tak hanya sekedar menjual musik, tapi sudah menjual budaya: yes nilai-nilai, perilaku, gaya hidup K-pop. Saya sering mengatakan derajat tertinggi marketing adalah jika Anda sudah sempai ke level menjual budaya (values), bukan sekedar produk atau brand. Apple sesungguhnya bukanlah menjual iPhone atau iPad tapi menjual budaya; Harley Davidson bukanlah menjual motor besar, tapi menjual budaya; The Body Shop bukanlah menjual lipstik tapi menjual budaya.
Ketika kaum ABG kita sudah terasuki oleh nilai-nilai, perilaku, dan gaya hidup Korea yang termanifestasi dalam gaya hidup si bintang K-pop maka dampak kultural dan ekonomisnya akan luar biasa. Mereka akan menjadi Korea-sentris: menyukai tak hanya K-pop tapi juga sinetron Korea, gadget Korea, mobil Korea, seni-budaya Korea, bahasa Korea, kota-kota di Korea, keindahan alam Korea, dsb-dsb. Inilah sesungguhnya yang di sebut “marketing of the nation”, memasarkan negara. Ini pelajaran marketing paling berharga dari demam K-pop.
Pertanyaannya, kapan kita bakal punya komoditi ekspor “I-pop” alias “Indonesian pop” yang menyebar nggak hanya sampai ke Malaysia atau Singapura, tapi seluruh dunia? Barangkali musik dangdut berpotensi untuk ini?
The Bad
Menelusuri lika-liku industri K-pop di Korea, saya jadi sedih. Ya, karena jutaan kaum muda Korea saat ini terobsesi untuk menjadi bintang K-pop dengan iming-iming kemasyuran, puja-puji, kekayaan, dan gemerlap kemewahan. Untuk mencapai mimpi itu kadang-kadang segala cara dilakukan. Salah satunya adalah operasi plastik alias OP. Di Korea, kalau seorang calon bintang ingin termasyur tapi modal tampang kurang, maka tak sulit-sulit mereka melakukan OP. Itu sebabnya saat ini Korea merupakan negara dengan populasi OP terbesar di dunia.
OP untuk mengangkat kulit di sekitar mata, meluruskan tulang dan pemasangan batang silikon di hidung, hingga operasi tulang rahang dilakukan para calon idola untuk mewujudkan mimpinya. Tujuannya adalah mendapatkan “standar wajah cantik” ala K-pop: mata besar-belok (tidak sipit), hidung bangir (yes, mancung bule), dan ukuran wajah kecil. Goohara dari girl band Kara dan bintang ka-dorama (sinetron Korea) Park Min Young misalnya, memiliki wajah kinclong karena total makeover melalui OP.
Celakanya, demam OP ini tak hanya terjadi di kalangan bintang K-pop, tapi sudah menjadi tren gaya hidup kalangan ABG di Korea. Tak bisa disangkal karena bintang K-pop itu menjadi panutan yang setiap polah-tingkahnya ditiru oleh para fansnya. OP sudah menjadi hal yang lumrah di kalangan ABG, yang biasanya dilakukan selepas mereka lulus SMA. Inilah sisi muram dari kehebohan industri pencetak idola bernama K-pop.
The Ugly
Saya berdoa, semoga para ABG kita meniru yang baik-baik saja dari gelombang demam K-pop di Tanah Air. Para ABG kita boleh meniru gaya dandanan mereka, gaya tarian mereka, atau kreativitas mereka mencipta lagu, tapi jangan sampai meniru urusan permak-mempermak wajah seperti terjadi di kalangan ABG di Korea.
Jangan sampai memasuki tahun baru 2012 kita menyaksikan tren permak wajah ini menghinggapi segenap anak negeri. Jangan sampai para ABG kita terasuki gaya hidup dan nilai-nilai bahwa permak wajah seperti yang dilakukan idola mereka itu lumrah dan biasa adanya.
Kalau itu terjadi… amit-amiiiit!!!
4 comments
malam bang,iseng2 tadi mampir di toko buku gunung agung semarang…eh womanology ndak ada,crowd abis…katanya distribusi lagi baru bulan depan…..just info wae mas………..Salam.
Great Think, Simple Statements…
Di Indonesia sih saat ini akhirnya lebih banyak bad-nya kalo tidak mau dibilang ugly. Sampai-sampai ada teman yang bilang, ‘sekarang hati-hati jika anak-anak atau adik-adik kita yang masih remaja berkumpul lebih dari 5 orang, bukan karena narkoba atau free-sex, tapi dikhawatirkan bikin boy atau girl band’. Separah itukah? Sebenarnya tidak juga, jika dilihat dari sisi positif anak muda berkarya. Problemnya kemudian mereka ini akhirnya mengesampingkan sisi longterm profit yang diinginkan pelanggan, mas. Bagaimana mereka care dg pelanggan, jika nyanyi saja terus2an lipsing, bukan menjadi boy/girl band tapi lebih tepatnya menjadi boy/girl dance. Tapi sekali lagi, ini Indonesia bung! Yang kayak gini yang akan laku. Buzzing, Kontroversial, dan Momentum yang Pas! Soal kualitas, itu urusan belakangan… Bad atau Ugly, ya Mas?
Artikelnya bagus, Pak. 🙂 Saya termasuk orang yang ‘menderita’ demam KPOP. Sudah baca ini saya ngerti kenapa berawal dari musik saja saya bisa suka keseluruhan hal yang berbau Korea.
Semoga Indonesia bisa, optimis saja, walau sekarang masih banyak yang ‘mengadaptasi’ Korea. Tapi mudah2an ini proses untuk menemukan cara menunjukan jati diri bangsa dengan musik
Viva Indonesia
[…] K-Pop: Good, Bad, Ugly […]