Kolom ini saya tulis di atas pesawat Garuda Indonesia GA305 20 Oktober lalu dalam perjalanan Surabaya-Jakarta. Ada dua kejadian kontras yang begitu mengesankan saya persis sebelum saya naik tangga pesawat yang kemudian memacu andrenalin saya untuk menulis kolom ini.
Kejadian 1: saat sehari sebelumnya di Surabaya saya bertemu beberapa kepala cabang dan kepala wilayah Adira Finance se-Jawa Timur. Kejadian 2: saat di bandara Juanda sambil menunggu keberangkatan pesawat ke Jakarta saya membaca headline koran mengenai resuffle kabinet SBY. Andrenalin saya begitu menggelora hingga saya seperti kesurupan dan tak terasa menit-menit sebelum pesawat menclok di Bandara Soekarno-Hatta, kolom pun tuntas ditulis.
Kejadian 1
Di Surabaya sehari sebelumnya saya melakukan brainstorm session dengan para kepala cabang dan kepala wilayah Adira dalam rangka riset untuk mengungkap leadership style Stanley Atmaja yang selama 20 tahun lebih merintis dan membawa perusahaan mencapai sukses luar biasa. Teka-teki terbesar yang terus mengganggu otak saya adalah menjawab pertanyaan: kenapa demikian banyak inisiatif yang dijalankan perusahaan (implementasi IT, budaya perusahaan, Balanced Scorecard, beragam program pengembangan produk baru, dsb-dsb) selalu bisa dituntaskan dengan hasil-hasil luar biasa.
Dari brainstorm akhirnya terungkap bahwa faktor utamanya menurut mereka adalah karena adanya kepercayaan yang tulus-ikhlas (trust) karyawan kepada CEO sebagai pemimpin. Sepak terjang Stanley selama 20 tahun terakhir yang dengan totalitas merintis, membangun, dan mengembangkan Adira dari zero menjadi hero telah membentuk kepercayaan karyawan kepada sang pemimpin. Leadership practices (walk the talk, empowerment, people-focused, integrity, dsb) yang diterapkannya dan teruji selama 20 tahun telah membentuk “keimanan” karyawan kepada sang pemimpin.
Apa yang terjadi jika trust dan “iman” terwujud dari karyawan kepada pemimpinnya? Semuanya menjadi gampang dan enteng. Inisiatif apapun yang diamanatkan sang pemimpin dijalankan dengan sungguh-sungguh dan passionate. Pekerjaan sesulit apapun yang diembankan sang pemimpin bisa dituntaskan dengan enteng dan sempurna. Dan tantangan perusahaan seberat apapun akan bisa diselesaikan secara bersama jika semuanya trust satu sama lain.
Trust akan membentuk apa yang saya sebut “energi positif”. Kenapa? Karena jika trust terwujud maka segala hal positif akan mengemuka: bersih hati, kecintaan kepada si pemimpin dan perusahaan, ownership, kesungguhan, kerja tanpa pamrih, optimisme, kepercayaan diri, rasa tanggung-jawab, sense of achievement, klik-klik politik kantor sirna, dsb-dsb. Di sisi lain, segala bentuk keburukan akan terkubur dalam-dalam: iri-dengki, prasangka buruk, resistensi, kemalasan, apriori, selfish, fitnah, saling gasak, saling hujat, saling umpat, dsb-dsb. Trust adalah sumber segala kebaikan.
Kalau trust hadir, maka otak kita akan dipenuhi dengan hal-hal yang positif. Hati kita akan positif, pikiran kita positif, sikap kita positif, perilaku kita positif, niat-ingsun kita positif, kerja kita positif. Dan kalau semua itu terjadi maka ujung-ujungnya kita akan mampu mencapai hasil yang luar biasa positif. Energi positif telah menghasilkan kinerja Adira yang luar biasa positif.
Kejadian 2
Dari kantor wilayah Adira Surabaya saya langsung ngacir ke Bandara Juanda. Sambil menunggu pesawat berangkat, sudah menjadi kebiasaan saya selalu memborong baca seluruh koran yang ada. Membaca headline-headline koran, otak saya seperti terberangus. Semua koran itu isinya didominasi berita mengenai resuffle kabinet dan yang menyedihkan: anggota DPR, sekjen partai, pengamat politik, anak mantan presiden, aktivis LSM, dosen perguruan tinggi, mahasiswa, tokoh masyarakat, seperti dikomando semuanya menghujat komposisi kabinet hasil rombakan SBY.
Sehari sebelumnya begitu susunan kabinet baru keluar, timeline Twitter dan update Facebook saya dibanjiri ocehan-ocehan para tweeps, mention, link artikel, atau breaking news, yang isinya setali tiga uang menghujat hasil resuffle kabinet SBY. Hujatannya macam-macam: “kabinet terisi politisi partai ketimbang profesional”; “wakil menteri pemborosan duit negara”; wakil menteri akan picu konflik”; “Fadel ditendang”; “Andi Malarangeng dan Cak Imin memang sakti”; dan seterusnya, dan seterusnya.
Celakanya, itu tak terjadi saat ini saja. Hampir seluruh polah-tingkah SBY selalu menuai kritik dan hujatan dari segala penjuru Tanah Air. Yang lamban lah; yang tidak tegas lah; yang tidak konsisten lah; yang mencla-mencle lah; yang tebang-pilih lah, yang cengeng bisanya cuma bikin lagu lah; dan seterusnya, dan seterusnya. Seoalah pemimpin kita ini tak ada baiknya sedikit pun. Terus terang saya kasihan sama SBY.
Untrust Society
Saya tidak bicara soal apakah para penghujat itu benar atau salah. Saya juga tidak tertarik untuk bicara apakah SBY sesungguhnya hebat atau banyak cacat. Yang menjadi keprihatinan saya adalah adanya kenyataan betapa miskinnya kita memandang pemimpin. Saya prihatin pada tak adanya trust antara kita dengan pemimpin kita seperti yang dalam scope kecil begitu indah terjadi di Adira.
Akibatnya, pemikiran, usulan, kebijakan, inisiatif, program, dan langkah yang diambil sang pemimpin selalu dihujat, ditentang, dihambat, ditolak dengan satu alasan: “Pokoknya!!!” Pokoknya dihujat!!! Pokoknya dihambat!!! Pokoknya ditolak!!! Kini kita menjadi “untrust society” yang hobinya saling curiga, saling menyalahkan, saling memfitnah, saling menelikung, saling memboikot.
Kalau semua kita sudah tidak saling trust lagi, maka yang muncul adalah “energi negatif”. Karena energi negatif ini, kita selalu melihat pemimpin kita dari sisi gelapnya saja, tanpa tersisa sedikitpun sisi terang. Ketika otak dan hati kita disesaki dengan energi negatif, maka sesuatu yang gampang menjadi rumit; sesuatu yang enteng menjadi teramat berat.
Kontras dengan yang terjadi di Adira, ketika energi negatif menguasai kita, maka otak kita akan dipenuhi dengan hal-hal yang negatif. Hati kita akan negatif, pikiran kita negatif, sikap kita negatif, perilaku kita negatif, niat-ingsun kita negatif, kerja kita negatif. Dan ujung-ujungnya hasil yang kita capai menjadi luar biasa negatif. Dengan energi negatif, maka apapun yang upayakan bangsa ini akan selalu menuai hasil amburadul: pemberantasan korupsi jalan di tempat; kesenjangan sosial makin meradang; kompor bledug di mana-mana; Kasus Bank Century menjadi benang kusut, KPK ditekuk-tekuk, dan seterusnya, dan seterusnya.
Ketakutan saya, kita semua ini tidak trust bukan hanya kepada SBY, tapi kepada siapapun orang-orang di sekitar kita. Kalau betul ini yang terjadi, maka sebagai bangsa kita sedang terjangkit penyakit kanker stadium empat.
Sumpah!!!
Kini kita mengalami krisis trust!!!
Kita mengalami krisis energi positif!!!
Mari kita cari energi positif itu…
3 comments
Saya setuju sekali dengan tulisan di atas. Kita harus menambah energi positif dan fokus pada solusi bukan pada masalah.
Kasian juga melihat politisi saling hujat tanpa mereka bercermin terlebih dahulu apakah diri saya sudah lebih baik dari yang saya hujat!
Sama dengan saat kita menunjuk orang, 1 jari menunjuk orang sisanya menunjuk kita.
Good article 🙂
Betul pak. Untrust society jg terjadi di lingkungan kerja saya, dan betul sprti yg dipaparkan diatas,tiap hari selalu muncul rasa curiga terhadap atasan. Sampe jengkel sy sm yg ga bs berpikir positif gt
[…] Energi Positif […]