yuswohady.com
  • Home
  • Biography
  • Home
  • Biography
bu zamana kadar sadece babası ile beraber yaşayan mobil porno genç oğlan üniversiteyi bitirdikten sonra hiç bir iş bulamaz porno izle ve evinde pineklemeye başlar Babasının milf bir kadın porno resim ile evlenme kararı ile adeta dumura uğrayan oğlan bunu porno izle ilk başta istemese de belki onunla iyi anlaşacağını seks izle düşünerek evde olduğu zamanlarda canı sıkıldığında üvey annesi sex hikayeleri ile sohbet edeceğini düşünerek kendisini rahatlatır Babasının yeni evlendiği porno izle kadın beklediğinden de çok iyi anlaşan genç oğlan sapık ensest hislerine mobil seks hakim olamayarak üvey annesinin odasına gelip siker
yuswohady.com

Mall Is the Killer App

by yuswohady July 23, 2011
July 23, 2011

Istilah “killer app” sering dipakai di dunia inovasi teknologi untuk menggambarkan produk/teknologi lama yang tergantikan (istilah kejamnya: “dibunuh” atau “dihabisi”) oleh produk/teknologi yang lebih baru. Mesin ketik “dibunuh” oleh komputer pribadi (dengan program Wordstar-nya waktu itu). Koran, majalah, dan buku cetak “dihabisi” pelan-pelan oleh portal berita, blog, dan ebook. iPod dengan iTunes-nya menjadi “killer app” bagi perusahaan rekaman dan toko-toko CD seperti Disc Tara atau Aquarius.

Tapi bagaimana ceritanya mal kok menjadi killer app? Ya, ini setidaknya berdasarkan pengamatan saya keseharian. Kian lama mal semakin mengambil begitu banyak aktivitas keseharian kita. Begitu memikatnya mal, sehingga kita kian tak berdaya “terhisap” ke dalamnya. It’s the center of our life.

Terus terang, saya adalah pecinta mal. Ya, karena dorongan istri (yang dipengaruhi anak-anak, sebagai “the great infleuncer”), hampir tiap minggu saya ke mal, bahkan bisa beberapa kali seminggu. Berbeda dengan kebanyakan orang yang ke mal kesurupan berbelanja, saya ke mal untuk memata-matai orang kesurupan berbelanja.

Nah, sekian lama mengamati denyut kehidupan mal, saya melihat ekspansi (tepatnya “hegemoni” atau “penjajahan”) mal ini semakin merajalela dalam menyusupi dan merasuki seluruh aspek kehidupan kita masyarakat urban. Ide awalnya, mal tak jauh beda dengan pasar Inpres, yaitu tempat untuk kita berbelanja kebutuhan. Tapi dalam perjalanannya, mal kemudian menjajah seluruh sisi kehidupan kita. Singkatnya, apapun aktivitas kita saat ini dilakukan di tempat “keramat” bernama mal. Coba kita lihat.

Kita ke mal untuk shopping (dan window shopping)… off course!!! Kita jalan-jalan menyambangi toko demi toko dengan berharap-harap cemas terkena impulse buying: bujukan Metro Big Sale, Mid Year Sale, Lebaran Sale dan sejenisnya.

Kita ke mal untuk melihat orang-orang berbelanja alias cuci mata sambil cari AC dingin. Ya, karena di mal selepas mata memandang, kita menemukan hamparan pemandangan yang serba segar: mbak-mbak yang cantik penuh kosmetik; mas-mas yang ganteng dan cool; seabrek barang-barang branded yang berkilau; toko-toko yang cozy dengan pramuniaga bak menekin dengan busana minim lagi.

Kita ternyata ke mal juga untuk meeting dengan rekan bisnis. Meeting di kantor? “Katrok!!!” kata Den Baguse Thukul. Tinggal pilih tempatnya, mau di Starbucks yang crowded tapi kelihatan banyak orang (narsis!!!) atau restoran yang tertutup dan sepi; semuanya ada di mal.

Kita ke mal juga untuk bekerja rupanya. Bawa Apple Airbook yang super tipis, kita nongkrong di kafe: mau menulis laporan untuk klien, mengerjakan Excel budgeting, atau menyiapkan presentasi Powerpoint ke bos. Bahkan di FX Plaza, Jakarta, mal dirancang menyediakan tempat-tempat mungil untuk brainstorming dan meeting.

Kita ke mal untuk nonton di akhir pekan midnight show. Walaupun belakangan film-film Hollywood yang masuk jelek-jelek; kita tetap melestarikan ritual nonton midnight show di mal untuk “balas dendam” setelah penat bekerja full Senin sampai Jumat.

Kita yang ABG ke mal untuk nonton konser Ungu, D’Masiv, atau ST 12. Beberapa tahun terakhir bahkan muncul tren program-program TV yang mengusung konser musik live di mal: InBox, Dahsyat, dll. Tujuannya tentu saja untuk mengumpulkan crowd dan tentu menarik pemirsa.

Kita sesama teman SMP-SMA yang sudah tak bertemu 15 atau 20 tahun ketemu untuk reuni di mal. Di Jakarta beberapa tahun terakhir muncul tren reuni SMP-SMA “korban Facebook” di mal-mal. Rupanya, banyak temen-temen SMP-SMA kita dipertemukan di Facebook dan untuk merayakan pertemuan, mereka melakukan reuni di mal.

Kita ke mal untuk mengajak anak-anak kita bersuka-ria bermain prosotan, aneka ragam games, ikut lomba lukis di Timezone atau KidZania. Trans Studio sengaja membuka theme park-nya dekat mal di tengah kota Bandung agar cepat diserbu anak-anak dan orang tua seantero kota. Akibatnya bisa diduga: Bandung tambah macet-cet-cet!!!

Kita yang brand manager perusahaan terkenal melakukan launching produk di mal. Alasannya: “crowd-nya dapet,” ujar mereka. Itu sebabnya launching Samsung Galaxi Tabs tahun lalu di Plasa Senayan sukses luar biasa, menimbulkan antrian mengular pembeli dan memicu “talk of the town” di seantero Jakarta

Kita para seniman trendi menyelenggarakan pameran lukisan, patung,  seni instalasi, atau foto bukan lagi di TIM (Taman Ismail Marzuki) atau GKJ (Gedung Kesenian Jakarta), tapi di mal. Alasan para seniman trendi itu: “agar lukisannya banyak yang laku!” Hehehe, jadi mal sudah menjadi killer app bagi TIM dan GKJ. Sedih!!!

Kita sekolah dan kursus juga mulai banyak dilakukan di mal. Habis pening menyerap ilmu dari guru atau dosen paling enak window shopping dan cuci mata di mal. Kalau Anda ke La Piazza, Mal Kelapa Gading lantai 3, maka Anda akan menjumpai tempat kuliah yang cozy milik Wall Street Institute. Tempat kursus Inggris bergengsi ini sukses luar biasa, salah satunya karena berlokasi di mal-mal.

Kita beribadah hari minggu ke gereja pun rupanya mulai dilakukan di mal. Mal Ambasador pada hari minggu berjubel bukan hanya oleh serbuan para shoppaholic, tapi juga para jemaat gereja. Habis khusuk beribadah di gereja, di lantai bawahnya sudah tersedia wisata kuliner yang membangkitkan selera… mak nyus!!!

Saya adalah pengunjung setia Perpustakaan PPM di dekat Monumen Tugu Tani, Jakarta Pusat. Beberapa tahun terakhir berkunjung saya sedih, ya karena perpustakaan sepi nyeyet, jarang pengunjung. Padahal sepuluh tahun lalu masih ramai minta ampun. “Mahasiswa sudah Googling semua mas untuk cari referensi,” kata staf administrasi menjelaskan alasannya. Saya jadi punya pikiran nakal: kalau perpustakaan PPM di pindah ke mal Pacific Place atau mal Gran Indonesia, barangkali laku pengunjung ya?

Bulan lalu saya berkunjung ke Museum Nasional di Jalan Merdeka Barat. Di situ banyak sekali peninggalan-peninggalan prubakala yang menjadi tonggak sejarah Indonesia yang tak ternilai harganya. Cuma, di tengah begitu banyak peninggalan bersejarah yang menyimpan cerita yang luar biasa, Museum Nasional sepi pengunjung. Saya jadi punya pikiran nakal: Kalau Museum Nasional dipindah ke mal Artha Gading atau Pondok Indal Mall 2, barangkali laku pengunjung ya?

Setelah sekolah, pameran seni, gereja, perpustakaan, atau mungkin museum, kira-kira apalagi yang bakal “dimakan” oleh mal? Tanpa sadar… Mal telah menjadi pusat aktivitas keseharian kita. Mal telah menjadi “pusat pusaran” kehidupan kita. Mal telah menjadi “denyut nadi” kehidupan kita.

No related posts.

0
FacebookTwitterWhatsappEmail
yuswohady

Yuswohady, Managing Partner Inventure. Author of 50+ books on business & marketing, incl. the best seller "Millennials KILL Everything" (2019) and "Consumer Megashift after Pandemic" (2020).

previous post
McD Merakyat!!!
next post
Puasa Belanja? No Way!!!

Baca Juga

Konsumen Indonesia Optimis

November 28, 2020

New Omni Marcomm

October 1, 2020

Dunia Hiburan Terkoyak Pandemi

September 4, 2020

Family Life in the Pandemic Era

September 4, 2020

THE NEW NORMAL 100

June 3, 2020

“Stay @ Home” Economy

March 25, 2020

Covid-19: The Birth of WFH

March 20, 2020

Perilaku Konsumen @ Covid-19

March 13, 2020

Piala Dunia Zaman Now

July 7, 2018

Setiap Orang Berbohong di Facebook

March 10, 2018

8 comments

abhi July 23, 2011 - 4:44 am

Ide mas untuk membuka perpustakaan dan toko buku ppm ke pacific place langsung ditindaklanjuti ke direksi

TOP!!!!!

Reply
evi July 23, 2011 - 6:31 am

Lama-lama orang juga akan cari tempat tinggal di mall mas. biar lebih effisien kunjungannya, gak pake kejebak macet

Reply
Nadiah Alwi July 24, 2011 - 3:24 am

Alhamdulillah saya terhindar dari yang sedemikian. Kami sekeluarga lebih suka nongkrong di toko buku besar (yang isinya ya 90% buku). Entah karena memang sama-sama tak suka belanja pakaian dan lain-lain atau memang irit. Tapi saya sangat bersyukur tidak menjadikan mal denyut nadi kehidupan kami sekeluarga ;).

Kalau ke mal gerai yang saya kunjungi cuma dua: gerai CD dan toko buku

Reply
roy July 24, 2011 - 11:29 am

ada 1 lagi… tmpt gym skrg menjamur di mall2

wah.. great insight

Reply
Sutrisno Yao July 25, 2011 - 12:45 am

Setuju mas 🙂 mal sudah menjadi alternatif pilihan utama saya untuk melarikan diri dari rutinitas.. mau keluar kota macet.. Mungkin kalau mal nyediain tempat tidur siang gratis.. mungkin saya pindah ke mal tinggalnya mas.. hehe

Reply
Misbul abdillah August 5, 2011 - 11:55 pm

Antusias, benar…
ini rutinitas harian..
ternyata, saya sudah korban juga, saya akan tobat ke mall aja, jika mall yg untung…

Reply
budiwiyono May 10, 2013 - 4:53 am

Mall adalah pusat kegiatan Bapak, Ibu dan Anak 🙂
Pusat kegiatan Remaja dan teman2nya
Pusat kegiatan businessman meeting dengan partnernya..
Campur aduk jadi satu, hehe…
Memang aneh tapi nyata.

Reply
Belanja, Belanja dan Belanja | Jurnal Perjalanan February 20, 2014 - 3:58 am

[…] dari senin hingga jumat, maka ke mall di malam hari atau di akhir pekan adalah suatu solusi wisata. kenapa “jalan-jalan” jadi berpindah ke mall,  ini sebenarnya suatu kewajaran. karena, apa sih yang tidak ada di mall? mulai dari tempat makan, […]

Reply

Leave a Comment Cancel Reply

Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment.

Artikel Terbaru

  • Corona: A Serial Killer

    February 26, 2021
  • Sharing Economy in the Pandemic

    February 19, 2021
  • Syariah Universal

    February 12, 2021
  • Stay @ Home Lifestyle

    February 7, 2021
  • Best Business Book 2020 on COVID-19: My Picks

    December 27, 2020
  • Best Business Books 2020: My Picks

    December 24, 2020
  • Industry Megashifts 2021 (3)

    December 14, 2020
  • Industry Megashifts 2021 (2)

    December 14, 2020
  • Industry Megashifts 2021 (1)

    December 14, 2020
  • 6 Forces of Change 2021

    December 13, 2020
  • Konsumen Indonesia Optimis

    November 28, 2020
  • Prospective Businesses for UKM

    October 14, 2020
  • UKM Outlook 2021

    October 11, 2020
  • New Omni Marcomm

    October 1, 2020
  • Dunia Hiburan Terkoyak Pandemi

    September 4, 2020
  • Family Life in the Pandemic Era

    September 4, 2020
  • 5 Digital Consumer Megashifts

    August 26, 2020
  • 15 Banking Consumer Megashift

    August 10, 2020
  • New Normal 100: Leisure & Travelling Trends

    July 26, 2020
  • New Normal 100: Digital Life & Privacy Trends

    July 24, 2020

Langganan Artikel via Email

Recent Posts

  • Corona: A Serial Killer
  • Sharing Economy in the Pandemic
  • Syariah Universal
  • Stay @ Home Lifestyle
  • Best Business Book 2020 on COVID-19: My Picks
  • Best Business Books 2020: My Picks
  • Industry Megashifts 2021 (3)
  • Industry Megashifts 2021 (2)
  • Industry Megashifts 2021 (1)
  • 6 Forces of Change 2021
  • Konsumen Indonesia Optimis
  • Prospective Businesses for UKM
  • UKM Outlook 2021
  • New Omni Marcomm
  • Dunia Hiburan Terkoyak Pandemi
  • Family Life in the Pandemic Era
  • 5 Digital Consumer Megashifts
  • 15 Banking Consumer Megashift
  • New Normal 100: Leisure & Travelling Trends
  • New Normal 100: Digital Life & Privacy Trends
  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
  • Youtube

@2020 - All Right Reserved. Designed and Developed by Wihgi.com


Back To Top