yuswohady.com
  • Home
  • Biography
  • Home
  • Biography
yuswohady.com

Candu Kartu Kredit

by yuswohady July 9, 2011
July 9, 2011 37 views

Bulan Juli ini adalah “bulan kebobolan”. Kenapa saya sebut begitu? Karena, setelah musim liburan anak sekolah bulan lalu, dimana seluruh anggota keluarga royal berbelanja selama liburan, kini saatnya para orang tua “cuci-cuci piring”. Banyak dari ibu-ibu yang kaget karena tanpa disadari duitnya habis kesedot belanja liburan. Banyak bapak-bapak yang takjub melihat tagihan kartu kreditnya membengkak bukan kepalang. Akibatnya bisa diduga, bulan Juli ini sekaligus adalah “bulan prihatin” atau “bulan tiarap berbelanja”.

Seperti saya tulis minggu lalu, masa liburan adalah masa-masa dimana kita begitu royal mengeluarkan uang dengan berbelanja. Di masa liburan, bawaannya kita ingin belanja, belanja, dan belanja (saya sebut “hantu 3B”). Momentumnya pas, karena di saat kita lagi seru-serunya ingin berbelanja; toko, mal, atau department store berlomba-lomba menawarkan diskon. Tak hanya itu, saat kita berlibur (ke Bali, ke Trans Studio Bandung, atau ke Universal Studio Singapore) “hantu 3B” bergentayangan menghipnotis akal sehat kita. Karena hantu modern ini, kita seperti kesurupan berbelanja.

Celakanya, nafsu belanja yang kepalang besar seringkali membutakan mata dan hati kita pada kemampuan dompet kita. Pokoknya hantam dulu dengan jurus 3B dan lupakan yang lain. Di masa liburan, yang penting kita bisa memanjakan nafsu 3B dan melupakan isi dompet. Kalau perlu keluarkan jurus sakti lain, yaitu “jurus kartu kredit” alias ngutang.

Dalam banyak kesempatan menjelaskan Consumer 3000 atau konsumen kelas menengah (middle class consumers) saya sering mengatakan bahwa kartu kredit kini sudah menjadi “mass luxury” bagi konsumen kelas menengah Indonesia. Saya sebut mass luxury, karena kartu kredit kini sudah tidak menjadi barang mewah lagi.

Kini begitu banyak ibu-ibu dari kelompok konsumen ini sudah memilikinya untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari: belanja di Carefour, ngredit lemari es atau mesin cuci, membeli baju bapak di Matahari, atau membayar les piano anak-anak. Begitu juga bapak-bapaknya, mulai kecanduan kartu kredit untuk membeli buku atau CD, nongkrong di kafe, atau ngredit iPad 2.

Agar nyambung dengan tulisan saya minggu lalu mengenai “hantu 3B”, dalam tulisan minggu ini saya ingin mengungkapkan sedikit fakta mengenai penyakit modern yang mulai merasuki konsumen kelas menengah Indonesia (yup… Consumer 3000), yaitu penyakit “kecanduan kartu kredit”. Berikut ini beberapa fakta dari pengamatan on the spot saya terhadap pengguna kartu kredit, termasuk pengamatan terhadap diri saya sendiri.

“Tutup Mata”
Orang yang kecanduan kartu kredit umumnya “tidak sensitif” terhadap sejumlah uang yang ia keluarkan saat berbelanja memakai kartu kredit. Karena pola pikir “buy now, pay later”, mereka cenderung “tutup mata” terhadap sejumlah uang yang mereka belanjakan. Ini berbeda kalau kita berbelanja dengan uang kertas yang sesungguhnya (cash). Ketika kita membayar belanjaan dengan uang kertas di tangan, maka kita akan “merasakan” bahwa sejumlah uang  kita melayang. Akibatnya, kita pun masih punya intensi untuk mengekang atau ngirit berbelanja. Hal terakhir ini yang tidak didapati pada orang yang sudah kecanduan kartu kredit.

Studi mengenai perilaku berbelanja para pengguna kartu kredit di Hong Kong menghasilkan temuan yang menarik. Rupanya, orang-orang yang berbelanja menggunakan kartu kredit cenderung sulit mengingat berapa jumlah uang yang telah mereka belanjakan. Studi itu menunjukkan, hanya 35% saja dari responden yang masih ingat berapa jumlah pasti dari uang yang telah mereka belanjakan.

Decoupling
Kartu kredit menjadikan aktivitas berbelanja seolah-olah “terlepas” dari aktivitas membayar.  Inilah yang di kalangan behavioral economist disebut sebagai fenomena “decoupling” atau keterlepasan. Ketika kita menggunakan uang kertas, maka aktivitas berbelanja dan aktivitas membayar itu “terkait” karena kedua aktivitas tersebut dilakukan bersamaan pada saat bertransaksi (begitu kita mendapat barang, kita langsung membayar).

Dalam kasus membayar dengan kartu kredit, dua aktivitas itu seolah terlepas, karena di mal kita berbelanja dan mendapatkan barangnya, tapi membayarnya dilakukan sebulan kemudian saat datang tagihan. Celakanya lagi kalau yang membayar tagihan itu bukan kita, tapi istri kita. Fungsi dasar kartu kredit inilah yang membentuk budaya belanja “buy now, pay later”; sebuah budaya yang membetuk kita menjadi “pembelanja berdarah dingin” karena tak punya empati terhadap kembang-kempisnya isi kantong kita.

Spent More… Perfect Impulse Buyer
Orang yang kecanduan kartu kredit cenderung berbelanja lebih banyak dan lebih royal. Mereka lebih gampang terkena pengaruh impulse buying karena adanya iklan atau gimmick promosi di mal. Ketika kecanduan kartu kredit ini sudah demikian akut, maka kebanyakan dari mereka mulai terjangkit mentalitas berbelanja “pokoknya harus beli sekarang juga!!!”. Maksudnya, ketika mereka sudah menemukan barang yang diidamkannya, mereka menjadi kalap dan tanpa kompromi untuk membelinya saat itu juga. Tentu dengan menggunakan “senjata ampuh”  kartu kredit, tanpa peduli sedikitpun terhadap beban tagihan di kemudian hari.

Budak “The Latest & The Greatest”
Dalam banyak kasus, konsumen yang sudah kecanduan kartu kredit biasanya juga menjadi (mohon maaf) “budak” dari produk-produk terbaru dan terhebat. Mereka biasanya berikrar: “Saya harus membeli barang ini karena barang ini lebih baru, lebih cool, lebih besar, lebih canggih, lebih stylist, lebih…” Belum lama (sekitar setahun) kita beli iPad, eh iPad 2 yang lebih cool, lebih canggih, lebih tipis, lebih banyak fitur, lebih lama baterainya, dan lebih-lebih yang lain, nongol di toko. Pada saat itulah kita berikrar sambil bersumpah-sumpah: “saya harus beli yang ini!!!”

Awas OKB Gadungan!!!
Kalau penyakit kecanduan kartu kredit di atas menjangkiti OK (orang kaya) atau OKB (orang kaya baru) tentu tak masalah karena mereka banyak duit. Menjadi celaka, ketika penyakit tersebut menjangkiti “OKB Gadungan”. Yang saya maksud “OKB Gadungan” adalah orang-orang yang perilaku berbelanjanya sudah berlagak OK/OKB; tapi sesungguhnya dari sisi isi kantong belum masuk standar OK/OKB. Takutnya, keuangan para “OKB gadungan” ini lebih besar pasak daripada tiang. Kalau sudah begitu, takutnya lagi banyak dari kartu kredit mereka akan default alias tak mampu bayar.  Di era Consumer 3000 saat ini, saya memprediksikan para “OKB Gadungan” ini akan banyak bermunculan di Indonesia, karena itu berhati-hatilah!

Melalui artikel ini saya bukannya melarang Anda semua menggunakan kartu kredit, karena kalau begitu saya akan digebukin semua bank di negeri ini. Saya hanya menyentil Anda semua para Consumer 3000 agar lebih bijak menggunakan kartu kredit.

Related posts:

  1. “OKB”
0
FacebookTwitterWhatsappEmail
yuswohady

Yuswohady, Managing Partner Inventure. Penulis buku Millennials KILL Everything (2019).

previous post
We First: How Consumers and Brands Can Partner to Build a Better World
next post
McD Merakyat!!!

Baca Juga

Milenial Jaman Now: Penggerak Leisure Economy

November 18, 2017

“Dua Dunia” Otak Kita

October 13, 2017

The Dark Side of the Gen Z

September 24, 2016

Bukber

June 18, 2016

Multi-Tribes Netizen

February 21, 2016

Strategy in Crisis

September 12, 2015

Consumers in Crisis

September 5, 2015

#C3000 dan Value Innovation

June 13, 2015

Value Innovator

May 31, 2015

Jomblo Lifestyle

October 25, 2014

4 comments

Kurniawan Santoso July 10, 2011 - 12:02 am

Credit Cards makes people Buy things they don’t need, using Money they don’t have 🙂

Reply
wibi arie rismanto July 10, 2011 - 5:04 am

Kartu Kredit seperti pedang bermata dua.

Bagus jika digunakan oleh orang memang perlu dan disiplin, tapi “membunuh” bagi orang yang ceroboh dan cenderung memudahkan..

Setujuuuuuu!

Reply
Ahmad September 12, 2011 - 11:50 pm

lebih baik tinggalkan kartu kredit, gunakan debt card and manage your money well 🙂

Reply
Dhian July 17, 2016 - 7:59 am

Thanks pencerahannya mas …. izin share ya

Reply

Leave a Comment Cancel Reply

Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment.

Artikel Terbaru

  • Kenapa Nadiem, Risa Santoso, atau Putri Tanjung Harus Pegang Kendali?

    November 25, 2019
  • Di Banyuwangi, Setiap Lokasi Adalah Destinasi

    November 16, 2019
  • Millennials KILL Menikah

    November 9, 2019
  • Anti-Mainstream Marketing: Downloadable Ebook

    November 2, 2019
  • Every Business Is Crowd Business

    November 1, 2019

Kategori Artikel

  • #GenM (16)
  • beat the giant (70)
  • Behavioral Economics (3)
  • Bisnis Indonesia (2)
  • Blogging (6)
  • Blue Ocean Marketing (7)
  • Books (15)
  • Branding Strategy (49)
  • Business Review (2)
  • Chapters (11)
  • Consumer 3000 (107)
  • Consumer Insight (47)
  • Corporate Strategy (24)
  • Creativity (15)
  • Creator School (8)
  • CROWD Book (2)
  • CSR (5)
  • Digital (31)
  • Disruption (26)
  • entrepreneur 3000 (17)
  • EwMC2 (61)
  • Family Business (3)
  • Franchise (3)
  • giving leader (17)
  • Global Chaser (14)
  • Government Marketing (10)
  • Indonesia Brand Forum (17)
  • Internet Marketing (12)
  • Introduction (3)
  • Jazz (5)
  • Jurnal Nasional (9)
  • Komunitas Memberi (44)
  • Leadership in Marketing (31)
  • Leisure Economy (6)
  • Life Science for a Better Life (2)
  • Luar Biasa (5)
  • Marketing @ the Bottom of the Pyramid (1)
  • Marketing Plan (16)
  • Marketing to the Middle Class Moslem (18)
  • Media Indonesia (1)
  • Middle Class Moslem (12)
  • Millennial (17)
  • Millennials Kill Everything (17)
  • Mix (2)
  • Mobile Marketing (2)
  • My Books (17)
  • My Presentation (7)
  • My Seminar (1)
  • My Training (1)
  • New Advertising (3)
  • Political Marketing (19)
  • Product and Innovation (7)
  • Reader's Comments (3)
  • Sales (4)
  • Seasonal Marketing (6)
  • Service (3)
  • Sinar Harapan (1)
  • Sindo (112)
  • SmartBranding SmartFM (1)
  • social media (62)
  • Spiritual Marketing (4)
  • Sport Marketing (11)
  • SWA (4)
  • Tourism Marketing (26)
  • Twitter Marketing Is Love Marketing (13)
  • Uncategorized (7)
  • Warta Ekonomi (21)
  • What is E=wMC2 (1)
  • What is Womanology (9)
  • WOM Marketing (11)
  • Yuswohady Book Club (20)

Langganan Artikel via Email

Follow My Instagram

  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
  • Youtube

@2019 - All Right Reserved. Designed and Developed by Wihgi.com


Back To Top