Kemarin saya ke Bandung untuk memenuhi undangan sebuah seminar. Malang nasibku, perjalanan ke Bandung melalui perjuangan yang teramat berat karena di sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Bandung maupun di dalam kota bandung macet tak kenal kata ampun. Usut punya usut, ternyata masyarakat Bandung (dan Jakarta) sedang “demam” Trans Studio Bandung yang kemarin dibuka untuk umum.
Melihat kemacetan Bandung yang luar biasa saya bisa membayangkan bagaimana antusiasme masyarakat yang ingin berkunjung ke indoor theme park yang konon merupakan yang terbesar di Asia Tenggara. Dan betul, ketika saya cek Twitter dan situs berita online, masyarakat seperti “kesurupan” untuk bisa menikmati tempat hiburan paling gress di kota Bandung tersebut. Menariknya, tiket masuk untuk bisa menikmati 20 wahana yang ada di Trans Studio itu tidaklah murah.
Selama menulis artikel ini dalam perjalanan balik dari Bandung ke Jakarta, langsung terpikir di benak saya “consumer 3000”. Ya, mereka adalah konsumen baru Indonesia yang saya sebut sebagai “konsumen kelas menengah” atau singkatnya consumer 3000. Kenapa saya sebut begitu? Seperti pernah saya tulis di Sindo beberapa minggu yang lalu, mereka adalah konsumen kelas menengah (middle class consumer) Indonesia yang marak dan berkembang cepat seiring dengan bergabungnya negeri ini ke dalam jajaran negara maju baru (new emerging countries).
Melihat pengalaman empiris di berbagai negara, hal ini ditandai dengan terlewatinya ambang batas (treshold) pendapatan perkapita sebesar $3000. Seperti diketahui, angka resmi BPS menunjukkan bulan Desember 2010 lalu gross domestic product (GDP) kita mencapai $3004,9, artinya Indonesia sudah melewati ambang batas tersebut.
Mass Luxury
Laporan majalah Economist edisi 12 Februari 2009 mengenai tumbuhnya kelas menengah di negara-negara maju baru mendefinisikan kelas menengah sebagai masyarakat yang memiliki pendapatan “menganggur” (disposable income) 1/3 dari keseluruhan pendapatan. Disposable income inilah yang mereka pakai untuk membeli produk “advance” di luar kebutuhan dasarnya seperti gadget, mobil, atau liburan ke luar negeri. Tanpa disadari, di Indonesia kini mulai banyak konsumen kelas menengah (sebut saja mereka “orang kaya baru”) yang memiliki disposable income cukup memadai. Laporan Asian Development Bank bahkan memperkirakan jumlah mereka sudah mencapai 100 juta orang.
Tak heran jika kini kita menyaksikan, kebanyakan konsumen kita sudah mampu membeli produk-produk seperti lemari es, TV flat, telepon seluler, mobil seperti Avanza, Xenia atau Jazz (itu sebabnya macetnya Jakarta nggak ketulungan), paket-paket liburan (bahkan kini kita sudah biasa berlibur ke Universal Studio Singapura atau Disneyland di Hong Kong, tak hanya sekedar ke Bali), kartu kredit dan asuransi, tiket pesawat (itu sebabnya Bandara Soekarno-Hatta lebih krodit dari stasiun Gambir).
Naiknya daya beli consumer 3000 akan menjadikan produk-produk yang dulunya hanya mampu dibeli kalangan atas kini sudah mampu dibeli oleh orang kebanyakan. Fenomena ini terjadi di Amerika Serikat di tahun 1940-an; di Korea Selatan di tahun 1980-an; atau di negara Amerika Latin seperti Brasil di tahun 1990-an. Fenomena inilah yang disebut “demokratisasi konsumsi” (“democratization consumption”), dimana barang-barang yang sebelumnya tergolong barang mewah mulai terbeli oleh kebanyakan masyarakat. Saya menyebutnya sebagai barang-barang “mass luxury”. Trans Studio Bandung adalah salah satu contoh pas “mass luxury product” ini.
Virtuous Circle
Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana tiket pesawat atau mobil yang dulunya “mahal” dan tidak terjangkau kantong kita, kini tiba-tiba bisa terbeli? It’s the power of consumer 3000! Ketika permintaan dari konsumen kelas menengah terhadap produk-produk tersebut sudah cukup besar, maka hukum skala ekonomi akan bekerja. Karena terpenuhinya skala ekonomi, maka pelan tapi pasti produk-produk itupun akan terdorong menjadi semakin murah.
Daya beli yang kian meningkat yang diikuti oleh harga produk-produk yang semakin murah merupakan kekuatan simultan yang menyebabkan produk-produk “mass luxury” kian terjangkau oleh konsumen kebanyakan. Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi dialami hampir semua negara maju baru di jamannya: Amerika di tahun 1940-an; Korea Selatan di tahun 1980-an; atau Cina sejak sekitar sepuluh tahun yang lalu dan kini masih terus massif berlangsung.
Ambil contoh tarif pulsa ponsel. Coba kita telusur sejarah sedikit, kenapa harga pulsa ponsel kini terjangkau? Awalnya, karena sudah banyak kelompok masyarakat kita yang mampu membelinya. Dengan cukupnya demand, maka pelan-pelan skala ekonomi bisnis pulsa seluler akan terwujud. Dengan adanya skala ekonomi, maka operator seluler akan efisien dan mereka mulai bersaing menurunkan harga: yup lebih tepatnya “price war”.
Harga pulsa yang turun akan semakin memperbesar kemampuan konsumen untuk membeli, sehingga akan semakin mendongkrak demand dan skala ekonomi di level yang lebih tinggi lagi. Demikianlah, proses ini berulang terus seperti gulungan bola salju (virtuous circle) sehingga akan semakin menekan harga pulsa ponsel di satu sisi dan semakin meningkatkan kemampuan konsumen untuk membelinya.
Menariknya, dengan semakin bertambahnya consumer 3000, maka fenomena yang terjadi di bisnis pulsa ponsel ini akan terjadi di seluruh industri di Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. Fenomena virtuous circle ini akan berlangsung di industi TV flat, mobil, hotel, airlines, properti (apartemen), paket wisata, gadget seperti smartphone atau tablet, dan sebagainya.
Jaman saya kuliah sekitar 15 tahun yang lalu, ketika kita menyebut mobil mewah, maka persepsi yang ada di kepala kita adalah BMW atau Mercy. Namun kini, BMW dan Mercy sudah dimiliki oleh banyak kalangan masyarakat kita tak hanya terbatas kalangan atas, bahkan jadi taksi. Kini kita menyaksikannya begitu banyak berseliweran di jalan. Mobil mewah tersebut kini pun menjadi “tidak mewah lagi” karena kian terjangkau oleh masyarakat. Dan akhirnya, mobil yang masuk kategori mewah kini pun ter-upgrade menjadi mobil-mobil jenis Ferrari atau Aston Martin.
Munculnya barang-barang mass luxury di Indonesia adalah indikasi terjadinya gelombang perubahan konsumen Indonesia. Perubahan itu tak hanya sebatas meningkatnya daya beli mereka, tapi lebih jauh lagi adalah perubahan dalam cara pandang (paradigm), nilai-nilai (values), dan perilaku (behavior) sebagai implikasi tumbuhnya Indonesia menjadi negara maju baru.
Saya sering mengatakan, 80% tugas seorang marketer adalah mengamati, mengenali, dan menemukan perubahan perilaku konsumen. Sementara sisanya, 20%, adalah merancang strategi yang cespleng untuk merespons perubahan tersebut. Karena itu di ujung tulisan ini saya ingin mangatakan satu hal: Kini saatnya Anda membuktikan diri sebagai the real marketer dengan secara jeli menemukan peluang-peluang jitu di balik perubahan dahsyat perilaku konsumen Indonesia. Anda yang menang adalah Anda yang mampu menemukan peluang itu, dan mampu meresponnya dengan strategi jitu.
4 comments
[…] sering menggunakan istilah “mass luxury” untuk menyebut produk/layanan yang dulunya hanya dimonopoli oleh segelintir kalangan atas, tapi […]
[…] moving down ini dilakukan terutama untuk merespons terjadinya tren “mass luxury”, yaitu munculnya kategori-kategori produk yang dulunya mewah namun seiring meningkatnya daya […]
[…] Weekend di Orchard Road Julukan Consumer 3000 sebagai “pemboros devisa” tak hanya menyangkut urusan tonton-menonton konser asing. Urusan liburan ke luar negeri juga menjadi problem pemborosan devisa yang kian akut. Seperti kita tahu, kini liburan ke Universal Studio Singapura, ke pantai Pataya Bangkok, atau Disney Hong Kong menjadi hobi baru Consumer 3000 yang kian ngetren. Weekend di Orchard Road atau nonton konser akhir pekan di Indoor Stadium Singapura kini menjadi hal yang biasa, bahkan rutin. Now, it becomes a mass luxury. […]
[…] moving down ini dilakukan terutama untuk merespons terjadinya tren “mass luxury”, yaitu munculnya kategori-kategori produk yang dulunya mewah namun seiring meningkatnya daya […]