Tiga hari 4, 5, 6 Maret ini adalah hari yang paling saya tunggu-tunggu di tahun 2011 ini, karena gelaran Java Jazz datang lagi. Tahun ini sangat istemewa karena maestro gitar dunia Carlos Santana akhirnya berhasil didatangkan di Java Jazz. Hari jumat lalu, jam 3 sore saya sudah di lokasi (padahal pertunjukkan pertama dimulai jam 5) untuk “berburu panggung” maestro jazz kelas dunia. Di hari pertama Java jazz saya dapat Ron King Big Band, Roy Hargrove Quintet, Fourplay, Corinne Bailey Rae, dan tentu saja Santana… puassss. Tulisan inipun saya bikin di sela-sela saya “berburu panggung” di area Java Jazz Kemayoran.
Setelah tujuh kali digelar, kini Java Jazz telah menunjukkan taringnya. Brand-nya kian kokoh dan Java Jazz kini sudah punya customer base yang kokoh tak hanya dari dalam negeri tapi juga mancanegara. Saya kaget mendengar paparan bos besar Java Jazz Festival 2011, Peter Gontha, tiga hari lalu. Dengan optimis sang impresario jazz handal ini mematok target 120 ribu penonton untuk gelaran Java Jazz tahun ini. “Sampai hari ini (Rabu, 2/3), tiket yang terjual sudah hampir 100 ribu lembar,” ujarnya.
Kalau target ini tercapai, maka bisa jadi tak lama lagi Java jazz akan menjadi salah satu event jazz terbesar di dunia. Harap tahu saja, tiga hari penyelenggaraan North Sea Jazz Festival (Belanda) “hanya” dikunjungi oleh 70-an ribu penonton. Monterey Jazz Festival (AS) yang sudah berusia 53 tahun “cuma” dikunjungi 40 ribu penonton untuk 3 hari event. Memang Java Jazz masih kalah dari Montreux Jazz Festival (Swiss) yang mampu menggaet 200 ribu penonton untuk 3 hari event. Montreal International Jazz Festival yang merupakan event jazz terbesar di dunia saat ini mampu mengumpulkan 2,5 juta penonton tapi untuk 10 hari event.
Saya tak akan mengulas permainan maut Carlos Santana atau tiupan bening Roy Hargrove, walaupun saya adalah penikmat serius jazz selama lebih 25 tahun terakhir. Saya akan coba melihat pelajaran marketing apa yang kita dapatkan dari sukses gelaran kebanggaan Indonesia ini.
Riding the Wave: Consumer 3000
Setelah “berjuang” selama 7 tahun, ekuitas merek Java Jazz terus terkerek naik dan kini berada di puncak-puncaknya. Awareness-nya sangat tinggi tak hanya bagi pecinta jazz tapi juga pecinta musik pop yang “snob” menggemari jazz. Ekuitas merek yang kokoh ini “hadir” di saat yang tepat saat konsumen Indonesia makin makin siap “mengkonsumsi” jazz. Seiring dengan terlampauinya GDP/kapita $3000 sejak tahun 2010 lalu, jumlah kelas menengah kita (saya menyebutnya Consumer 3000) sudah cukup besar mencapai lebih dari 100 juta orang. Mereka tak hanya memiliki daya beli tinggi tapi juga memiliki knowledge memadai untuk “mengunyah” jazz. Dengan momentum yang pas seperti ini saya optimis Java Jazz akan menyaingi Montreux dan Montreal Jazz Festival sebagai event jazz terbesar di dunia.
It’s Horizontal Brand
Kokohnya brand Java Jazz bukanlah terbentuk karena kekuatan pemasaran vertikal (menggunakan mass marketing dan broadcasting media), tetapi melalui pemasaran dari mulut ke mulut (word of mouth) atau saya lebih senang menyebutnya sebagai pemasaran horisontal. Selama tujuh kali penyelenggaraan, tanpa terasa Java Jazz sudah memiliki jejaring customer evangelist (advocator) sangat besar yang secara sukarela “menjual” Java Jazz ke konsumen yang lain. Java Jazz’s most powerful salesmen are it’s customers. Dan perlu diingat, kehadiran media sosial seperti Facebook, Twitter, atau YouTube menjadikan para evangelist ini semakin powerful dalam memasarkan Java Jazz ke konsumen yang lain.
Creative Segmentation
Saya melihat sukses Java Jazz ditentukan oleh kejeliannya menangkap aspirasi core customers-nya. Siapa core customer Java Jazz. Walaupun belum pernah melakukan survei pelanggan, saya meyakini sebagian besar penonton Java Jazz adalah orang-orang yang awam jazz, tapi ingin dipandang sebagai penggemar jazz. Kenapa begitu? Karena jazz memiliki asosiasi yang bagus di negeri ini: citra Amerika, identik dengan kalangan atas (baik ekonomi maupun tingkat pendidikan), keren, cool, kreatif, intelek, dan sebagainya. Segmen pasar yang “peduli-citra” dan berduit inilah pasar empuk yang secara fokus dibidik Java Jazz. Bagi orang-orang ini, menonton festival jazz adalah sesuatu yang keren, cool, dan mampu mendongkrak citra mereka di masyarakat, tak penting apakah mereka tahu atau tidak.
“Loose to Win”
Java Jazz mampu meramu jazz agar sesuai dengan cita rasa core customer-nya. Caranya bagaimana? Menyajikan jazz secara ringan dan ngepop. Java Jazz misalnya, menampilkan musisi seperti Bobby Caldwel, Baby Face, James Ingram atau John Legend. Bagi penggemar jazz tulen, barangkali itu dianggap sebagai kemunduran, tapi dari sisi perolehan sponsor dan penonton justru sukses luar biasa. Dengan strategi “mengalah untuk menang” ini, Java Jazz mampu menggaet kalangan penggemar musik yang lebih luas, dan kalau penonton sudah tergaet, berikutnya sponsor pun ikut-ikutan gampang digaet. Apakah hal ini bagus untuk ekuitas merek Java Jazz? Bagus-bagus saja sejauh musisi-musisi “hardcore” jazz (swing, mainstream, cool, bebop) harus tetap dimunculkan secara proporsional. Karena itu saya masih berharap-harap living legend seperti Herbie Hancock, Chick Corea, Keith Jarret, Pat Metheny, Ornette Coleman bisa hadir di java Jazz. Kalau nggak bahaya, karena dalam jangka panjang ekuitas merek Java Jazz bisa keropos dan dianggap sebagai “festival jazz jazz-an” alias “festival jazz bohongan”
Mengakhiri tulisan ini saya ingin mengutip inspiring words dari George Wein perintis Newport Jazz Festival yang menggambarkan passion-nya dalam mengelola festival jazz. “I was in it because I really loved it. It was my life. I never went into it as ‘a business’… I mean, the music was in my head, in my heart, in my soul. And it still is,” kata sang impresario yang kini berusia 84 tahun dan tetap memiliki semangat menyala-nyala dalam mengelola festival jazz.
Mudah-mudahan pak Peter Gontha dan timnya memiliki energi yang tak pernah habis seperti halnya George Wein, sehingga impian Java Jazz menjadi event jazz terbesar di muka bumi bakal terwujud. Semoga.
1 comment
Ulasan yang keren, kena dan pas banget Pak Yuswo, apalagi di bagian kalangan yang “peduli-citra” kena banget 🙂
Walau tidak begitu mirip, saat ini musik metal juga semakin mudah dilahap di kalangan apapun. Seiring basis penonton metal yang memang sudah banyak dan bagus, dimana saat ini sangat mudah menemukan sesuatu yang berbau metal, baik di TV, media lain apalagi internet. Dan basis konsumen “peduli-citra” terutama para ABG sekitar SMP-SMA sampai anak kampus menjadi pasar yang gemuk dari hingar bingar event acara metal baik konser lokal maupun band-band manca negara yang diundang tampil di sini, penjualan merchandise (tshirt, jacket, aksesoris, dll) dan CD/DVD. Untuk yang terakhir memang tidak begitu drastis kenaikan penjualannya.
Citra yang didapat dari musik metal sendiri seperti rebel, cool, keren dan lainnya menjadi daya tarik alternatif para remaja yang memang haus akan pencitraaan diri, meminjam bahasa lama kamus psikologi adalah mencari jati diri. Dan trend ini semakin umum dan mudah ditemui, terutama di kota-kota besar dengan akses internet mudah
Ide mendownload gratis materi dari internet masih jadi pilihan utama sehingga akhirnya penjualan CD/DVD masih kalah jauh dari merchandise band nya tersebut.
Akhirnya basis masa “peduli-citra” tersebut tidak perlu harus tahu sejarah musik metal itu sendiri atau perjuangan para pionir metal di tanah air dengan semangat “underground” nya. Yang akhirnya ditangkap sebagai sebuah basis marketing bagus para EO, band, merchandiser yang jeli menangkap peluang ini. Passion dan business as well 🙂
Segmen peduli citra ini yang justru besar; segmen yang core malah sedikit. Ini yang ditangkap dengan bagus oleh para EO