Wanita bukanlah mahluk yang selfish. Dibanding kamu pria, wanita lebih berempati terhadap sesamanya. Dalam bukunya The Essential Difference, Simon Baron-Cohen dari university of Cambridge menemukan perbedaan mendasar otak pria dan wanita. Ia menulis, “The female brain is predominantly hard-wired for empathy. The male brain is predominantly hard-wired for understanding and building systems.”
Berempati adalah kemampuan untuk menangkap emosi dan perasaan orang lain dan kemudian meresponsnya dengan emosi dan perasaan yang sama. Ketika seseorang merasakan kesedihan karena ditinggal orang yang dikasihinya, maka serta-merta muncul rasa empati kita dengan menunjukkan kesedihan yang sama. Empati terjadi sebagai bentuk pengertian dan untuk menciptakan hubungan emosional dengan orang lain. “Empathy occur in order to understand another person, to predict their behavior, and to connect or resonate with them emotionally.”
Empati kini menjadi sesuatu yang kian penting dalam membangun sebuah merek (brand-building). Kenapa begitu? Karena di tengah kehidupan yang makin kompleks dan tidak manusiawi sekarang ini, menciptakan brand personality yang berbasis pada nilai-nilai empati akan mampu menghasilkan emotional connection yang solid antara brand dengan konsumennya. Apalagi jika brand tersebut menarget woman market. Kaum wanita paling gampang disentuh emosinya dengan pesan-pesan yang membawa muatan empati. “Touch woman’s deepest heart with your love and passion.”
Karena alasan inilah kenapa Oprah Winfrey misalnya, menjadi “brand” yang demikian kuat ekuitas mereknya. Oprah digandrungi oleh semua kalangan tua-muda, kaya-miskin, negara maju-berkembang, karena sukses membangun brand personality sebagai sosok yang memiliki empati luar biasa (“super-empathizer”) terhadap sesama. Persepsi ini dibangun melalui acara talkshow-nya yang sangat menyentuh maupun berbagai bentuk aktivitas amal yang dijalaninya.
Mother Teresa juga adalah “legendary brand” sekaligus “eternal brand” yang begitu dikagumi seluruh penduduk Bumi karena kekuatan empati. Mother Teresa berjuang memberantas kemiskinan dengan kekuatan cinta. Tak hanya sampai di situ, sepak-terjang sosok yang sering disebut sebagai “the ultimate empathizer” ini juga telah menginspirasi jutaan orang untuk melakukan hal yang sama dengan yang telah ia lakukan. “In this life we cannot do great things. We can only do small things with great love,” adalah pernyataannya yang mampu menggerakan seluruh umat manusia untuk bersatu-padu melawan kemiskinan dan kebodohan.
Martha Tilaar Group (MTG) tahu betul “the power of empathy”, karena itu sejak awal ia membangun brand personality sebagai empathetic brand. Caranya dengan menginisiasi segudang program corporate social responsibility (CSR) yang dijalankan tidak hanya sebatas taktikal, tetapi sudah menggunakan pendekatan strategis, bahkan sudah menjiwai setiap denyut operasi perusahaan.
Program-program CSR seperti “Wanita Terampil Mandiri”, program community trade di daerah Sentolo, Yogyakarta; atau upaya mencegah “women trafficking” melalui Balisari Training Center adalah sebagian inisiatif yang dilakukan MTG untuk membangung brand personality sebagai empathetic brand.
Program-program semacam ini memang tidak menghasilkan penjualan secara langsung, namun mampu menciptakan emotional relationship dan loyalty jangka panjang. “Once you touch her hearth with love and empathy; you will lock her loyalty.”