Wanita membeli produk bukan melulu karena alasan fungsional seperti kualitas nomer satu, awet dan tahan lama, atau murah meriah. Wanita membeli brand juga untuk membentuk emotional connection dengan brand tersebut. Kaum hawa membeli sebuah brand karena mereka menyukai dan bisa mengkoneksikan dirinya dengan brand tersebut. Ini berbeda dengan konsumen pria yang umumnya membeli brand karena superioritasnya. Dalam beberapa kategori produk tertentu brand bahkan dijadikan wanita sebagai alat untuk ekspresi diri (self-expression).
Kenyataan ini relevan dengan amatan John Gray, penulis buku laris Men Arew from Mars, Women Are from Venus, yang mengatakan. “Men value power, competence, and achievement. They need to achieve results by themselves. Women value feelings and the quality of relationships,” Ya, reason to buy konsumen wanita banyak dilandasi oleh pertimbangan-pertimbangan emosional; sementara konsumen pria lebih dipengaruhi alasan rasional. Tak heran, karena menurut survei Harvard University (2001), limbic cortex yaitu bagian otak yang bertanggung-jawab mengatur emosi seseorang, memiliki ukuran yang lebih besar untuk wanita dibandingkan pria.
Wanita menyukai atau memiliki emotional connection dengan sebuah brand jika ia menemukan adanya “kesamaan” antara dirinya dengan brand tersebut baik kesamaan keyakinan, kesamaan tampilan, kesamaan perilaku, kesamaan karakter dan kepribadian, kesamaan identitas, dan sebagainya. Ketika wanita menemukan sense of similiarities antara dirinya dengan brand, maka brand tersebut akan punya tempat khusus di lubuk hati wanita yang paling dalam. Sariayu misalnya, memiliki tempat khusus di kalangan konsumennya karena mereka menemukan sense of similarities pada sosok Larasati yang memberi mereka aspirasi mengenai sosok cantik yang ideal.
Inilah pelajaran penting yang dipetik Martha Tilaar Group (MTG) dari eksplorasi yang dilakukannya terhadap dunia wanita. Bagi MTG sebuah brand adalah layaknya “sosok manusia” yang bisa riang gembira, bisa sedih dan galau, bisa glamor, bisa modern, atau bisa berempati dengan sesama. Karena kenyataan inilah MTG kemudian sadar bahwa brand personality, brand character, brand identity, brand image atau apapun namanya menjadi begitu penting ketika ia memasarkan produk-produknya ke pasar wanita. Dengan memiliki personality dan character yang kuat dan unik maka MTG memberi ruang kepada setiap konsumen wanita untuk menciptakan emotional connection kokoh.
Pesan pentingnya adalah: “Focus on treating your woman consumer as if you’re in a relationship with her, not marketing to her“.
Di samping ingin membangun emotional connection antara dirinya dengan brand; konsumen wanita juga ingin membentuk emotional connection dengan sesama konsumen wanita yang lain. Marti Barletta, penulis buku Primetime Women: How to Win the Hearts, Minds and Business of Boomer Big Spenders (2007), menulis perbedaan esensial konsumen pria dibanding wanita sebagai berikut: “Men pay less attention to people than to the goods or services desired. Women, by contrast, are ‘people powered’ preferring to connect with others.”
Karena perilaku unik wanita seperti ini MTG sadar pentingnya komunitas konsumen. Melalui komunitas yang dibangun MTG mencoba memfasilitasi konsumen wanita untuk melakukan interaksi antar sesama mereka. Dengan demikian maka brand menjadi medium bagi komunitas konsumen untuk melakukan conversation dan engagement antar sesama mereka. Brand menjadi medium untuk mewujudkan common aspiration mereka.
1 comment
Sering kali wanita banyak maunya bahkan pengennya mendominasi ternayata memang faktor emotional ‘turunan’ yah atau jangan jangan memang wanita saat ini terbawa arus?..karena itu mereka ngak peduli pekara fungsionalitas but in another moment they pick functionality instead of barang barang ‘proudibillity’
Konsumen wanita memang paling complicated mas, makanya untuk menyasarnya agak sulit, banyak bermain “emosi” di satu sisi; tapi juga sangat “value-oriented” alias nggak mau rugi di sisi lain