Positioning sebagai sebuah “tools” pemasaran secara ampuh diterapkan oleh para tokoh-tokoh figur publik kita untuk membangun dan mengembangkan personal brand-nya. Mereka cerdas sekali menciptakan kategori, kemudian menghegemoni kategori tersebut untuk kemudian dijadikan elemen utama positioning mereka. Dengan cerdas mereka menjadi “the first in the customer’s mind” dan dari situlah reputasi merek dibangun.
Dengan cerdas Hermawan Kartajaya menjadi the first in the customer’s mind untuk “marketing”; Andri Wongso untuk “motivator no.1 di Indonesia”; Safir Senduk untuk “financial planning”; Aa Gym untuk “manajemen qolbu”; Ary Ginanjar dengan “ESQ”, dan seterusnya. Dan saya kira, Yoris Sebastian dengan cantik melakukan hal yang sama untuk “creativity”
Jalan Yoris membangun positioning ini bukannya dari kemarin sore. Saya masih ingat waktu menggelar ajang Young Marketers Award tahun 2003 (MarkPlus, Indonesia Marketing Association, dan majalah SWA) di mana Yoris waktu itu menjadi the 2nd winner, sesungguhnya ia sudah menancapkan tonggak-tonggak positioning-nya ke publik. Sebelumnya, selama di Hard Rock Cafe, Yoris juga sudah menanam benih-benih itu dengan event-event kreatif waktu itu seperti “I Like Monday” atau “Destination Nowhere”.
Lalu apa makna peluncuran buku Yoris, Oh My Goodness: Buku Pintar Seorang Creative Junkies, dalam skenario kelahiran brand bernama “Yoris Sebastian”? Saya berani mengatakan, buku dan tulisan adalah alat terampuh untuk mendongkrak ekuitas merek. Buku punya “hype effect” yang memungkinkan sebuah merek yang awalnya tidak dikenal tiba-tiba meroket. Kiat inilah yang digunakan tokoh-tokoh yang saya sebut di atas.
Mengani buku ini sendiri, secara konten, sebagai sebuah introduksi memasuki “dunia creativity” tentu nilai tersendiri. Inilah langkah taktis Yoris masuk di “blue ocean area” di mana belum banyak orang menekuninya. Apalagi Yoris meramu konsep-konsep yang diusungnya dengan pengalaman-pengelamannya sebagai creative enthusiat selama ia di MRA Group atau setelah menjadi konsultan. Hal inilah yang memungkinkan nasehat-nasehat Yoris dalam buku ini punya muatan.
Kontribusi Yoris dalam buku ini saya kira upayanya “mengumpulkan” wisdom-wisdom mengenai kreativitas, yang sesungguhnya kita telah banyak melakukan dan mengalaminya, tapi tidak mensistematisasikan dalam bentuk sebuah konsep dan pemikiran yang runtut. Prinsip “Avoid Metooism” misalnya, merupakan sebuah prinsip yang sudah biasa dilakukan di kalangan entrepreneur kita. Tapi karena tidak dirumuskan secara secara sistematis, ia hanya menjadi wisdom yang ada di kepala mereka. Di sinilah peran Yoris menggali dan mengumpulkan serpih-serpih wisdom mengenai creativity yang selama ini “berceceran”.
Contoh lain, “Creativity is habit not genetic” adalah nasehat Yoris, yang saya merasakan sangat simple, tapi powerful. Kenapa? Karena pemikiran bawah sadar kita selalu mengatakan bahwa kreativitas itu bawaan dari lahir. Selama ini pemikiran bawah sadar kita mengatakan bahwa kreativitas adalah “kemewahan” yang hanya dimiliki oleh sosok semacam Yoris Sebastian, Jhonny Andrean, Steve Jobs, Seth Godin, Mark Zukenberg, atau Sergey Brin. Kita diingatkan bahwa (meminjam pak Andri Wongso) “creativity is my right”. Melalui buku ini Yoris mengingatkan bahwa kita “punya hak” menjadi orang kreatif. Dan karena itu kita harus merengkuhnya.
Saya berharap buku ini merupakan awal dari “perjalanan eksplorasi” Yoris untuk menggali pemikiran dan konsep “dunia kreativitas” untuk kemanfaatan negeri ini, untuk kemanfaatan kita semua. Sama dengan bagaimana Hermawan Kartajaya menggali konsep dan pemikiran “dunia marketing” atau Ary Ginanjar menggali konsep dan pemikiran “dunia ESQ” untuk kemanfaatan bangsa ini. “Inspire us with your thinkings”
Resensi ini kurang afdol kalau isinya baik melulu. Makanya ini jeleknya. Secara konteks (tampilan dan gaya penulisan), saya sedikit kecewa dengan buku ini. Pada saat buku ini mau diluncurkan saya membaca di Twitter, buzz terhadap buku ini hebat bukan main. Makanya kemudian yang saya bayangkan adalah Tom Peters. Saya membayangkan tampilan dan gaya penulisan “gila” ala Re-emagine nya Tom Peters. Tapi it’s ok karena ini buku pertama, buku kedua harusnya bisa melebihi kegilaan Tom Peters dari sisi gaya penulisan.
Terakhir, “it is easy to build a brand, will be harder to maintain it” Saya berharap brand bernama “Yoris Sebastian” tidak seperti band-band populer kita. Hari ini meroket, besok habis tak berbekas. Harus seperti Slank atau Iwan Fals, awalnya merangkak dari bawah, tapi kemudian menjadi sustainable brand yang berusia 20 tahun; 50 tahun; bahkan 100 tahun. Sekali lagi jangan seperti sajak Chairil Anwar: “Sekali berarti, setelah itu mati”. Yoris, your brand must be sustainable!
6 comments
Ikut mengutip chairil. semoga Yoris dan brand nya ngak menjadi “BINATANG JALANG” dari sebuah BRAND yang terbuang…
btw konsep copywriting memang perlu bgt yah…
konsep copywriting apa ya?
Maksudnya yang ini lo bang
“Saya membayangkan tampilan dan gaya penulisan “gila” ala Re-emagine nya Tom Peters. Tapi it’s ok karena ini buku pertama, buku kedua harusnya bisa melebihi kegilaan Tom Peters dari sisi gaya penulisan.”
wah parah keren abiss mas yoris..mas yuswo juga kok..tapi mas yuswo sendiri mau ambil positioning dimana?
kalo mas yuswo keliatannya sudah menjawab di tulisannya yang lain kalo beliau mem-position-kan dirinya di Marketing tips dan Sosial Media… eh,.. bener gak mas?
Kalau marketing tips iya mas, kalau social media, masih belajar… melalui Twitter, blog, or Facebook kita bareng-bareng belajar, saling menginformasi dan bertukar pikiran
[…] http://www.yuswohady.com/2010/04/27/yoris-creative-junkies-brand-building/ […]