Setelah beberapa tahun terakhir adem-ayem, belantara e-commerce di Indonesia bakal menggeliat, menyusul di-relaunch nya Plasa.com oleh Telkom Kamis minggu lalu. Optimisme ini muncul mengingat Telkom memiliki ”energi baru” buah dari transformasi bisnis yang dilakukannya menuju TIME (telecommunication, Information, Media, Edutainment). Artinya, kini Telkom harus 125% komit mengembangkan Plasa.com karena adanya business vision yang jelas, tak lagi angot-angotan seperti sebelumnya.
Tak hanya itu, saya melihat proyek Plasa.com merupakan test case pertama dari keseluruhan transformasi Telkom menuju TIME. Saat ini banyak proyek rintisan sudah dijalankan di tubuh Telkom untuk mewujudkan TIME, namun Plasa.com inilah quick win yang tidak boleh tidak harus menuai kesuksesan. Begitu ini gagal, maka inisiatif-inisiatif bisnis lain akan berada di ujung tanduk, inilah peliknya transformasi bisnis. Artinya, manajemen Telkom at all cost akan menyukseskan Plasa.com,
Dengan koki baru, Mbak Shinta Bubu di bawah bendera Mojopia, perombakan yang dilakukan cukup substansial. Yang paling jelas adalah “refocusing” Plasa.com untuk lebih berkonsentrasi ke e-commerce (online shopping), walaupun layanan agregasi konten masih disediakan. Refocusing juga diarahkan pada target tenant yang dibidiknya yaitu UKM. Captive market-nya, Telkom menyebut punya 30.000 mitra binaan UKM yang siap digadang ke Plasa.com.
Kembali ke judul tulisan ini: “Sukseskah Plasa.com?” Saya tak akan menjawab pertanyaan tersebut, saya hanya memberi catatan dua hal yang barangkali akan menjadi “chasm” alias “parit menganga” yang tak memungkinkan layanan ini mencapai critical mass-nya menuju pasar massal (mainstream market).
Isu #1. Terkait dengan keyakinan konsumen akan keamanan transaksi online. Tantangan yang bakal dihadapai Plasa.com persis seperti yang dihadapi BCA saat memasalkan layanan ATM sekitar 15 tahun lalu. Mengenai ini Telkom sudah merespons nya dengan beragam model alat pembayaran. “Ke depannya, kami sedang mengembangkan online payment lainnya melalui T-Cash dan Flexi Cash,” kata mbak Shinta. “Untuk skala internasional, kita juga menjajaki kerjasama dengan PayPal.” Cukupkah itu meyakinkan konsumen kita?
Isu #2. Setelah isu keamanan lolos, tantangan yang lebih mendasar adalah, apakah perilaku konsumen Indonesia sudah siap dibawa ke online shoping? Saya sulit menemukan survei perilaku online shopping di Indonesia. Saya hanya punya gambarannya untuk Asia, seperti ditunjukkan oleh hasil survei Visa eCommerce Consumer Monitor (2009). Menurut survei tersebut, hampir sembilan dari sepuluh orang atau 89 persen responden mengaku telah berbelanja online dalam 12 bulan terakhir. Jadi orang Asia siap dengan online shopping. Cuma celakanya, respondennya diambil di “negara-negara maju” Asia, yaitu Jepang, Hong Kong, Cina, India, Korea, Singapura, dan Australia, Indonesia tak terjamah.
Feeling saya, temuan tersebut jauh mencerminkan kondisi yang ada di Indonesia. Seperti halnya saya, kalau mau beli laptop atau HP, kenceng banget surving di internet. Tapi begitu sampai ke urusan beli… langsung ngacir deh ke Ambasador atau Cempaka mas. Kalau nggak ketemu mbak-mbak SPG yang cantik-cantik atau berjibaku tawar-menawar rasanya kok nggak plong gitu!!! Saya yakin, yang saya alami ini terjadi di sebagian besar konsumen kita.
So… balik ke pertanyaan semula: “Sukseskah Plasa.com?”
9 comments
menurut saya ini tinggal di kasih value dan service excellent yang di brandingkan…kalo brand name sekelas telkom, saya rasa akan sangat mudah membujuk para netters untuk memulai revolusi gaya belanja lewat online…saya secara pribadi melihat yang di khawatirkan adalah masalah keamanan dan deliverynya aja..kalo plasa.com mampu membrandingkan masalah2 ini dan memberikan garansi yang full alias proteksi, saya rasa plasa.com ataupun ecommerce lainnya akan menjadi barometer baru perdagangan di kota-kota besar yang infrastruktur internet dan transportationnya bagus…
“Branded customer service” ya pak. Diskusi di Note Facebook mengenai hal ini, temen2 pesimis apakah konsumen Indonesia sudah siap online shopping pak, rasanya orang kita penginya “feel n touch” (& nawar tentu), kalau mau beli barang. Kayaknya budaya online shopping ini yang masih sulit diubah dalam waktu dekat ini. Jadi challenge nya adalah “crossing the chasm”, sebelum “chasm” nya tembus, rasanya Plasa.com masih sulit menuai sukses. Tapi ini dari hasil diskusi temen-temen lho?
Wah, plasa.com ini benar2 jadi topik yang sangat hangat ya. dari dailysocial, navinot, media-ide sampai blog Pak Yuswohady pun sampai membahasnya 😀
Saya awalnya excited dengan plasa.com dan dukungan fundingnya yang besar itu. Tapi jika melihat strateginya dengan revenue yang didapat dari ads dan agregasi konten, kok rasanya “tidak e-commerce” sekali y?
Selain itu, startup yang sedang “membabat” hutan e-commerce indonesia ini bukan hanya plasa.com. ada tokopedia, juale, QiosQu, dan bukalapak. Kita lihat apakah Goliath dengan dana 4 juta US dollar atau para David dengan gerakan agresif yang menang 😀
Sebenarnya semakin banyak pemain e-commerce yang bermunculan, dampaknya justru akan positif bagi Plasa.com mas, karena dengan demikian diharapkan bisa membuka awareness dari konsumen Indonesia utk melakukan online shopping. Saya kira nantinya yang terjadi adalah coopetition, bukan competition secara membabi buta.
Justru saya melihat perlu ada Goliath lain, katakan dari Indosat gitu, yang meramaikan pasar e-commerce di Indonesia, terus keduanya melakukan perang iklan di media massa (kayak perang iklan Indosat vs XL beberapa waktu lalu), maka aku yakin pelan-pelan konsumen akan kepincut untuk melakukan online shopping.
Jadi, diharapkan akan ada dua Goliath bertempur dahsyat, terus David yang kecil-kecil meraup untung di tengah-tengah. Tapi ingat dua Goliath nya juga tetap meraup untung. Jadi semua untung… wah kalau gitu, betapa indahnya dunia.
Ini jalan panjang untuk plasa.com bgtupun untuk mojopia. Menghabiskan 4 juta dollar tentu ngak mau ngasih kabar buruk lagi seperti kejatuhan dotcomers tempo dulu.
Isu ke 2 menjadi topik yg paling gress. Pasar tanpa tawar menawar ngak akan match. sementara buyer online saat ini ada 2 pihak. pertama yg tawar menawar sementara yg ke 2, tanpa tawar menawar.
Yang kedua ini tentu diambil dari orang2 yang ngak akan negliat harga barang ketika membeli. Karna itu gaya ‘ecommerce’ sendiri rasanya blm bisa match. Mungkin warna warna seperti FJB kaskus adalah pilihan yang pas.
Tapi ya ituh, TELKOM sebagai BUMN mana mau menjadi dibawah kekuatan independent semacam kaskus FJB.
Iya, format tawar-menawar offline (fisik) ini yang sulit tergantikan oleh online experience. Yang mendekati memang model FJB or lelang kayak Kaskus or eBay. Kalau memang model seperti ini bisa lebih jalan, mestinya Plasa.com harus diarahkan ke situ, tapi kalau mau mengarah ke the next challenge adalah “how to build the community” yang huge kayak Kaskus. Atau nebeng di Kaskus… tapi seperti mas Arham bilang, mana Telkom mau. Let’s see how…
Masyarakat Indonesia masih memandang berbelanja sebagai sarana hiburan.
Namun, seiring meningkatnya tingkat kemacetan di kota-kota besar dan mahalnya biaya transportasi, toko online akan semakin akrab di kalangan masyarakat awam sekalipun.
Halo, Mas Yus. Thanks sudah mau sharing pendapat Anda tentang Plasa.com dan Mojopia. Saya setuju dengan analisa Mas Yus. But in the end, “somebody has to start the fire.”
Let’s hope for the best. Sukses terus, Mas Yus!