Beberapa waktu lalu saya ikut bersama rombongan Martha Tilaar Group (MTG) dan teman-teman media melakukan napak tilas ke Yogya dan Solo dalam rangka ulang tahun 40 raksasa kosmetik tersebut. Menarik sekali ngobrol dengan bu Martha Tilaar mengenai China-ASEAN Fair Trade Agreement (CAFTA) kini sedang luas diperbincangkan. Berbeda dengan kebanyakan produsen nasional yang belakangan ini phobia terhadap kehadiran produk Cina, tak terlihat sedikitpun kekhawatiran bu Martha terhadap produk kosmetik murah dari Cina.
Kenapa? Karena, menurut bu Martha, produk-produk MTG memiliki keunikan yang terwujud dari pemahaman MTG yang dalam terhadap kebutuhan dan perilaku konsumen Indonesia. Bu Martha berkeyakinan, kehadiran MTG selama 40 tahun di pasar Indonesia menjadikannya tahu betul seluk-beluk pasar Indonesia, sehingga ia mampu menciptakan produk-produk yang unik yang sulit ditandingi oleh pemain dari Cina. Produk MTG juga sulit ditandingi produk Cina, karena kosmetik adalah industri yang “menjual mimpi” sehingga relatif tak begitu sensitif terhadap penurunan harga.
MTG adalah sedikit contoh produsen nasional yang mampu membangun keunggulan bersaing dengan membangun kompetensi berbasis kelokalan. Bagaimana seharusnya pemain-pemain kita memanfaatkan kompetensi berbasis kelokalan seperti MTG untuk menjadi pemenang melawan serangan produk murah Cina?
Empat Strategi Menghadapi Serangan “The China Price”
“The China Price” dan CAFTA Phobia
Pergantian tahun 2010 lalu, di sela-sela keriuhan pergantian tahun para pelaku usaha kita kita diliputi oleh kecemasan terkait dengan CAFTA yang diberlakukan tahun ini. Kecemasan atas pemberlakuan CAFTA bukanlah tanpa alasan. Pemberlakuan kawasan perdagangan bebas dengan Cina akan membuka persaingan secara terbuka produk-produk kita dengan produk Cina yang dikenal sangat murah dengan kualitas yang kini pelan tapi pasti mulai terdongkrak naik.
Kecemasan akan produk murah Cina bukanlah monopoli kita di Indonesia, tapi sudah menjadi kecemasan global. Beberapa waktu lalu, BusinessWeek membuat cover story yang secara memikat mengulas ketakutan para industrialis AS terhadap serangan produk murah Cina. Majalah itu menyebut “The China Price” sebagai tiga kata yang paling ditakuti para industrialis AS. Ketakutan ini muncul karena makin banyak saja perusahaan AS yang terpaksa bangkrut karena serangan “The China Price”. Oleh karena itu, celotehan yang kini banyak terdengar adalah: “Cut your price at least 30% or shut your company.”
Pemberlakuan CAFTA tentu saja akan membuka selebar-lebarnya serangan “The China Price” terhadap pemain-pemain lokal kita yang tidak kompetitif. Pertanyaannya, bagaimana sebaiknya pemain kita merespons aksi merajalela dari produk-produk Cina tersebut? Seperti halnya MTG di atas, bagaimana produsen kita bisa survive bahkan menjadi pemenang di tengah serangan “The China Price”?
Empat Pilihan Strategi
Untuk memberikan strategic guidelines mengenai bagaimana seharusnya pemain kita menghadapi serangan produk murah Cina, saya mencoba mendisain sebuah matriks 2×2 sederhana yang kemudian memunculkan empat pilihan strategi generik untuk merespons serangan “The China Price”. Sebelum sampai kepada empat strategi tersebut, ada baiknya sebelumnya saya jelaskan matriksnya sebagai berikut (lihat matriks).
Matriks ini tersusun dari dua parameter yang terwakili oleh sumbu vertikal dan horisontal. Parameter pertama (di sumbu vertikal) mencerminkan tingkat kepemilikan pemain terhadap aset berbasis kelokalan (local-specific assets). Aset berbasis kelokalan ini bisa bermacam-macam bentuknya: pengetahuan mendalam terhadap pasar lokal; kepemilikan kompetensi yang unik lokal; pemahaman terhadap karakteristik budaya lokal; relasi bisnis yang unik dengan partner lokal; dan sebagainya. Di sini pemain dapat kita petakan menjadi dua jenis yaitu pemain dengan aset berbasis kelokalan yang tinggi (high) dan rendah (low).
Parameter kedua (di sumbu horisontal) mencerminkan tingkat mudah tidaknya produk dari pemain tersebut diserang oleh produk Cina dari sisi harga (exposure to “The Chine Price” attacks). Produk yang memiliki kemungkinan besar terkena serangan produk Cina tak lain adalah produk yang memiliki price sensitivity yang tinggi. Artinya, ketika produk tersebut diserang produk Cina dengan harga yang murah, maka serta-merta konsumen akan beralih ke produk murah tersebut. Dengan kata lain, sumbu ini juga menggambarkan tingkat difererensiasi produk dalam melawan serangan produk murah Cina. Di sini pemain bisa kita bagi menjadi dua jenis, yaitu pemain dengan produk yang mudah (low) diserang produk murah Cina; dan pemain dengan produk yang sulit (high) diserang.
Berdasarkan matriks di atas, maka kita dapat memetakan empat jenis pemain berikut strategi generik yang harus mereka kembangkan. Coba kita lihat satu-persatu.
Price Warrior adalah pemain yang tidak memiliki aset berbasis kelokalan dan produk yang dihasilkannya sensitif terhadap serangan produk murah Cina, atau dengan kata lain diferensiasinya lemah. Pemain jenis ini tak terhindarkan lagi akan terjebak dalam price war dengan produk-produk murah Cina, sehingga strategi satu-satunya untuk bisa survive hanyalah menjadi cost leader. Artinya perusahaan jenis ini harus mampu bekerja secara super efisien untuk mecapai harga semurah mungkin.
Competitive Flanker adalah pemain yang memiliki cukup aset berbasis kelokalan namun produk yang dihasilkannya masih sensitif terhadap serangan produk murah Cina. Pemain jenis ini akan mampu menghindar (flank) dari perangkap price war dengan produk Cina dengan cara mendayagunakan secerdas mungkin kompetensi berbasis kelokalan (local-specific competencies) misalnya menciptakan produk unik yang pas memenuhi kebutuhan pasar lokal dan sulit ditiru pesaing Cina. Atau bisa juga membangun hubungan emosional yang intim dengan distributor lokal yang tak bakal bisa ditiru pesaing Cina.
Regional Chaser adalah pemain yang tidak memiliki aset berbasis kelokalan tapi produk yang dihasilkan cukup unik (memiliki diferensiasi kokoh) sehingga tidak gampang diserang oleh produk murah Cina. Pilihan strategi yang bisa diambil oleh pemain jenis ini adalah terus-menerus membangun dan mengejar kemampuan untuk menjadi pemain yang setara dengan pemain-pemain teratas dalam skala regional (regional’s best practice). Dengan kata lain, agenda utama pemain ini adalah mencapai posisi CAFTA’s best practice.
Local Champion adalah kelompok pemain yang memiliki kompetensi berbasis kelokalan dan produknya tak sensitif terhadap harga murah karena memiliki diferensiasi yang kokoh. MTG yang saya pakai sebagai ilustrasi di awal adalah jenis pemain yang masuk dalam kelompok ini. Karena memiliki keunggulan bersaing unggul dalam melawan produk murah Cina, pemain yang masuk dalam kategori ini memiliki kans besar untuk menjadi pemimpin di pasar lokal yang didominasinya. Pemain Cina akan bertekuk-lutut melawan pemain yang satu ini.***
15 comments
the only way to beat the price is branding.
can we brand the creativity or art, Pak Yuswohadi?
Saya kira kalau creativity n art hrs diwujudkan dulu mjd produk or services mas, kl bentuknya produk mk namnya “product branding”, kl bantuknya services mk namanya “branded service”, jd sy kira bisa bgt mas
product centric ke service centric ke local richness centric
Kalau dari ketiganya eh empat deh. Semua produk bisa kuat kalau punya power yg kuat, misalnya soal loyalitas / kebanggaan atas barang sprti Apple misalnya..
oia, point ke empat, bisa kasih contohnya mas? kecuali kue / cokelat yah 😉
Poin yg keempat di situ sdh sy. Ksh contoh mas, yaitu Martha Tilaar. MT mnurut sy punya local competitive advantages sprti pengetahuan thd psr lokal, brand identity yg sgt lokal, n emotional relationship dg konsumen lokal shg sulit diungguli kompetitor dr Cina
@husin hi pak, pa kbr. Setuju mnghadapi produk murah Cina pemain lokal hrs fokus ke aset kelokalannya.
baik pak, kabarmu juga bgm? menanti buku2 tulisan mu pak
Kabar baik pak, ya… mudah2an saya tetap punya energi besar untuk menulis. Tx
mas…bagus banget paparannya…
mas ada yang kurang aku mengerti apa yang membedakan antara competitive flanker dengan regional chaser serta local champion?
kalau kasus nya seperti apa aj mas?
Lihat sumbu x dan y dari matriks nya mas:
Sumbu y menentukan apakah pemain punya “keunikan lokal” atau nggak (dari “low” ke “high”).
Sumbu x menentukan apakan produk pemain “sensitif terhadap harga” atau tidak (dari “low” ke “high”).
Kalau “Competitive Flanker” artinya pemain lokal tersebut memiliki keunikan lokal dalam melawan produk Cina, tapi produk yang dijualnya sensitif terhadap harga. Jadi pemain itu harus menyiasatinya dengan menghindari (flanking) perang harga dengan memanfaatkan keunikan lokal. Contohnya pengusaha batik Pekalongan, bisa memanfaatkan disain-disain khas Pekalongan untuk melawan produk garmen murah dari Cina.
Kalau “Regional Chaser” sebaliknya adalah pemain yang tidak memiliki keunikan lokal, tapi produk yang dijualnya tidak sensitif terhadap harga, karena diferensiasi yang dimilikinya. JCo misalnya mas, produknya nggak sensitif terhadap harga krn mengandalkan emotional benefit, tetapi sesungguhnya tidak memiliki keunggulan lokal. Pemain jenis ini memiliki potensi menjadi pemain regional.
Formulasi yang cakep mas Siwo 🙂
Tx mas Budi… iku mikire sampe buthak je… hehehe.
Kapan balik Semarang? Aku juga sudah kangen Purwodadi
ciamik mas yuswo..local champion ini kalo menggunakan strategi high impact low budget dengan tepat akan segera terjadi ya mas..gitu apa ngga mas yuswo ?
salam …
nice thought…
eniwei, strategi diatas cocok untuk industri yang mana nih? (berdasar skala). kira2 strategi untuk UKM yang cocok yang mana nih? dimana kebanyakan mereka melayani kebutuhan lingkup kecil. kira2 proyeksinya gimana ketahanan ukm menghadapi “the china price”?
Saya kira cocok untuk semua pelaku bisnis kita mas, besar maupun kecil. Karena The China Price nggak hanya menyerang yang besar-besar tapi juga yang kecil-kecil. Karena pemain di Cina itu tangguh karena diback up UKM nya yang sangat banyak dan kuat.