Hyman Minsky (1919-1996) benar adanya. Bahwa, instabilitas finansial (baca: krisis finansial) sebenarnya berasal dari dalam dirinya sendiri (endogenous) dan bukan dari luar (exogenous). Krisis finansial yang dipicu kejatuhan Lehman Brothers di AS secara intrinsik bukanlah diakibatkan oleh perang, kenaikan harga minyak, huru-hara sosial politik atau bencana alam. Tetapi karena “sifat alamiahnya” yang spekulatif.
Pemikiran Prof. Minsky yang dituangkan dalam bukunya tahun 1986, Stabilizing An Unstable Economy, itu populer kembali (tahun 2008 ini diterbitkan ulang) karena relevan menjelaskan krisis keuangan global saat ini. Pemikiran Minsky relevan karena arus pemikiran utama (mainstream) yang berlaku hingga detik ini selalu menganggap bahwa sifat instabilitas sektor finansial bersumber dari faktor-faktor di luar sektor tersebut. Padahal sesungguhnya instabilitas dan ketidakmenentuan sektor keuangan disebabkan oleh perilaku dasar para pemain di pasar yang spekulatif.
Terus terang, membaca pendapat ekonom Washington University itu saya jadi miris. Saya jadi teringat kasus corporate fraud 6-7 tahun lalu yang menenggelamkan perusahaan-perusahaan raksasa macam Enron dan Worldcom. Akar masalah dari kasus tersebut adalah ketamakan para eksekutif perusahaan-perusahaan tersebut untuk meraup fulus sebesar mungkin melalui insider trading yang mereka lakukan.
Mereka menggoreng dan mengarang cerita mengenai kehebatan perusahaan-perusahaan mereka kepada investor, investor kepincut, harga saham melambung, dan saham (dari stock option) mereka lepas ketika harga sedang gila-gilaan. Karena jeroan dan fundamental perusahaan kosong melompong, maka serta-merta harga saham pun jatuh. Karena stock option di-exercise ketika harga di puncak-puncaknya, mereka pun untung besar. Majalah Fortune mencatat, transaksi stock option yang dilakukan oleh para eksekutif tersebut mencapai angka $66 miliar. Uang segedhe itu semua masuk ke kantong pribadi.
Walaupun dengan modus operandi yang berbeda, akar masalah dari krisis keuangan global saat ini persis sama dengan kasus fraud tahun 2001, yaitu ketamakan para eksekutif perusahaan. Kalau dulu eksekutif Enron dan Worldcom, maka kini sumber petaka itu adalah para eksekutif perusahaan keuangan besar macam Lehman Brothers, Merrill Lynch, Goldman Sachs, Morgan Stanley, Lehman Brothers atau Bear Stearns.
Tiap tahun mereka mendapatkan gaji bukan main gedhe-nya, hingga $2 miliar atau Rp 18 triliun per kepala, karena dinilai mampu melakukan leverage alias ”membiakkan” uang melalui beragam instrumen pasar modal yang beresiko tinggi. Celakanya, pembiakan uang itu tak selalu dikaitkan dengan kinerja fundamental perusahaan. Itu sebabnya nilai uang hasil pembiakan tersebut adalah semu layaknya balon yang kosong melompong. Namanya saja balon, makin ditiup, makin menggelembung, tapi ujung-ujungnya akan meletus. Aksi pembiakan uang melalui leverage itu pun setali tiga uang: semakin di-leverage, semakin menggelembung, tapi ujung-ujungnya akan meletus. Dan seperti kita lihat bubble di sektor keuangan global itu kini telah betul-betul meletus, dan berujung krisis seperti yang kita alami saat ini.
Diinspirasi pemikiran Minsky, saya mencoba menarik pelajaran dari dua krisis itu secara helocopter view, secara holistik, mungkin filosofis. Sesungguhnya krisis itu bermuara pada ide dasar (baca: ”roh”) ajaran kapitalisme yaitu KERAKUSAN umat manusia. Dalam sistem kapitalisme ”greedy is good”. ”Tamak dan serakahnya manusia adalah sebagus-bagusnya mahluk”. Orang dipacu berkompetisi untuk mengumpulkan kekayaan, kalau perlu dengan membenamkan dan menghancurkan sesama. Orang diumbar hawa nafsunya untuk menumpuk fulus tanpa ada batasnya: ”Sky is the limit!!!” Orang dipacu inovasi dan kreativitasnya agar mencapai value creation, istilah santun dari ”memperkaya diri dan mengembang-biakan duit”.
Kesimpulan akhir saya: bail-out pemerintah, pembentukan BPPN, kebijakan fiskal-moneter, pengaturan pasar modal/uang, pengaturan gaji eksekutif, semuanya tak akan menyelesaikan masalah. Kenapa? Karena semua aksi itu tidak mengobati sumber penyakitnya. Sumber penyakit bukan terletak di dalam krisis keuangan itu, tapi jauh lebih dalam, jauh lebih fundamental, dan jauh lebih struktural lagi, terletak pada sistem ekonomi kapitalisme yang kita anut. Menjadi keniscayaan bahwa krisis seperti yang kita alami sekarang ini bakal terulang 1001 kali lagi di masa depan, sejauh kita masih menganut sistem ekonomi yang memegang teguh prinsip ”greedy is good”; sejauh pelaku pasar dibentuk menjadi economic animal yang rakus tak ketulungan; sejauh orang dipacu untuk menimbun uang tanpa ada batasnya.
Mendapati gambaran masa depan yang muram semacam itu, saya jadi terusik oleh sebuah acara dialog ekonomi dari sebuah stasiun televisi ibu kota beberapa waktu lalu. Dialog tersebut membahas fenomena maraknya bisnis syariah di Indonesia. Kenapa marak? Terungkap dalam dialog tersebut, salah satu sebabnya karena pelaku ekonomi mulai concern bahwa praktek bisnis yang mereka lakukan benar menurut ajaran Islam. Alih-alih menjadi economic animal, secara sistematis mereka mulai menjalankan etika dan praktek bisnis yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
Sampai ke titik ini saya tersadar, bahwa aturan secanggih apapun di Wall Street tak akan bakal mampu ”menjinakkan” sifat tamak dan rakus para pelaku pasar. Diperlukan aturan yang jauh lebih ”holistik” untuk menuntun para pelaku ekonomi menjadi lebih manusiawi, beradab, berempati, bernurani. Dalam konteks inilah saya berpendapat bahwa spiritualitas dan prinsip-prinsip agama bisa memainkan peran krusialnya dalam membawa pebisnis menjadi manusia seutuhnya.
Dalam konteks Islam misalnya, saya melihat bahwa prinsip-prinsip ajaran Islam mampu menjadi inspirasi dan guiding principles yang ampuh bagi para pelaku bisnis syariah untuk lebih bernurani, beradab, berempati kepada sesama, dan lebih manusiawi dalam berbisnis. Prinsip-prinsip ajaran Islam mampu membawa pebisnis syariah menjadi manusia seutuhnya, bukan terreduksi hanya sekedar menjadi economic animal seperti eksekutif Lehman Brothers cs. atau pelaku pasar di Wall Street.*
4 comments
Krisis? Maybe yes, maybe no!
Saya melihat kita memang krisis, tapi krisis mindset. Kita kadang terkungkung dengan mindset yang selama ini menjadi pengalaman hidup kita. Kalau diberi kemampuan berpikir kenapa tidak sekalian berpikir besar?
Sekarang lihat, sektor riil tidak akan terpengaruh. Kenapa? Ya karena dari dulu kita ini tidak pernah perhatian pada sektor riil. Mereka jalan dengan sendirinya. Bisa survive, bahkan mungkin juga sustain. Mau bukti? Pernah denger yang namanya Credit Union? Atau kalau di Indonesia namanya koperasi kredit? Gerakan ini luar biasa, dan banyak orang merasakan betapa mereka ini memang bisa membantu orang kecil. Bukan perbankan. Ga ada lagi orang miskin yang ga bisa nabung atau kaya. Coba saja datang ke Kalimantan Barat atau Bali, kita akan menemukan a different view.
So, bener yang menjadi resensi Mas Siwo, krisis ekonomi berasal dari kondisi internal kita sendiri. Why? Karena kita ga fokus dengan business landscape, customer, dan value kita sendiri. So, That’s good idea.
Intinya, saya setuju dengan dengan Om Soetrisno Bachir, “Hidup Adalah Perbuatan”. Maksudnya, carut-marut ekonomi kita akan ditentukan oleh “perbuatan-perbuatan” dari para pelaku ekonomi kita. Kalau “perbuatan”-nya nggak bener, ya ekonomi yang terbentuk dengan sendirinya nggak bener. Makanya, saya bilang syariah barangkali bisa menjadi alternatif, karena “perbuatan” para pelaku bisnis syariah, dibimbing oleh prinsip-prinsip Islam yang seharusnya lebih baik, dibanding tanpa ada bimbingan seperti yang terjadi dalam kasus para spekulan di Wall Street.
Wah, sepertinya spiritual marketing akan semakin booming dalam waktu dekat. Customer sepertinya sudah bosan dengan berbagai strategi dan taktik marketing yang lebih banyak mengeksploitasi sisi rasional dan emosional saja. Mereka sekarang mengharapkan sesuatu yang menyentuh sisi spiritual (hati).
Saya lebih sepakat kata Aa Gym dengan 3M-nya, Mulai dari yang kecil, mulai dari diri sendiri dan mulai dari sekarang. Artinya begitu banyak resource yang sebenarnya bisa kita eksplor, tapi kuncinya ya itu tadi, MAU.
Quote “Kalau dulu eksekutif Enron dan Worldcom, maka kini sumber petaka itu adalah para eksekutif perusahaan keuangan besar macam Lehman Brothers, Merrill Lynch, Goldman Sachs, Morgan Stanley, Lehman Brothers atau Bear Stearns.”
Sebelumnya terdengar kabar bahwa Lehman Brother, perusahaan yang bisa selamat dari Malaise 1929 itu akan bangkrut. Mungkin sebelum bangkrut, dia nyokot yang lain.