Saya punya prinsip yang mirip-mirip Pak Soetrisno Bachir, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) yang kini menjadi selebritis karena iklan-iklan simpatiknya. Kalau Pak Soetrisno berprinsip bahwa “Hidup Adalah Perbuatan”, saya punya prinsip “Iklan adalah Perbuatan”. Saya berprinsip, iklan bukanlah sekedar pencitraan. Dosa besar kalau iklan direduksi hanya sekedar pencitraan. Kalau sekedar pencitraan, bisa dong onggokan sampah dicitrakan (baca: “disulap”) menjadi gemerlap berlian? Atau, boleh dong tikus got dicitrakan menjadi cendrawasih yang bulunya penuh kemilau.
Alih-alih sebagai alat pencitraan, saya menganggap iklan sebagai media untuk mengomunikasikan “perbuatan-perbuatan” si pemasang iklan: bisa produk, perusahaan, atau orang yang sedang ikut Pilkada misalnya. Kalau “perbuatan-perbuatan” si pengiklan baik, tentu iklannya boleh bilang ke khalayak hal yang baik. Tapi kalau sebaliknya, “perbuatan-perbuatan” si pengiklan penuh kenistaan dan kotor berlumur darah, apakah kemudian ia boleh bilang ke khalayak mengenai kesucian, keindahan, kecantikan? Tegas saya bilang: TIDAK!!!
Iklan bukanlah pupur yang menutupi “perbuatan” bopeng-bopeng menjadi “perbuatan” mulus kinclong, layaknya muka Sandra Dewi. Iklan bagi saya adalah kejujuran. Iklan adalah ketika nurani berbicara: tanpa kosmetik, tanpa topeng, tanpa pupur.
Dji Sam Soe, rokok legendaris bikinan HM Sampoerna, tak pernah mengiklankan diri selama 80 tahun lebih. Rokok ini beriklan pertama kali tahun 1996 sementara ia dibikin dan beredar di pasar tahun 1913. Bagaimana Dji Sam Soe mengomunikasikan kehebatannya kepada konsumen? Melalui word of mouth: Orang merasakan dan menikmati kehebatan rasa Dji Sam Soe, lalu ngomong ke konsumen lain. Omongannya pasti 100% jujur karena tak sepeserpun ia di bayar Dji Sam Soe. Jadi, Dji Sam Soe beriklan mengomunikasikan kehebatan dirinya setelah 80 tahun “berbuat” dan mendapatkan pengakuan dari konsumennya.
Karena itu, bagi saya iklan begitu sarat dengan pertanyaan-pertanyaan “eksistensialis” khas Chairil Anwar. Hanya jika Anda sudah “berbuat” maka Anda boleh beriklan. Dengan begitu, “berbuat” menjadi semacam “reason for being” bagi para pengiklan. Kalau “perbuatan” Anda baik, maka isi iklan Anda akan baik. Sebaliknya, kalau ”perbuatan” Anda buruk, maka isi iklan Anda pun akan buruk. ”Perbuatan” Anda akan mewarnai iklan Anda.
Untuk menutup tulisan singkat ini saya punya cerita sedikit mengenai Bung Karno. Bung Karno tidak pernah mengiklankan dirinya sepanjang hidup. Wajar saja, karena sepanjang hidupnya, beliau memang tidak begitu mengenal tetek-bengek dunia periklanan. Tapi poinnya bukan di situ. Poin saya adalah, tanpa iklan beliau mampu menjadi bapak bangsa yang begitu disegani, dihormati, disanjung dan dicintai. Namanya begitu harum berkilau, namanya dikenang seluruh generasi bangsa ini sampai akhir jaman.
Kenapa bisa begitu? Karena Bung Karno ”mengiklankan” diri melalui ”perbuatan-perbuatan”-nya. ”Perbuatan” beliau yang begitu keras menentang penindasan penjajah; ”perbuatan” beliau yang begitu kukuh di meja-meja perundingan untuk memerdekakan negeri ini; ”perbuatan” beliau yang tegar memikirkan masa depan negeri ini di balik terali besi pengasingan. Bung Karno ”beriklan” melalui begitu banyak ”perbuatan” yang sudah dikontribusikannya kepada negeri ini.
Mahatma Gandi, Aung San Suu Kyi, Nelson Mandela, Ibu Theresia, melakukan hal yang persis dilakukan Bung Karno. Mereka menjadi pemimpin besar sepanjang masa karena ”mengiklankan” diri melalui ”perbuatan besar” mereka.
”Iklan Adalah Perbuatan.”
2 comments
Banyak menulis kayak Mas Yuswo juga perbuatan…. He3… Saya jadi iri dan mau cari ‘perbuatan’ deh….
Harus pak Hengky… buku “Management Lessons from Mayo Clinic” masih saya kopi, kalau sudah jadi akan saya kirim ke Surabaya asap. Great book pak. tx