Puasa hari kedua lalu saya diundang berbicara di Allianz Syariah Motivational Seminar di Jakarta. Saya membawakan topik yang nyambung dengan tema bulan Ramadhan yaitu Spiritualizing Marketing. Di situ saya bilang bahwa “roh” dari marketing adalah Al Amin. Seperti halnya Nabi Muhammad, seorang marketer haruslah dapat dipercaya oleh pelanggan saat memasarkan produknya. Harus sesuai apa yang diomongkan dengan apa yang diberikan ke pelanggan, tidak boleh over promise under deliver. Marketer harus jujur sejujur Nabi, tak boleh sekalipun membohongi pelanggan dengan kata-kata yang manis nan indah.
Ingat, Nabi adalah pedagang yang jujur bukan main, itu sebabnya ia dicintai pelanggan dan bosnya yang kemudian menjadi istrinya. Nabi adalah sosok marketer sejati. Ketika dia mengetahui barang dagangannya ada yang busuk, maka barang busuk itu beliau taruh di depan agar pelanggan tahu, bukannya disembunyikan untuk mengelabuhi pelanggan. Karena itu saya katakan bahwa Nabi adalah role model paling sempurna bagi seorang marketer. Marketer haruslah Al Amin seperti halnya Nabi.
Dalam seminar tersebut juga saya katakan bahwa Al Amin bisa menjadi pondasi bisnis yang sangat ampuh. Sebesar dan sesolid apapapun bisnis yang Anda bangun, selama pondasinya dibangun atas prinsip-prinsip ketidakjujuran, kelicikan, KKN, pat gulipat, tipu daya, mark-up dan keculasan, maka cepat atau lambat bisnis tersebut akan runtuh. Runtuhnya bisnis akan dimulai dengan rontoknya kredibilitas dan reputasi bisnis. Dan ketika kredibilitas sudah habis, maka seperti layaknya orang yang sekarat kehabisan darah, bisnis itu layu dan kemudian mati ditelan jaman.
Berdasarkan kenyataan pahit tersebut, saya semakin yakin bahwa marketing haruslah betul-betul mendasarkan prakteknya kepada prinsip-prinsip moralitas dan nurani. Saya melihat marketing haruslah bertransformasi dari level intellectual quotient (IQ) ke emotional quotient (EQ) dan akhirnya memasuki level yang paling tinggi yaitu spiritual quotient (SQ).
Di level intelektual, marketer menyikapi marketing secara fungsional-teknikal menggunakan scientific marketing approach dengan tool-tool-nya yang saat ini demikian popular seperti: segmentasi-targeting, positioning, branding, dan sebagainya. Di level ini memang marketing menjadi seperti “robot” dengan mengandalkan kekuatan logika dan konsep-konsep keilmuan.
Di level emosional kemampuan si marketer dalam memahami emosi dan perasaan pelanggan menjadi penting. Di sini pelanggan dilihat sebagai manusia seutuhnya lengkap dengan emosi dan perasaannya. Kalau di level intelektual otak kiri si marketer paling berperan, maka di level emosional, otak kanan lah yang lebih dominan. Kalau di level intelektual saya menggambarkan marketing layaknya sebuah “robot”, maka di level emosional marketing menjadi seperti “manusia” yang berperasaan dan empatetik.
Lalu bagaimana di level spiritual? Di level ini marketing sudah disikapi sebagai “bisikan nurani” dan “panggilan jiwa”. Di sini marketing dimaknai sebagai Al Amin. Praktek marketing dikembalikan kepada fungsinya yang hakiki dan dijalankan dengan landasan moralitas yang kental. Seperti telah saya uraikan di depan, prinsip-prinsip kejujuran, empati, dan kepedulian sesama, dan cinta mendominasi sikap dan tingkah laku si marketer.
Kalau di level intelektual bahasa yang Anda gunakan adalah “bahasa logika”, maka di level spiritual Anda harus menggunakan “bahasa hati”, “bahas nurani”. Kata hati yang paling dalam dan nurani Anda adalah “lentera penerang” yang akan menunjukkan ke arah mana Anda akan menuju dan bersikap. Nurani adalah “senjata pamungkas” Anda untuk memenangkan persaingan; kejujuran adalah core differentiation Anda; dan kasih kepada sesama adalah komponen utama daya saing perusahaan Anda. Dari sini menjadi jelas bahwa, SQ telah memberikan “roh” kepada praktek marketing.
Marketing bukanlah upaya mengejar keuntungan sepihak secara membabi-buta. Marketing bukanlah tipu muslihat. Marketing adalah aktivitas penciptaan nilai (value-creating activities) yang memungkinkan berbagai pihak yang menjadi pelakunya bertumbuh dan mendayagunakan kemanfaatan. Marketing haruslah dilandasi kejujuran, keadilan, keterbukaan, keikhlasan, dan kepedulian terhadap sesama. Sekali lagi: marketing adalah Al Amin.
Marketing telah menjadi rahmat bagi dunia agar orang-orang mendapatkan produk-produk terbaik dan bisa memilih di antaranya untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Dengan mengkonsumsi produk terbaik dan harga yang sesuai, orang akan benar-benar memperoleh manfaat dan menjadikan hidup mereka lebih baik. Alangkah indahnya marketing jika ia disikapi sebagai sebuah gerakan hati yang peduli. Kepedulian pada kebaikan dan kemanfaatan sesama. Marketing begitu indah jika disikapi sebagai sebuah kepercayaan; sebagai gerakan Al Amin.
Pesan terakhir saya singkat: praktekanlah marketing yang Al Amin!***
9 comments
Sore..
Artikel ini bagus sekali, thanx. Ini menjadi masukan berarti ke saya. Sedikit pertanyaan, mengenai SQ ini, bagaimana trik kita dalam menghadapi Konsumen masa kini yang semakin kearah Perfectionist? Kalau semua jujur, takutnya kita malah dijauhi..
Thanx
Saya melihat kejujuran dalah ultimate competitive advantage bagi sebuah perusahaan. Kalaupun dijauhi, pasti itu sementara, perusahaan yang jujur pasti memiliki lasting success
terima kasih ini artikel yang sangat bagus, artikel ini membuat kita ingin selalu berbuat jujur, semoga teman teman bisa mengikuti karna dengan jujur kita bisa di percaya orang lain, karna kepercayaan itu mahal harganya
Artikelnya menarik pak….saya mau nanya, khusus di Indonesia, kadang kita harus head to head dengan competitor yang kadang mereka main curang dan tidak jujur, bagaimana menerapkan “Al-Amin” dalam situasi tersebut, sambil tetap bisa memenangkan persaingan.
Thanks and regards
Omar
subhanallah what a great article mas… sudah saatnya para marketer menggunakan strategi paripurna yang memadukan Iq,Eq&Sq dalam praktek marketing….
Ayok ayok ayok
Subhanallah, semoga bermanfaat artikel ini. amiin
saya lagi tertarik, tentang spiritual marketing untuk dijadikan judul penelitian. mohon sarannya dong…!!!!
Kalo semua pengurus masjid di seluruh Indonesia mempunyai sikap yang dilandasi kejujuran, keadilan, keterbukaan, keikhlasan, dan kepedulian terhadap sesama, saya yakin kemiskinan akan cepat berkurang. Tolong mas bikinan artikel yang bisa memotivasi dan mendorong pengurus masjid di seluruh Indonesia bisa serentak bersatu memilik sebuah gerakan hati yang peduli pada kebaikan dan kemanfaatan sesama, mengingat kedudukan mereka yang sangat strategis menjadi ujung tombak karena ada di mana-mana, di tengah-tengah kantong kemiskinan rakyat Indonesia. Kalo perusahaan yang berorientasi profit aja bisa, kenapa masjid nggak bisa? Di mana letak kesalahannya?
True, masjid harus nya bisa menjadi hub pemberdayaan umat, dan menjadi driver pemberantasan kemiskinan
thank mas, artikelnya buat nambah motivasi goes to syar’i.