Tiga hari berturut-turut Jumat, Sabtu, Minggu lalu event akbar Java Jazz untuk keempat kalinya digelar. Untuk sebuah festival Jazz yang belum genap lima tahun (bandingkan dengan North Sea Jazz Festival yang berusia 32 tahun, atau bahkan Newport Jazz Festival yang berusia 54 tahun), Java Jazz bisa dibilang sukses luar biasa. Tahun lalu event ini mampu menggaet sekitar 1300 artis dalam/luar negeri dan menjadi magnet bagi tak kurang dari 65 ribu pengunjung. Tahun ini angka-angka itu bakal lebih fantastis lagi. Karena sukses tersebut, tak heran jika Tim Hauser, dedengkot kelompok vokal The Manhatan Transfer, penampil utama Java Jazz tahun ini menempatkan event ini sebagai “one of the largest jazz festivals in the world.”
Sebagai sebuah brand, ekuitasnya terus terkerek naik. Awarenss-nya sangat tinggi tak hanya bagi pecinta jazz tapi juga pecinta musik pop yang “snop” menggemari jazz. Basis loyalitas penggemarnya juga mulai kokoh terbentuk. Dengan loyal customers yang kuat ini pemasaran mulut ke mulut (word of mouth) ke kalangan penggemar musik yang lebih luas juga mulai gampang menyebar. Dengan kondisi semacam ini maka, “masa-masa kritis” membangun merek kini telah terlampaui, dan saya kira tahun-tahun berikutnya Java Jazz akan menikmati “masa panen” sebagai buah dari ekuitas merek yang telah kokoh terbentuk.
Berikut ini adalah lessons-learned yang menurut saya bagus diambil dari upaya Java Jazz memasarkan jazz di Indonesia.
Integrated 4P. Di pemasaran kita mengenal konsep 4P: product, price, place, promotion. Java Jazz saya kira mampu mengintegrasikan keempat komponen pokok pemasaran ini secara solid. Dari sisi product tentu saja komposisi artis yang dari tahun ke tahun mampu menampilkan artis-artis papan atas dunia. Secara pricing, Java Jazz cukup jeli menggunakan pendekatan segment pricing, yaitu menetapkan harga yang sesuai dengan core customer-nya. Dari sisi place, pemilihan lokasi JCC yang aksesibel bagi warga Jakarta dan begitu gampangnya penggemar jazz mendapatkan tiket baik secara off-line maupun on-line. Terakhir, dari sisi promotion, Java Jazz melakukan kampanye promosi praktis sepanjang tahun baik above the line maupun bellow the line, baik on-line maupun off-line promotion.
Creative Segmentation. Saya melihat sukses Java Jazz ditentukan oleh kejeliannya menangkap aspirasi core customers-nya. Siapa core customer Java Jazz. Walaupun belum pernah melakukan survei pelanggan, saya meyakini sebagian besar penonton Java Jazz adalah orang-orang yang awam jazz, tapi ingin dipandang sebagai penggemar jazz. Kenapa begitu? Karena jazz memiliki asosiasi yang bagus di Indonesia: citra Amerika, identik dengan kalangan atas (baik ekonomi maupun tingkat pendidikan), keren, cool, kreatif, dan sebagainya. Segmen pasar yang “peduli-citra” dan berduit inilah pasar empuk yang secara fokus dibidik Java Jazz. Bagi orang-orang ini, menonton festival jazz adalah sesuatu yang keren, cool, dan mampu mendongkrak citra mereka di masyarakat, tak penting apakah mereka tahu atau tidak.
“Loose to Win”. Terkait dengan segmentasi kreatif di atas, strategi Java Jazz yang menurut saya cespleng dalam menggaet pengunjung adalah adalah kemampuannya meramu jazz agar sesuai dengan cita rasa core customer-nya. Caranya bagaimana? Menyajikan jazz secara ringan dan ngepop. Puncaknya saya kira tahun ini di mana panggung-panggung utama justru diisi musisi yang selama ini dikenal bukan musisi jazz seperti Bobby Caldwel, Baby Face, dan James Ingram. Bagi penggemar jazz tulen, barangkali Java Jazz tahun ini dianggap sebagai kemunduran, tapi dari sisi perolehan sponsor dan penonton justru sukses luar biasa. Dengan strategi “mengalah untuk menang” ini, Java Jazz mampu menggaet kalangan penggemar musik yang lebih luas, dan kalau penonton sudah tergaet, berikutnya sponsor pun ikut-ikutan gampang digaet. Apakah ini bagus? Bagus-bagus saja sejauh musisi-musisi hardcore jazz (swing, mainstream, cool, bebop) harus tetap dimunculkan secara proporsional. Kalau nggak bahaya, karena dalam jangka panjang ekuitas merek Java Jazz bisa hancur dan dianggap sebagai “festival jazz jazz-an” alias “festival jazz bohongan”***