* Ini adalah tulisan berseri saya mengenai E = wMC2 di Majalah Warta Ekonomi bulan September 2008
Apapun bisnis Anda, apakah jualan sampo, jualan sepeda motor, jualan traktor, jualan pesawat terbang, jualan asuransi, pokoknya jualan apapun, Anda harus menganggap dan memperlakukan setiap konsumen Anda sebagai member. Every customer is member of your brand community.
Apa bedanya “customer” dan “member”? Pertama, customer tidak saling kenal dan karena itu tidak saling berinteraksi satu sama lain. Kedua, customer cuek-bebek alias tidak peduli kepada customer yang lain: “urusan lu-urusan lu, urusan gue-urusan gue”. Ketiga, customer tidak memiliki kesamaan identitas, minat, atau tujuan kolektif. Member sebaliknya, tak hanya saling mengenal satu sama lain, tapi juga saling berinteraksi secara intensif, mereka saling care, saling menjaga, saling berbagi, dan saling membantu satu sama lain.
Kenapa bisa begitu? Karena mereka adalah ”keluarga besar” yang memiliki satu identitas, satu minat, satu tata nilai, dan satu tujuan kolektif. Mereka bahu-membahu menjaga tata nilai itu; mereka bersatu-padu mewujudkan tujuan dan misi kolektif itu. Komunitas Djarum Black adalah sebuah ”keluarga besar” yang memiliki satu identitas yang terwakili oleh karakter warna hitam: berani, lugas, prestisius, penuh misteri. Mereka memiliki kesamaan minat di bidang modifikasi otomotif misalnya. Dan mereka memiliki nilai-nilai yang merekatkan persaudaraan mereka.
Dengan menganggap setiap konsumen sebagai member, maka sesungguhnya Anda memberikan previlage; Anda menempatkan mereka pada posisi ekseklusif dan unik; Anda menjadikan mereka sebagai pribadi-pribadi yang istimewa.Dan Anda menjadikan mereka anggota dari sebuah keluarga besar, anggota dari sebuah club of elite di mana merek Anda berada di episentrumnya. Berada dan menjadi anggota komunitas Djarum Black adalah sebuah previlage. Mereka menjadi pribadi-pribadi yang unik dan ekseklusif karena adanya identitas kolektif yang mereka junjung tinggi.
Segmentation Is Communitization
Ketika Anda memperlakukan konsumen sebagai member, maka otomatis cara dan pendekatan Anda mensegmentasi pasar akan berubah. Saya mendefinisikan segmentasi sebagai, ”cara marketer melihat pasar secara kreatif”. Per definisi memang masih sama, bahwa segmentasi adalah kreativitas dalam melihat pasar, hanya saja di sini kreativitas tersebut ditentukan oleh kemampuan si marketer dalam ”menemukan identitas kolektif, kesamaan minat dan tujuan di dalam komunitas konsumen.” Segmentation is about finding member’s collective identity, purpose, and passion.
Karena itu saya mengatakan segmentation is communitization. Di sini segmentasi tak lain adalah aktivitas membangun komunitas konsumen atau memanfaatkan komunitas konsumen yang telah ada, kemudian Anda menemukan identitas kolektif, kesamaan minat, kesamaan aspirasi, dan dan kesamaan tujuan dari member yang membantuk komunitas tersebut. Di dalam komunitas “Bike to Work” (B2W) yang dibangunnya, Polygan secara kreatif menemukan apa saja aspirasi, misi, dan identitas kolektif yang tumbuh di dalam komunitas tersebut. Beberapa di ataranya adalah kepedulian terhadap munculnya global warming, gaya hidup sehat, atau barangkali adanya perasaan kesetiakawanan sosial di antara mereka.
Pemahaman terhadap identitas kolektif, kesamaan aspirasi, dan kesatuan misi/tujuan itu menjadi modal sangat berharga bagi si marketer dalam memperlakukan dan mengelola komunitas tersebut. Berdasarkan itu semua Anda merancang program-program pemasaran Anda. Bukan program yang semata-mata jualan, tapi program yang diarahkan untuk memfasilitasi aspirasi, misi, tujuan, dan konsern kolektif mereka. Ingat perbedaan mendasar segmentation dan communitization: “segmentation leads to SELLING; communitization leads to FACILITATING”.
Radio Elshinta memahami betul aspirasi dan konsern kolektif masyarakat ibukota yang penat oleh kemacetan lalu lintas yang menyesakkan. Berdasarkan pemahaman tersebut Elshinta kemudian memfasilitasi terjadinya komunikasi di antara mereka. Ia menyediakan diri menjadi medium untuk berbagi informasi mengenai tempat-tempat kemacetan. Siapapun pendengar boleh menjadi “penyiar” dengan memberitakan tempat-tempat macet dan menyarankan agar pendengar lain menghindari tempat tersebut. Maka Elshinta pun memposisikan diri sebagai radio “dari pengengar untuk pendengar” atau dalam istilah saya adalah C2C: “customer to customer”.
Tak hanya itu Elshinta dengan cerdas memahami misi kolektif warga Jakarta yang ingin peduli kepada warga lain. Karena itu Radio ini menjadi episentrum bagi komunitas warga yang peduli dan ingin membantu warga lain yang dirundung kesulitan akibat kemacetan. Karena itu saya mengatakan Elshinta bukanlah “stasiun radio”, Elshinta adalah “komunitas peduli”. Bedanya apa? Misi hakiki “stasiun radio” adalah bisnis, mencari iklan, mencari duit. Sedangkan misi hakiki “komunitas peduli” adalah memfasilitasi warga yang peduli terhadap warga yang lain.
Apakah Elshinta sebagai “komunitas peduli” tidak berujung ke duit? Salah besar!!! Dengan memposisikan diri sebagai “komunitas peduli” Elshinta menjadi merek yang dihormati, disegani, dan dikagumi. Maka Elshinta pun menjadi magnet yang ampuh menarik pengiklan. Ia menjadi merek yang ampuh mendatangkan duit.
Ingat kata-kata kunci berikut:
Treat your customer as member!!!
Find their collective identity, purpose, and passion!!!
And remember, your main job is facilitating… not selling!!!