* Dimuat di Harian Bisnis Indonesia bulan Desember 2003
Perusahaan keluarga adalah sebuah entitas bisnis yang memiliki karakteristik unik yang tidak dimiliki oleh perusahaan pada umumnya. Karena karakteristik yang unik ini, pengelolaan dan transformasi perusahaan keluarga memiliki pola yang unik pula. Perusahaan keluarga umumnya memiliki visi jangka panjang yang solid karena adanya kepemilikan dan komitmen jangka panjnag yang jelas. Perusahaan keluarga umumnya juga memiliki fleksibilitas dan kecepatan pengambilan keputusan yang tinggi karena perusahaan dikelola oleh manajer-manajer yang sekaligus menjadi pemilik. Dan yang terakhir, loyalitas, kedekatan, dan kecintaan para pengelola kunci perusahaan keluarga umumnya demikian tinggi sehingga kohesivitasnya juga demikian tinggi.
Mengenai yang terakhir ini, barangkali menarik pernyataan yang dikemukakan Sigmund Freud, seorang psikolog terkemuka. Kata Freud, ada dua faktor kunci untuk mencapai hidup yang sempurna yaitu: “to love” (“lieben”) dan “to work” (“arbeiten”). Pernyataan tersebut juga bisa diartikan bahwa kesempurnaan hidup seseorang akan terwujud jika dua hal yaitu “saling mencintai di dalam keluarga”dan “bekerja” tersatukan. Kalau keluarga dan kerja adalah segalanya bagi hidup kita, bisa kita bayangkan betapa kokoh dan solidnya sebuah entitas yang mampu menggabungkan keduanya, dan entitas itu tak lain adalah perusahaan keluarga.
Disadvantages
Beberapa faktor yang kami kemukakan di atas adalah beberapa daya saing inheren (inherent competitive advantages) yang dimiliki oleh perusahaan keluarga, yang memungkinkannya selangkah lebih unggul dari perusahaan biasa. Namun di balik keunggulan tersebut terdapat kelemahan inheren (inherent competitive disadvantages) yang seringkali menghambat pengelolaan dan transformasinya. Pertama, perusahaan keluarga umumnya sulit berubah dan melakukan transformasi karena para perintis dan founding father perusahaan keluarga umumnya sangat dominan. Implikasinya, perubahan terhadap warisan (legacy) pendahulu baik berupa strategi, sistem, budaya, maupun gaya kepemimpinan umumnya sulit dilakukan bahkan dianggap tabu oleh generasi penerusnya.
Kedua, di tengah tingginya kohesivitas antar anggota keluarga dalam pengelolaan perusahaan keluarga, dalam banyak kasus konflik kepentingan antar anggota keluarga ternyata sangat siknifikan. Studi yang dilakukan oleh Grant Thornton terhadap 275 perusahaan keluarga tahun 2002 lalu misalnya, menunjukkan bahwa penyelesaian konflik antar anggota keluarga ternyata merupakan masalah yang dianggap paling penting oleh perusahaan keluarga. Tingginya konflik antar keluarga ini seringkali menyebabkan tingginya corporate politic di dalam perusahaan yang ujung-ujungnya berdampak tidak fokusnya perusahaan dalam membangun strategi, melakukan pengambilan keputusan, alokasi sumber daya, dan sebagainya.
Ketiga, suksesi menjadi agenda sangat penting bagi perusahaan keluarga karena ia secara langsung menentukan sustainability perusahaan dalam jangka panjang, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Suksesi ini seringkali menimbulkan masalah karena munculnya persoalan non-teknis dan muatan emosional yang tinggi dalam pelaksanaannya. Perusahaan keluarga umumnya tidak secara formal dan sistemik dalam mengelola persoalan suksesi ini sehingga persoalan ini umumnya tak terkelola dengan baik. Salah-urus dalam pengelolaan suksesi ini seringkali berakibat fatal, berupa ambruknya dinasti perusahaan keluarga tersebut. Survai yang dilakukan diseluruh dunia (Lansberg, 1999) menunjukkan rendahnya “survival rate” dari perusahaan keluarga, dimana hanya 30% saja perusahaan keluarga di seluruh dunia yang mampu bertahan sampai generasi kedua. Dan salah satu faktor utama rendahnya survival rate itu tak lain terletak pada lemahnya perencanaan suksesi (succession planning) yang dilakukan.
Tiga Pilar
Selama beberapa tahun terakhir kebetulan kami membantu beberapa klien perusahaan keluarga dalam melakukan transformasi dan mengimplementasi strategi. Selama membantu mereka, begitu banyak pelajaran dan perspektif yang kami peroleh yang barangkali tak akan kami temukan di buku teks manajemen manapun. Yang paling menarik dan agak mengejutkan kami adalah kenyataan bahwa ternyata pembenahan dan transformasi perusahaan macam ini tak bisa hanya dilakukan dari aspek teknis bisnisnya saja: perombakan strategi, restrukturisasi organisasi, pembaruan budaya perusahaan, penajaman visi-misi, penerapan tool-tool manajemen canggih mulai dari Balance Scorecard hingga Six Sigma.
Kami mengalami bahwa, secanggih apapun strategi yang kami hasilkan, setajam apapun visi yang mampu kami bikin, sesolid apapun konsep organisasi yang kami rancang, itu semua tak ada artinya kalau kita tak menyentuh bagian yang sangat esensial yang memang menjadi ciri tipikal perusahaan keluarga. Kesimpulan kami: inilah rupanya kesalahan fatal yang dihadapi oleh umumnya konsultan ketika menghadapi perusahaan keluarga. Mereka berpikir bahwa mahluk yang bernama perusahaan keluarga ini sama dan sebangun dengan perusahaan-perusahaan pada umumya. Mereka berpikir kalau aspek-aspek teknis di atas bisa dibenahi, maka secara otomatis semuanya akan beres. Yang kami temui tidaklah sesederhana itu.
Setiap perusahaan keluarga selalu memiliki tiga area pengelolaan yang saling terkait, tergantung satu sama lain, dan ketiganya sama pentingnya. Kami menggambarkan tiga aspek pengelolaan ini layaknya tiga kaki yang menopang berdirinya sebuah perusahaan keluarga. Kaki ini ketiga-tiganya harus ada, karena kalau salah satu saja buntung maka jalannya perusahaan jadi pincang nggak keruan. Tiga kaki ini adalah, pertama, pengelolaan bisnis (business management); kedua, pengelolaan keluarga (family management), dan terakhir, pengelolaan kepemilikan (ownership management).
Yang pertama menyangkut pengelolaan teknis bisnis perusahaan—menjalankan strategi, mengimplementasi visi-misi, membangun disain organisasi, dan sebagainya. Area ini generik sifatnya, artinya akan kita temui di jenis perusahaan apapun, apakah itu perusahaan keluarga ataupun bukan. Aspek ini penting namun seperti kami katakan di depan, menjadi loyo begitu dua aspek yang lain terabaikan.
Yang kedua menyangkut tetek-bengek pengelolaan keluarga yang dalam hal ini merupakan salah satu stakeholder utama perusahaan mengingat posisinya sebagai pemilik. Berbagai isu yang menyangkut pengelolaan keluarga ini sangat beragam dan luas cakupannya: mulai dari pembagian “kekuasaan” di antara anggota keluarga pemilik; menentukan anggota keluarga yang akan duduk di dalam manajemen; membangun trust dan family bond; mengelola berbagai kepentingan yang bermain di antara keluarga yang terlibat di dalam perusahaan; menentukan garis besar kebijakan keluarga berkaitan dengan arah ke depan perusahaan; menyatukan visi keluarga, mengelola konflik antar keluarga; sampai dengan merencanakan suksesi dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Sementara yang ketiga menyangkut pengelolaan kepemilikan saham perusahaan. Isu yang terkait dengan kepemilikan inipun memiliki cakupan yang amat luas dan sangat stratejik bagi masa depan perusahaan. Isu tersebut mulai dari perumusan struktur dan distribusi kepemilikan antar keluarga yang terlibat; kapitalisasi modal; cakupan dan mekanisme kontrol keluarga di dalam perusahaan; kebijakan untuk menarik modal dari luar keluarga atau mempertahankan dominasi kepemilikan keluarga, hingga penciptaan mekanisme penggalangan modal di lingkungan keluarga untuk menopang ekspansi dan pertumbuhan perusahaan.
Formal dan Sistemik
Dua area terakhir yang kami uraikan di atas adalah aspek yang kami katakan tipikal perusahaan keluarga, yang justru sangat esensial, namun celakanya seringkali luput dari perhatian para praktisi bisnis keluarga. Mereka menganggap bahwa penglolaan keluarga dan kepemilikan ini bisa dilakukan secara asal-asalan, informal, dan seperlunya saja. Padahal dua aspek ini juga butuh pengelolaan yang sama seriusnya dengan pengelolaan bisnis. Artinya, pengelolaan dua aspek terakhir ini perlu juga dilakukan melalui sebuah perencanaan yang formal dan sistemik.
Pengelolaan keluarga dan kepemilikan ini sederhana dan gampang, namun coba anda bayangkan betapa kompleksnya kalau kita dihadapkan dengan sebuah perusahaan keluarga yang sudah berumur lima atau lebih generasi dimana di dalamnya terlibat ratusan keluarga dengan ratusan kepentingan yang berbeda-beda, dengan struktur kepemilikan yang ruwet. Sebuah perusahaan keluarga yang awalnya hanya mencakup satu keluarga dengan berkembangnya waktu kemudian menjadi jaringan dari begitu banyak keluarga sebagai akibat dari perkawinan dan berkembangnya keturunan.
Pesan yang kita tangkap dari uraian di atas sederhana, bahwa kalau kita mampu mengelola perusahaan keluarga ini secara semestinya maka ia akan menjadi kekuatan yang maha hebat. Pengelolaan secara semestinya ini tak hanya menyangkut bisnisnya saja tapi yang justru penting adalah pengelolaan keluarga dan kepemilikan seperti kami urai di depan. Untuk mencapai keunggulan bersaing yang maha kuat, sebuah perusahaan keluarga haruslah berdiri kokoh tak hanya di satu kaki saja, tapi harus di tiga kaki sekaligus. Dengan tiga kaki inilah perusahaan-perusahaan keluarga seperti Levi’s, Ford, Wal Mart, McGraw-Hill, Harley-Davidson, mampu konsisten mendominasi pasar, tahan terhadap perubahan, dan sustainable tak hanya puluhan tahun bahkan sampai ratusan tahun.***
3 comments
slm..
sy mw nanya..
bagaiman membuat keputusan mengenai perpindahan kepemilikan dari bisnis keluarga dari satu generasi ke yang lainnya,berapa banyak penekanan yang harus ditempatkan didalam hukum pajak estat dan kepentingan lain yang berada di luar keluarga??
thanks
wah mohon maaf mbak Ika, kalau menyangkut aspek legal n pajak mungkin saya kurang begitu paham tuh… 🙂
bagaimana model perusahaan keluarga memberikan perusahaannya kepada generasi penerusnya?