* Berikut ini artikel saya di Majalah Warta Ekonomi Oktober 2003. Di sini saya berpendapta bahwa CSR seharusnya tak hanya menjadi “aksi buang duit” tapi harus ditempatkan di jantung stratei perusahaan.
Dalam sebuah acara Indonesia Marketing Association (IMA) di Jawa Timur beberapa waktu lalu, saya bersama Pak Junardy, Ketua Umum IMA Pusat sekaligus Komisaris Bentoel menyempatkan diri untuk menonton pertandingan sepak bola Arema Malang melawan PSIS Semarang di stadion Gajayana Malang. Di sela-sela menikmati tontonan ini, kebetulan kami banyak ngobrol tentang bagaimana ia mengelola klub kebanggaan arek Malang ini dan apa arti pentingnya bagi daya saing Bentoel. Satu hal yang menarik perhatian saya adalah totalitas dan keseriusannya dalam menempatkan upaya-upaya corporate responsibility semacam ini di pusat kebijakan stratejik Bentoel. Karena stratejiknya, kegiatan ini kemudian tak hanya menjadi program teknis dari divisi public relation, tapi langsung dalam kendali CEO.
Di samping mengelola Arema, selama ini Bentoel juga terlibat dalam berbagai upaya community development di kota yang menjadi headquarter-nya yaitu Malang. Lingkup kegiatannya sangat luas mulai dari membantu pembangunan infrastruktur, layanan poliklinik, mengelola obyek wisata publik, mendukung program-program Pemda, dan lain-lain. Dan menariknya, Bentoel melihat masyarakat Malang dan Jawa Timur secara luas sebagai salah satu stakeholder utamanya. Karena merupakan stakeholder utama, Bentoel kata Pak Jun, punya tanggung-jawab penuh untuk memuaskannya melalui berbagai kegiatan community development tersebut.
Cerita Pak Junardy mengingatkan saya pada satu tulisan di Harvard Business Review yang memperoleh McKinsey Award, ditulis oleh Michael Porter akhir tahun lalu. Tulisan ini menarik karena mencoba mengulas kaitan antara kegiatan–kegiatan filantropi dan corporate responsibility dengan keunggulan bersaing perusahaan. Menarik sekali kesimpulan Porter, bahwa kegiatan filantropi seperti yang dilakukan Bentoel di atas merupakan sumber keunggulan bersaing yang sangat dan semakin penting bagi perusahaan.
Apa kira-kira kaitannya? Kata Porter, kegiatan-kegiatan filantropi tersebut bisa memperbaiki apa yang disebutnya, ”competitive context”, yaitu kualitas dari lingkungan bisnis dimana perusahaan beroperasi. ”Competitive context has always been important to strategy,” kata Porter. Argumen Porter inilah yang memungkinkan adanya alignment antara manfaat sosial dan bisnis dari kegiatan tersebut, yang ujung-ujungnya akan memperbaiki prospek jangka panjang perusahaan. Karena itu, persis seperti dibilang Pak Jun, Porter melihat bahwa kegiatan filantropi seharusnya ditempatkan di jantung kebijakan stratejik perusahaan dengan tujuan yang terfokus pada upaya untuk memperbaiki competitive context perusahaan.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana agar kegiatan filantropi bisa memperbaiki competitive context? Caranya adalah mencari konvergensi antara manfaat sosial dan ekonomi dari sebuah kegiatan filantropi. Tujuan sosial dan ekonomis seharusnya, kata Porter, ”not inherently conflicting” tapi justru ”integrally connecting.” Dengan melihat secara jeli elemen-elemen competitive context, perusahaan akan dapat mencari ”area of overlap” antara manfaat sosial dan ekonomis dari sebuah kegiatan filantropi. Dari sini perusahaan akan bisa lebih fokus dalam mensinergikan kedua manfaat di atas. Intinya, kegiatan filantropi bukanlah sekedar buang duit, tapi punya fungsi strategis dalam mendongkrak keunggulan bersaing
Dalam kasus Bentoel di atas, terlihat jelas bahwa upaya-upaya corporate responsibility perusahaan ini diarahkan fokus untuk memperoleh dukungan pemerintah dan masyarakat Malang dan Jawa Timur yang menjadi salah stakeholder utamanya. Memang betul kegiatan filantropi Bentoel mendatangkan manfaat sosial yang luas, namun perlu diingat manfaat ekonomis-komersialnya juga tidak sedikit. Manfaat ekonomis ini mulai dari dukungan pemerintah daerah dan masyarakat terhadap aktivitas bisnis perusahaan ini; meningkatnya competitiveness akibat dari tersedianya buruh yang mumpuni; mudahnya melakukan partnership terutama dengan para suplier lokal; labor relationship yang harmonis tanpa gejolak; di samping tentu corporate image yang bagus sebagai perusahaan yang tak hanya ”economic animal” tapi perusahaan yang ”punya hati”.
Menutup tulisan ini saya ingin mengutip sebuah temuan menarik dari James Collins dan Jerry Poras dalam buku legendarisnya, Built to Last. Dari risetnya terhadap perusahaan-perusahaan yang mampu bertahan dan sukses selama puluhan bahkan ratusan tahun seperti GE, IBM, Disney, Coca Cola, Merck, Boeing, dan lain-lain, dua pakar ini menemukan bahwa motivasi utama yang melandasi keseluruhan operasi bisnis perusahaan-perusahaan ini ternyata bukanlah melulu ekonomis-komersial.
Mereka menemukan bahwa perusahaan-perusahaan top tersebut justru jarang yang menempatkan ”maximising shareholder wealth” atau ”maximizing profit” sebagai tujuan paripurna perusahaan. Bagi mereka, secara membabi-buta menjadi mesin uang bukanlah tujuan utama perusahaan. Mereka justru menempatkan tujuan ideologis seperti ”We bring good things to life” (GE) atau “Preserving and improving human life” (Merck) dalam corporate mission mereka. Perusahaan yang sangat profitable ini bukanlah “economic animal” yang membabi-buta, tapi justru perusahaan yang, meminjam Aa Gym, “punya qolbu.”***