Di tahun 1990an permainan anak-anak ini begitu populer:
- Layang-layang
- Petak umpet
- Yoyo dan gasing
- Gobak sodor
- Congklak
- Bola bekel
- Kelereng
- Ketepel
- Balap karung
- Monopoli
Itu adalah permainan yang jadul. Anda pasti juga masih ingat mainan-mainan di era 1990an yang lebih modern berikut ini:
- Boneka Berbie
- Tamagochi
- Nintendo Game Boy
- Lego
Berbagai jenis mainan itu kini seperti lenyap ditelan bumi. Berbagai permainan fisik tersebut lenyap karena anak-anak zaman now (putra dan putri kaum milenial) mulai menemukan medium baru yang lebih praktis, convenient, dan tak perlu bercapek-capek ria untuk memainkannya yaitu: medium digital.
Ketimbang gobak sodor, putra dan putri kaum milenial lebih menyukai Angry Birds di smartphone. Dari pada bermain boneka Berbie mereka lebih suka games Toca Hair Salon; daripada bermain layang-layang di lapangan yang panas oleh terik matahari mereka lebih suka bermain Tayo’s Garage Game. Mereka lebih menyukai digital games and toys.
Survei dunia oleh Common Sense Media (2017) menggambarkan dengan jelas pergeseran ini. Menurut survei tersebut anak-anak usia 8 tahun ke bawah menghabiskan waktu rata-rata 49 menit sehari di depan layar smartphone/tablet (untuk mobile gaming), naik siknifikan dari hanya 5 menit pada tahun 2011.
Millennials have killed physical games. They’ve killed physical toys.
Kenapa putra-putri para milenial tak lagi mau main layang-layang atau main kelereng? Karena memang emak-emak mereka alias emak-emak zaman now alias emak-emak milenial mengarahkan mereka ke mainan digital melalui apps di smartphone.
Alasannya ada beberapa:
Pertama karena digital games dan digital toys lebih keren, lebih techy, dan lebih kekinian. Main kelereng itu jadul. Main Angry Birds itu kekinian dan keren. Dan kemudian emak-emak milenial membanggakan anaknya yang piawai memainkan Cut the Rope, Peppa Pig, atau Endless Alphabet ke emak-emak milenial yang lain.
Kedua karena emak-emak milenial sibuknya minta ampun. Begitu anak balitanya menangis cara paling gampang, praktis, dan efisien adalah dengan memberinya tablet dengan beragam games apps di dalamnya. Bisa dijamin si balita berhenti menangis dan sibuk berjam-jam bercengkrama dengan layar tablet.
Coba bandingkan dengan kalau si anak dilepas ke halaman atau di lapangan bersama teman-temannya untuk bermain layang-layang atau petak umpet, pasti mengawasinya akan jauh lebih repot.
Memberikan anak-anak beragam games melalui tablet di rumah akan lebih aman dan lebih tak berisiko terkena berbagai musibah dan kejadian yang tak diinginkan. Digital games/toys adalah solusi bagi si emak karena dengan begitu ia bisa multi-tasking mengurus anak sekaligus melakukan pekerjaan yang lain.
Namun apakah itu juga solusi bagi si anak? Tak selalu.
Ketika sejak lahir putra-putri milenial sudah tercerabut dari lingkungan sosialnya karena tiap saat tersedot ke layar gadget, maka kemampuan social skill mereka akan kian defisit. Mereka menjadi gagap berkehidupan sosial.
Fenomena makin tak populernya permainan dan mainan fisik (hardware toys) di kalangan anak-anak milenial bukanlah monopoli Indonesia, tapi sudah menjadi tren dunia. Dua tahun lalu Toys “R” Us bangkrut dan menurut The Atlantic salah satu biang penyebabnya adalah milenial.
Tak hanya itu penjualan dari the big three produsen mainan anak dunia Mattel, Lego, dan Hasbro juga turun sistematis untuk brand-brand hebat seperti boneka Berbie, American Girl, atau merchandise Star Wars.
Foto: Karawanginfo.com