Musim Pemilu seperti sekarang ini banyak artis yang pindah profesi menjadi politisi. Bukan kebetulan kalau kebanyakan artis ini adalah mereka yang sudah surut popularitasnya. Daripada nggak kepakai lagi di dunia keartisan, lebih baik pindah ke Parpol yang lagi hot-hot nya saat ini dan menjanjikan masa depan yang lebih baik.
Aksi kutu loncat para artis ini ditangkap dengan sangat taktis oleh Parpol. Ya, karena dengan posisinya sebagai selebritas dan public figure, mereka menjadi mesin pengais suara yang sangat powerful. Inilah cara instan Parpol meraup kursi sebanyak mungkin di DPR.
Minggu lalu beberapa media mengabarkan, kini Parpol begitu agresif menggaet artis untuk menjadi mesin pemenangan kursi DPR.
Nasdem misalnya ditengarai yang paling agresif dengan menggaet 26 artis mulai dari Olla Ramlan, Kristina, Conny Dio, Lucky Hakim, hingga Nafa Urbach. Sementara itu PDIP menggaet 13 artis top mulai dari Rieke Diah Pitaloka, Nico Siahaan, Krisdayanti, Ian Kasela, Angel Karamoy, hingga Tina Toon.
Pertanyaannya, efektifkah artis menjadi “celebrity endorser” bagi Parpol untuk memengaruhi massa pemilih?
Yes!
Kehadiran artis di dalam sebuah Parpol menghasilkan berbagai dampak positif bagi brand equity Parpol yang bersangkutan, baik di level awareness (dikenal), credibility (menciptakan kredibilitas) maupun loyalty/advocacy (membangun loyalitas dan koneksi emosional) dengan para pemilih.
Pertama artis bisa menciptakan perhatian (create attention) dan memiliki daya tarik tersendiri bagi massa pemilih. Parpol yang biasa-biasa saja dan tak punya banyak capaian berarti misalnya, menjadi dikenal masyarakat ketika di dalamnya ada artis yang tersohor. Kehadiran artis menjadikan Parpol gampang dikenal dan diingat oleh massa pemilih.
Baca juga: “Caleg Artis dan Branding Partai”
Ketika si artis memiliki citra positif di mata masyarakat, misalnya memiliki kemampuan di bidangnya yang unggul, maka kehadiran artis di Parpol akan meningkatkan kredibilitas dan kualitas dari Parpol yang di-endorse.
Dan jangan lupa, jika si artis memiliki “emotional connection” dan digandrungi oleh jutaan penggemar (followers), dan penggemar tersebut merupakan pemilih, maka besar kemungkinan pilihan mereka saat pemilu akan jatuh kepada Parpol tempat si artis bernaung. Emotional connection ini menciptakan loyalitas dan intensi untuk membela (advocacy)
No!
Namun jangan salah, kehadiran seorang artis di dalam Parpol juga bisa berdampak buruk ke Parpol tempat ia bernaung. Ketika si artis tidak memiliki cukup diferensiasi (kompetensi atau talenta unggul) dan citra artis tersebut kurang begitu bagus maka ia bukannya menambah kredibilitas tapi justru memperburuknya. Artinya si artis bukanlah menjadi asset, tapi liability bagi Parpol.
Ketika seorang artis yang dikenal suka bikin sensasi dan gosip masuk Parpol, maka identitas dan reputasi Parpol tersebut akan diidentikan dengan identitas dan reputasi si artis yang kurang sedap.
Ketika seorang artis yang selalu bermasalah (misalnya hobi kawin-cerai) memiliki dan reputasi buruk di mata masyarakat, maka citra buruk itu akan berimbas ke citra Parpol.
Kondisinya akan menjadi runyam ketika karena suatu peristiwa tertentu reputasi si artis jatuh. Misalnya ketika si artis terkena kasus narkoba atau kriminal, maka reputasi yang hancur itu akan direlasikan ke Parpol yang ia masuki.
Karena itu memasukan artis ke dalam eksponen Parpol adalah sebuah pilihan yang berisiko (risky) dan rapuh (fragile) karena begitu si artis terkena skandal yang menghancurkan reputasinya, maka serta-merta reputasi Parpol juga akan berada di ujung tanduk.
Tips!
So, bagaimana sebaiknya Parpol menggaet artis agar betul-betul efektif menjadi mesin penggaet suara (jangka pendek) sekaligus juga mendongkrak reputasi Parpol (jangka panjang) secara sustainable. Saya punya tiga tips.
Pertama, Parpol harus secara cermat menyelaraskan positioning dan identitas merek (brand identity) Parpol dengan positioning dan identitas merek si artis. Jadi tidak ngasal si artis populer dan memiliki followers jutaan, tapi Parpol juga harus mempertimbangan apakah positioning dan identitas sesuai dengan Parpol atau tidak.
Ketika Parpol mengidentikan diri sebagai Parpol yang peduli kepada rakyat kecil misalnya, maka artis yang digaet haruslah artis yang identik dengan rakyat kecil dan memiliki kepedulian pada rakyat kecil. Ketika Parpol menarget anak muda milenial, maka pilihan artis yang diambil adalah mereka yang identik dengan kaum milenial.
Kedua, sebelum memutuskan merekrut seorang artis untuk nyaleg, Parpol harus melakukan penelitian secara mendalam mengenai reputasi masa lalu dan track record sang artis. Tak hanya masa lalu, Parpol juga harus melakukan “forecasting” mengenai prospek reputasinya di masa depan.
Ingat, track record masa lalu yang cemerlang tidak menjamin reputasi si artis di masa depan. Untuk melakukannya, kajian mendalam terhadap karakter dan kompetensi si artis menjadi sangat menentukan.
Kajian ini sangat krusial, karena seperti saya katakan di depan memasukan artis ke dalam Parpol sangat berisiko dan rapuh karena setiap polah tingkah negatif artis akan disorot masyarakat dan bisa menimbulkan dampak disruptif ke Parpol.
Ketiga, dari pengalaman saya, kemampuan memengaruhi (influncing power) para artis ke para penggemar/followers yang siknifikan bukanlah dari sisi rasional, tapi sisi emosional. Jadi emotional connection itu lebih powerful dibanding rational arguments.
So, sentuhlah massa pemilih dengan cerita-cerita (brand story) sang artis yang menyentuh dan menimbulkan simpati yang mendalam.
Sumber foto: tribunnews.com
1 comment
[…] Baca juga: “Artis Nyaleg” […]