Saya bungah ketika beberapa waktu lalu Pak Arief Yahya, sebelumnya direktur utama Telkom, diangkat Pak Jokowi sebagai Menteri Pariwisata. Kenapa? Karena saya kenal lama belia dan tahu betul dia adalah seorang marketer tulen. Saya kira kementrian ini butuh sosok yang piawai mengembangkan produk destinasi wisata, mengintegrasikan segenap stakeholders pariwisata (agen perjalanan, perhotelan, penerbangan, pengelola destinasi wisata, pelaku MICE, dsb) untuk memperkokoh daya saing, dan menciptakan kampanye branding pariwisata massif di seantero negeri. Dan Pak AY, demikian biasa dipanggil, cukup mumpuni untuk itu.
Khusus mengenai kampanye branding, kita merindukan sebuah kampanye branding massif yang melibatkan seluruh rakyat Indonesia seperti yang pernah digelar di era Orde Baru dengan kampanye “Visit Indonesia Year”. Di bawah nakhoda pak Joop Ave, kampanye branding ini terbukti cukup sukses menggerakan kesadaran seluruh elemen bangsa untuk ikut terlibat memasarkan pariwisata Nusantara dan ampuh mendatangkan turis ke Tanah Air. Setelah itu praktis kampanye branding pariwisata kita mlempem, tenggelam oleh kampanye branding negara tetangga seperti Singapura dengan “Uniquelly Singapore” atau Malaysia dengan “Truly Asia”.
Saya berharap di bawah nakhoda baru, pariwisata kita menggeliat kembali mengejar ketertinggalan negara tetangga Singapura-Malaysia-Thailand yang agresif meraup devisa dari sektor yang sangat seksi ini. Saya melihat ada empat destinasi wisata yang bisa menjadi pilar daya saing pariwisata di pasar dunia. Keempat pilar tersebut adalah: wisata budaya (culture), wisata maritim (maritime/archipelago), Meeting, Incentive, Conference, Exhibition (MICE), dan wisata syariah.
Budaya, Tetap Menjanjikan
Wisata budaya adalah keunikan Indonesia yang tidak ada tandingannya dibanding negara manapun di muka bumi ini. Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok etnik (atau 1.340 suku bangsa) dan 546 bahasa daerah. Dengan kekayaan budaya yang luar biasa, Indonesia adalah salah satu negara paling eksotis di dunia. Hebatnya lagi, setiap konten etnik tersebut menyimpan brand story yang luar biasa. Kalau brand story itu dikemas dan kemudian dipromosikan ke masyarakat dunia maka ia akan menjadi magnet penarik wisman (wisatawan mancanegara) yang luar biasa ampuhnya.
Destinasi wisata budaya paling berpotensi mengalami penuaan sehingga kehilangan keeksotisannya. Karena itu challenge terbesar dari destinasi wisata ini adalah upaya revitalisasi produk agar relevan dan bisa tetap menarik bagi wisatawan asing. Beberapa upaya dilakukan untuk merevitalisasinya seperti penguatan brand story atau brand heritage, pemanfaatan teknologi canggih untuk pertunjukkan (misalnya dengan pemanfaatan multimedia), atau dengan menciptakan ataraksi-atraksi budaya yang experiential. Cirque du Soleil adalah contoh pas bagaimana pemanfaatan teknologi, multimedia, dan atraksi yang experiential telah mampu merevitalisasi pertunjukkan sirkus yang jadul menjadi sebuah tontonan yang cool, modern, dan luar biasa menarik.
Maritim, The Rising Star
Tak hanya budaya dan bahasa, Indonesia juga memiliki kepulauan lebih dari 13.000, suatu jumlah yang luar biasa dan tak ada tandingannya di dunia. Dengan panjang pantai mencapai 99.000 km, Indonesia menyimpan pantai-pantai indah yang yang tak kalah ampuh menjadi magnet penarik wisman. Potensi-potensi destinasi pantai itu kini mulai muncul dan pelan tapi pasti mulai dikenal dunia seperti Raja Ampat (Papua) yang begitu eksotik, pantai Takabonerate (Makassar) yang memiliki atol terbesar kedua di dunia, atau Wakatobi (Sulawesi Tenggara).
Saya menyebut wisata pantai dan kepulauan sebagai “the new rising star”, karena selama ini luput dari sentuhan promosi/pengemasan, namun kini di bawah pemerintahan Jokowi-JK mulai mendapatkan kegairahan baru. Tak hanya pemerintahan baru, seluruh pelaku industri pariwisata kita kini sedang ancang-ancang memanfaatkan momentum bonanza wisata maritim. Hanya saja challenges untuk mengembangkan destinasi pariwisata ini bukannya kecil. Harus diakui, pantai-pantai indah yang menjadi magnet bagi wisatawan asing ini banyak terdapat di kepulauan-kepulauan Indonesia bagian timur yang masih perawan dan minim infrastruktur baik jalan, bandara, hotel, dan sebagainya. Jadi, infrastructure bottleneck akan menjadi penghalang terbesar, kita butuh waktu untuk mengembangkannya.
MICE Mencorong
Pilar ketiga adalah wisata MICE. Blessing in disguise, di tengah lesunya perekonomian di Eropa dan Amerika, pasar MICE kini mulai bergeser ke emerging countries seperti Indonesia. Untuk jumlah pertemuan, hingga tahun 2010 lalu pasar MICE sebagian besar memang masih dikuasai negara-negara maju lebih dari separuhnya. Namun beberapa tahun terakhir pasarnya mulai bergeser ke emerging countries. Selama kurun waktu 2000-2010 misalnya, menurut ICCA pasar MICE di Cina tumbuh 15%, Brasil (12%), UEA (32%) dan Indonesia (10%), sementara negara-negara Eropa hanya tumbuh 5-6% dan Amerika 2,5%.
Singapura, Malaysia, dan Thailand masih memimpin industri MICE di kawasan Asia Tenggara. Dari sisi jumlah pertemuan misalnya, pada tahun 2010 lalu jumlah pertemuan di Indonesia hanya setengah kalau dibandingkan Singapura. Seiring dengan mantapnya pertumbuhan ekonomi Indonesia dan siknifikannya jumlah penduduk kelas menengah sejak 3 tahun terakhir, saya yakin Indonesia akan makin memantapkan diri menjadi primadona MICE di Asia. Apalagi jika hal ini diikuti membaiknya country image dan country brand Indonesia karena berbagai faktor yang mendukung seperti: pasarnya yang besar, peringkat investasi (investment grade) yang terus membaik, kualitas infrastruktur, birokrasi yang kian efektif dan efisien, dan sebagainya.
Pusat Fashion Muslim Dunia
Pilar keempat adalah fesyen muslim. Saya konfiden mengatakan, Indonesia memiliki modal besar untuk menjadi menjadi pusat fesyen muslim dunia. Ditinjau dari sisi konsumen, negeri ini punya pasar yang besar karena kita memiliki populasi muslim terbesar di dunia mencapai 87% dari total penduduk Indonesia. Sementara dilihat dari sisi industrinya, kita menyaksikan gairah industri fesyen yang berkembang begitu mengagumkan. Pertama, maraknya bermunculan para desainer fesyen muslim yang melahirkan banyak produk inovatif, modern, dan stylish. Kedua, tumbuh suburnya brand busana muslim seiring maraknya pasar busana muslim di Tanah Air. Ketiga, menjamurnya berbagai acara hijab fashion show ataupun pameran produk desain fesyen di seluruh penjuru Tanah Air.
Visi mewujudkan Indonesia sebagai pusat fesyen muslim dunia menuntut adanya event-even fesyen berskala dunia dengan target audiens pelaku industri fesyen muslim dari seluruh penjuru dunia. Karena itu setiap pelaku industri ini harus bangkit dan mengambil peran aktif untuk mewujudkan visi besar ini. Kita harus mulai secara bertahap dan sistematis mulai membangun place branding Indonesia sebagai kiblat fesyen dunia. Dengan gerakan “Indonesia Inc” dari seluruh stakeholders yang terkait dengan industri ini kita yakin bisa mewujudkannya lima atau sepuluh tahun ke depan.