Jumat malam (5/7) lalu di markas Obrolan Langsat (#Obsat), Jl. Langsat, Kebayoran Baru, saya kumpul bareng teman-teman Twitter ngobrol ngalor-ngidul berbagi dan bertukar ide ditemani “sego kucing” (menu favorit angkringan khas dusun Mbayat, Klaten) dan teh jahe panas kebul-kebul. Terlalu high-end kalau disebut forum diskusi; mungkin lebih tepat disebut “cakrukan” mengacu pada tradisi kongko-kongko yang dulu waktu mahasiswa sering saya lakukan di warung angkringan pojok kampus UGM, Bulaksumur.
Di situ komplit berkumpul mulai dari entrepreneur, penulis buku, wartawan, aktivis dan pemimpin komunitas (movement leader), konsultan, pakar HAKI (hak atas kekayaan intelektual), sampai selebritas stand-up comedy. Seru banget kami ngobrolin brand lokal. Kami ngobrol tentang brand lokal yang kian terhimpit oleh ekspansi brand global. Kami seru sharing mengenai beberapa local cool brand (seperti: Kopi Kultur di Bali atau Sour Sally yang banyak dikira sebagai brand asing) yang membanggakan. Tak ketinggalan kami membedah kampanye word of mouth batik dan fenomena “boom distro” tahun 2000-an.
Tapi di atas semua obrolan tersebut, saya justru terusik oleh pertanyaan mendasar yang justru terkesan set-back ke belakang. Yaitu pertanyaaan: kenapa negeri ini butuh brand dan branding. Kenapa negeri ini perlu untuk sadar branding.
Nilai Tambah
Saya kemudian teringat istilah yang kini menjadi tantangan terbesar ekonomi kita yaitu: “middle-income trap”. Ini adalah penyakit yang dialami negara-negara berpendapatan menengah (middle income countries) yang “terjebak di tengah” tidak bisa melaju lebih jauh menjadi negara maju. Tantangan bagi kita sekarang adalah bagaimana Indonesia bisa terus melaju untuk menjadi negara kaya (high-income countries) dalam waktu yang cepat, bukannya stuck in the middle. Menurut Bank Dunia negara yang masuk kelompok ini memiliki pendapatan perkapita di atas $12.600 pertahun).
Pertanyaannya, bagaimana kita bisa mencapainya? Dari sisi produksi, ini sangat tergantung pada kemampuan bangsa ini menghasilkan barang-barang bernilai tambah tinggi. Nah, dalam konteks membangun produk-produk bernilai tambah tinggi inilah brand dan branding menjadi sangat strategis. Bahkan berani saya katakan daya survival kita di kancah pasar global (yup, masyarakat ekonomi ASEAN 2015) ditentukan oleh brand dan branding ini.
Kenapa brand bisa menciptakan nilai tambah tinggi? Untuk menjelaskannya saya ambil contoh gampang kopi. Kopi yang tak benilai tambah mungkin dijajakan di warung-warung kopi perempatan gang dengan harga Rp.3000 satu cangkir. Tapi sebaliknya kopi yang dilabeli tulisan Starbuck’s dijual di mal-mal pusat kota seharga Rp.30.000 secangkir.
Kopi Biasa vs Starbuck’s
Apa yang membedakan secangkir kopi di ujung gang dengan kopi Starbuck’s di mal? Bedanya ada di brand dan branding. Kenapa Starbuck’s bisa laku demikian mahal, sampai sepuluh kali lipat dari kopi biasa? Karena Starbuck’s memiliki apa yang disebut ekuitas merek (brand equity). Ekuitas merek itu bukannya terbentuk dengan sendirinya tapi diperjuangkan habis-habisan melalui aktivitas yang disebut brand building.
Melalui brand building, Starbucks’s menambahkan seabrek manfaat (value & benefit) kepada kopi biasa, sehingga kopi tersebut benilai tambah tinggi dengan harga premium. Manfaat itu bisa berbentuk manfaat fungsional (functional benefit) berupa rasa kopi yang enak; manfaat emosional (emotional benefit) berupa ambien dan suasana gerai yang cool; atau manfaat pencitraan diri (self-expression benefit) berupa perasaan narsis saat si konsumen minum kopi di gerai Starbuck’s dan dilihat orang lain.
Tiga jenis manfaat yang diberikan itulah yang membuat harga Starbuck’s bisa sampai sepuluh kali lipat dari hari kopi biasa. Semua itu adalah hasil dari aktivitas yang disebut brand building. Ingat, brand building bukanlah sekedar menyangkut tulisan nama merek, citra logo, atau iklan, tapi keseluruhan manfaat yang diberikan produk kepada konsumen.
Sadar
Kalau branding bisa menjadi alat ampuh untuk menaikan nilai tambah produk kita (dan meloloskan kita dari middle-income trap) seperti ditunjukkan dalam kasus Starbuck’s, maka kemudian agenda besar mengemuka di depan mata. Kalau begitu why not seluruh kekayaan komoditas, produk kreatif atau keragaman kuliner yang kita punya di-branding layaknya Starbuck’s?
Bayangkan, kalau kekayaan kopi yang kita punya di-branding, teh di-branding, temulawak di-branding, buah nanas di-branding, buah durian di-branding, bengkoang di-branding, sayur bayam di-branding, ukir Jepara di-branding, batik di-branding, baju muslim di-branding, songket di-branding, yogurt di-branding (seperti Sour Sally), rendang di-branding, nasi pecel di-branding, soto di-branding. Maka, Indonesia akan punya khasanah dan kekayaan brand yang luar biasa, dan dengan begitu kita tak resah oleh terbentuknya masyarakat ekokomi ASEAN 2015 dan pasar bebas.
Kalau sampai muncul kesadaran dan kemampuan masyarakat kita untuk mem-branding berbagai potensi produk yang kita punya, maka pasti pengaruhnya akan luar biasa bagi penciptaan kemakmuran negeri ini. Saya melihat ada tiga potensi lokal unik kita punyai dan pas menjadi obyek branding. Pertama adalah keragaman komoditi agrikultur mulai dari kopi, teh, beras, jagung, apel, nanas, durian, juga tentu kekayaan laut Nusantara. Kedua produk kreatif berbasis kelokalan Indonesia seperti batik, baju muslim, ukir Jepara, kerajinan rotan, patung Bali, dsb. Ketiga kekayaan kuliner di seantero Nusantara mulai dari rendang, gudeg, empek-empek, rawon, hingga kerak telur Betawi.
Merakyat
Kalau masyarakat kita sudah sadar branding dan seluruh potensi komoditas, produk kreatif, dan kekayaan kuliner di berbagai pelosok daerah di Nusantara di-branding, maka itu akan menjadi basis kekuatan ekonomi Indonesia yang luar biasa. Seperti saya uraikan di depan, di sini brand dan branding akan betul-betul menjadi pilar daya saing kita di pasar regional/global.
Menjadi lebih indah lagi karena komoditas, produk kreatif, dan kuliner tersebut adalah produk-produk merakyat yang bisa diusahakan oleh rakyat kebanyakan dan melibatkan tenaga kerja yang jumlahnya sangat besar. Artinya, pengusahaan produk tersebut bisa dilakukan oleh industri yang merakyat, bukan di menara gading (seperti industri pesawat atau mobil yang hightech) sehingga kemanfaatannya bisa dirasakan oleh rakyat kebanyakan.
Ingat, menciptakan produk bernilai tambah tinggi dan berdaya saing global tak mesti harus memproduksi pesawat atau mobil canggih. Kopi kalau di-branding seperti Starbuck’s tak kalah nilai tambahnya dibanding Boeing. Ayam goreng atau burger kalau di-branding layaknya McDonald’s tak kalah dari Toyota.
4 comments
Branding tetap butuh waktu untuk bangun reputasi, kepercayaan dan konsistensi kan ya Pak? Nah, apa mungkin kelemahan kita di situ ya Pak? Kurang sabar dan tekun membangun produknya sehingga layak ‘dibranding’, begitu Pak?
menumbuhkan semangat sadar branding ini menjadi tugas pengusaha/ pebisnis lokal atau pemerintah?
Masalahnya siapa yg mau memulai dan menargetkan go regional asean 5 th kedepan n sdh punya cabang di LA,NY 7 th dr sekarang
Butuh banget sadar branding itu. Yang butuh Branding bisa menghubungi perusahaan Kami PT Label Branding, untuk info lebih lanjut bisa menghubungi saya Meta di 085716154288