Twitter: @yuswohady
Saat saya menulis CROWD: Marketing Becomes Horizontal tiga tahun lalu, saya tak pernah membayangkan bahwa “kekuatan horizontal” (“horizontal power”) bisa memicu munculnya kekuatan politik dahsyat yang sekarang terjadi di Mesir. Memang dalam buku tersebut saya sudah mengangkat kasus kesuksesan Obama dalam menggerakkan kekuatan horizontal massa pemilihnya dengan memanfaatkan media sosial untuk memenangkan pemilu AS. Namun saat itu sama sekali belum terbayangkan bahwa kekuatan massif media sosial bisa menjadi katalis yang demikian mudah dan cepat untuk menggulingkan rezim-rezim otoriter di Tunisia atau Mesir (yang bakal disusul secara berantai di negara-negara Afrika Utara lain: Yaman, Siria, atau Yordania).
Dalam buku tersebut saya mengemukakan sebuah formula yang menjadi esensi munculnya kekuatan horizontal. Rumus tersebut berbunyi:
E = wMC2
E dalam rumus tersebut saya sebut sebagai “energi marketing horizontal yang maha dahsyat” sedahsyat bom nuklir. Kemudian wM adalah = word of mouth/mouse, yang sering disebut WOM atau buzz, yaitu komunikasi dari mulut ke mulut baik secara fisik maupun berbasis internet. Sementara C2 atau (C kuadrat: C x C) adalah Komunitas: C pertama adalah “offline Community”; dan C kedua adalah “online Community”. Apa esensi dari komunitas? Esensinya adalah orang yang berkumpul karena adanya tujuan/keinginan yang sama (shared interest) dan antar orang yang berkumpul tersebut terkoneksi (“connected”) satu sama lain dalam sebuah jejaring (network).
Melalui formula tersebut saya ingin mengatakan bahwa energi sedahsyat bom nuklir (itu sebabnya saya mengadopsi rumusan Einstein) akan kita dapatkan jika kita mampu menggabung dan menyinergikan dua elemen wM dan C tersebut. Dalam konteks dunia pemasaran, waktu itu saya katakan: kalau Anda mampu menyebarkan WOM mengenai produk dan layanan Anda, dan WOM itu ”dikembangbiakkan” di dalam habitat komunitas (baik offline maupun online), maka pasti Anda akan mampu menciptakan energi marketing yang demikian dahsyat!
Revolusi Horizontal
Lalu bagaimana formula di atas bisa diaplikasikan dalam konteks revolusi politik yang sekarang berlangsung di Mesir? Prinsipnya sama persis. Kalau dalam konteks marketing “konten” yang sebarkan melalui WOM dan kemudian dikembangbiakkan di dalam komunitas adalah “brand” atau pesan-pesan pemasaran, dalam kasus revolusi Mesir, “konten” tersebut adalah ide dan keinginan mengenai perubahan, ide dan keinginan bahwa Hosni Mubarak harus lengser setelah 30 tahun lebih berkuasa, atau ide dan keinginan mengenai pembentukan negara yang lebih beradab dan bebas teror.
Dalam perspektif formula E = wMC2, momentum tercetusnya revolusi di Mesir minggu lalu sesungguhnya terjadi karena 3 elemen yang saya sebut di atas: “konten”, wM, dan C2. Pertama adalah “konten” yaitu ide mengenai perubahan yang dipicu oleh pembakaran diri pemuda Tunisia yang memicu amuk massa dan kemudian berujung pada penggulingan presiden Ben Ali. Ide perubahan itu menginspirasi sebagian rakyat Mesir, terutama kaum muda dan kalangan kelas menengah kota (mereka cukup mapan secara ekonomi, berpendidikan, memiliki akses informasi global, memiliki kesadaran politik tinggi), yang merasakan kondisi serupa (ketidakadilan, korupsi, teror, keserakahan kekuasaan) terjadi di negara mereka.
Apa yang terjadi di Tunisia sesungguhnya hanyalah “percikan api kecil” yang kemudian menyulut kesadaran mereka mengenai perlunya perubahan. “They see torture. They see corruption. They see rigged elections. What can they do? Of course: The only tool in their hands is their fingertips. And the keyboard,” ujar Said Sadek, sosiolog terkemuka Mesir saat diwawancara media internasional. Kaum muda dan kalangan kelas menengah kota ini menuangkan kepincangan sosial dan ide-ide perubahan melalui SMS, email, blog, status update di Facebook, atau ocehan di Twitter.
Dengan kekuatan kedua, yaitu wM atau word of mouth, cerita kepincangan sosial dan ide perubahan itu menyebar begitu massif menjangkau audiens dalam jumlah yang sangat besar (mencapai jutaan orang) dalam waktu yang sangat cepat (dalam ukuran jam, bahkan menit). Informasi mengenai kepincangan sosial dan ide perubahan ini mengalir demikian deras dari ponsel satu ke yang lain, blog satu ke yang lain, dari akun Facebook satu ke yang lain, dari akun Twitter satu ke yang lain, sehingga membentuk kesadaran kolektif (“collective awareness”) mengenai perlunya perubahan. Di Twitter misalnya, mereka menggunakan hastag #jan25, #Cairo, atau #Suez untuk mengalirkan WOM dan membentuk collective awareness akan perlunya perubahan.
Clay Sirky, pakar media sosial dari New York University, dalam tulisan di jurnal politik paling berpengaruh, Foregn Affairs bulan ini (Jan/Feb 2011), mengatakan bahwa media sosial memiliki kemampuan fenomenal dalam memicu gerakan politik karena mampu menciptakan dan mengembangkan “shared awareness” di kalangan anggota sebuah gerakan politik. “Shared awareness is the ability of each member of a group to not only understand the situation at hand but also understand that everyone else does, too. Social media increase shared awareness by propagating messages through social networks,” ujarnya.
“Mega-Community”
Begitu collective awareness dalam jumlah yang besar ini terbentuk maka proses pembentukan elemen ketiga C2 atau “komunitas” bakal tak akan terbendung lagi. Pembentukkan komunitas inilah sesungguhnya keunggulan utama yang dimiliki sosial media, yang tak dimiliki oleh media broadcast konvensional (TV, radio, media cetak). Seperti saya uraikan di depan, komunitas terbentuk jika ada dua syarat yaitu adanya tujuan dan kemauan bersama (shared interest) dan jika antar anggota komunitas terkoneksi satu sama lain. Di dalam komunitas inilah ide perubahan mengalami proses “inkubasi” yang akhirnya meletus menjadi gerakan turun ke jalan.
Saya ingin mengatakan bahwa seluruh warga Mesir yang melebur dalam gerakan melengserkan Hosni Mubarak, baik yang turun ke jalan maupun tidak, adalah sebuah “mega-community” yang memiliki shared interest yang sama dan terkoneksi satu sama lain di dalam berbagai media sosial yang ada (blog, Facebook, Twitter, SMS, BBM, dll.). Melalui beragam bentuk conversation dan interaksi di media sosial, mereka mengelaborasi ide perubahan hingga akhirnya menggumpal menjadi gerakan politik massif.
Di akun Facebook “We Are All Khaled Said” yang terakhir memiliki lebih dari 40 ribu fans misalnya, informasi kepincangan sosial dan ide perubahan dielaborasi dan diinkubasi melalui beragam bentuk aktivitas conversation di dalamnya mulai dari chat, wall, diskusi, komentar, dan berbagi tulisan-foto-video antar anggota. Khaled Said adalah pemuda yang dipukuli polisi Mesir hingga kemudian meninggal dan dijadikan simbol perlawanan terhadap rezim Mubarak. Awalnya gerakan politik ini terbatas di media sosial, tapi karena begitu kuatnya shared interest mereka, akhirnya bermuara menjadi gerakan demonstrasi turun ke jalan.
Peran media sosial menjadi lebih krusial lagi ketika “mega-community” gerakan politik sudah begitu matang dan siap melakukan aksi turun ke jalan. Dalam tahap ini media sosial menjadi alat koordinasi gerakan yang sangat murah, mudah, dan efektif. Dengan blog, Facebook, atau Twitter anggota gerakan akan begitu mudah dan efektif dalam menggalang massa, menyebarkan isu gerakan, dan bahkan membakar semangat massa.
Untuk pertama kali dalam sejarah Timur Tengah, revolusi politik digerakkan oleh kekuatan horizontal dimana media sosial menjadi enabler-nya. “Tradisi” yang telah berlangsung puluhan/ratusan tahun adalah seorang pemimpin diktator ditumbangkan calon diktator berikutnya. Tapi saat ini di Mesir, perubahan fundamental sedang berlangsung. Tinggal tunggu waktu saja, Mubarak bakal dilengserkan, bukan oleh pemimpin-pemimpin hebat sekaliber Khadafi atau Khomeini, tapi oleh rakyat dengan katalis media baru yang anak-anak SD di Wonogiri pun menggunakannya tiap hari.
Revolusi Mesir memberikan pelajaran berharga bagi diktator-diktator, rezim-rezim, dan pemerintah tiran; bahwa Facebook dan Twitter kini menjadi “musuh paling berbahaya” mereka. ***
2 comments
[…] This post was mentioned on Twitter by Badroni Yuzirman and wasisgunarto, mistfeui. mistfeui said: Media Sosial dan Revolusi Horizontal Mesir: Saat saya menulis CROWD: Marketing Becomes Horizontal tiga tahun lal… http://bit.ly/f9EiYK […]
kalau untuk merubah sesuatu yang tidak benar di Indonesia apakah memungkinakan? misalnya korupsi dll