* Ini artikel saya di majalah Warta Ekonomi bulan November 2005 mengenai strategi blue ocean yang dijalankan Eos dan Maxjet.
Beberapa waktu lalu saya membaca sekaligus di Fortune dan The Economist berita mengenai dua maskapai penerbangan baru Eos dan Maxjet yang cool, karena idenya yang gila dan inovatif. Dua maskapai penerbangan ini memiliki konsep yang fresh yaitu apa yang disebut “high-end LCC” (low cost carrier). Kita yang di Indonesia barangkali aneh mendengar istilah tersebut. “LCC kok high-end alias premium?” Begitu kira pertanyaan yang muncul di benak. Ya, karena kita di Indonesia sudah keblinger mengartikan LCC.
Selama ini dunia penerbangan kita menyamaratakan konsep LCC dengan LPC (low price carrier). Itu sebabnya banyak perusahaan penerbangan tutup-bangkrut, karena “nggak tahan” terus-menerus menanggung turunnya tarif. Terus nombok. Turun tarif tapi tidak efisien, mana kuat? Mereka mikir, menjalankan konsep LCC adalah semudah menggelontorkan penurunan harga tiket. Itulah kesalahan terbesar mereka. Itu namanya LPC, asal murah, asal laku, tapi jatuh melulu. LCC sebaliknya, pangkas dulu lemak-lemak operasi, genjot dulu efisiensi, baru kemudian genjot penurunan tarif. LCC nggak mesti murah. Buktinya, sekarang ada high-end LCC.
Balik lagi ke Eos dan Maxjet. Dua penerbangan yang melayanai rute trans-Atlantik dari London ke New York ini memiliki konsep layanan yang unik karena sebagai penumpang Anda serasa terbang dengan pesawat pribadi (private jet), tapi dengan tarif yang lebih murah dari tarif kelas bisnis (business class) penerbangan reguler. Lho kok bisa? Karena Eos dan Maxjet habis-habisan memangkas biaya-biaya operasi yang nggak perlu. Ini dia baru namanya LCC.
Coba saja lihat layanan-layanan Eos berikut ini. Untuk melintasi Atlantik, Eos kini menggunakan Boeing 757 yang hanya diisi 48 tempat duduk. Bisa Anda bayangkan betapa leganya duduk di Eos, karena normalnya Boeing 757 diisi 180-250 tempat duduk. Dengan luas per penumpang (personal space) sebesar 21 kaki persegi Anda bisa melakukan in-flight meeting dengan nyaman, dan dengan kursi lipat yang bisa disulap menjadi kasur empuk 6 kaki kali 6 inci, Anda bisa tidur lelap sepanjang penerbangan. Dengan itu semua, Eos menawarkan privasi yang tak bisa dikalahkan layanan penerbangan first class manapun di dunia.
Menariknya, itu semua diperoleh dengan harga tiket yang sangat kompetitif. British Airways pasang tarif $8.572 untuk layanan business class (sekali lagi business class, bukan first class), sementara Eos hanya mematok $6.500. Dengan layanan di atas first class, Eos mampu mematok tarif di bawah tarif business class? Kenapa bisa begitu? Ya, karena Eos memangkas apa-apa yang ia tak perlu seperti in-flight entertainment, pengoperasian pesawat second-hand, penggunaan airport yang bukan main airport, dan sebagainya. Jadi konsepnya LCC, tapi layanannya kelas satu.
Mengamati Eos dan Maxjet saya jadi teringat ceramah Prof. Chan Kim bulan lalu di Hotel Ritz-Carlton Jakarta mengenai Blue Ocean Strategy. Kalau menggunakan istilah Prof. Kim, itulah yang disebut “value innovation” yaitu upaya untuk menaikkan setinggi mungkin manfaat kepada pelanggan dan secara bersamaan menurunkan biaya yang harus mereka keluarkan. Seperti pada kasus Eos di atas, value innovation telah memungkinkan pelanggan mendapatkan extraordinary value berupa privasi yang tak tertandingi dan extraordinary low price.
Sekilas rasanya mustahil, bagaimana kita bisa menaikkan value tapi sekaligus menekan cost? Karena biasanya kalau value-nya naik, secara otomatis cost-nya juga naik, karena kita perlu berinvestasi untuk menaikkan customer value tersebut. Di sinilah letak kehebatan konsep value innovation-nya Prof. Kim. Ia punya tool yang dia beri nama Strategy Canvas yang memungkinkan kita mengidentifikasi customer value mana saja yang harus kita tambah dan customer value mana saja yang sebaiknya kita pangkas. Strategi ”tambah-pangkas” inilah yang memungkinan kita mendapatkan paket produk/layanan dengan extraordinary value dan sekaligus extraordinary low price.
Bicara mengenai value innovation di bisnis penerbangan nasional, saat ini yang masih menjadi mainstream adalah konsep ”low-end” LCC yang dirintis oleh Lion Air 4-5 tahun yang lalu. Konsepnya sederhana, meniru persis Southwest di Amerika tahun 1970-an, yaitu di satu sisi menambah dan mempertahankan standard customer value berupa ketepatan waktu, frekuensi terbang, dan keamanan; dan di sisi lain memangkas customer value yang nggak perlu seperti makanan, in-flight entertainment, dan layanan-layanan lain yang ada di service airlines. Layanan-layanan itu memang sengaja dipangkas karena price-sensitive customer yang mereka target memang tak butuh semua itu.
Value innovation yang diperkenalkan Lion Air ini rupanya sukses luar biasa, tak heran kalau kemudian para copycat susul-menyusul mengikut langkahnya. Namun sayang, pasca langkah breakthrough itu dunia penerbangan kita kini mandul lagi, kehilangan inovasi dan kreativitas. Padahal kalau kita mau bicara potensi dan ukuran pasarnya masih sangat besar. Melihat kondisi ini saya meyakini, dalam waktu yang tak lama, industri penerbangan kita bakal diramaikan oleh pemain-pemain baru yang mengusung konsep value innovation yang baru lagi untuk mengisi ceruk-ceruk pasar yang sangat lukratif.
Tak tertutup kemungkinan konsep high-end LCC yang dijalankan oleh Eos dan Maxjet di atas memulai debut di Indonesia 1-2 tahun ke depan. Atau, konsep sharing ownership alias kepemilikan secara ”saweran” di antara beberapa pelanggan korporat untuk mendapatkan layanan corporate jet seperti yang dilakukan NetJet di Amerika. Kalau betul terjadi maka industri penerbangan kita masih akan terus menggeliat, berkembang demikian dinamis, dan masih terbuka ruang untuk mencapai era keemasannya kembali.
Kuncinya, harus banyak blue ocean player yang kreatif melakukan value innovation, selalu break industry rule of the game, tak gentar melupakan legacy masa lalu, dan berani take risk dan berpikir beda bukan medioker. Menariknya, umumnya pemain-pemain yang berani seperti itu bukannya incumbent yang sudah terlanjur besar dan mapan, tapi start-up yang sebelumnya tak dikenal, masih fresh & cool, entrepreneurial, risk-taker tulen, dan tak peduli kalau mereka gagal.***