Judul: Dealing with Darwin: How Great Companies Innovate at Every Phase of Their Evolution
Penulis: Geoffrey A. Moore
Halaman: 304
Penerbit: Penguin, 2008 (Paperback)
Geoffrey Moore adalah pakar yang piawai dalam “menjual” konsepnya. Untuk menjadi strategy thinker sekelas Michael Porter atau Gary Hamel dia hanya cukup menciptakan satu model yang kemudian “dieksploitasinya” habis-habisan. Model legendaris yang dikenal luas sebagai technology-adoption lifecycle itu hingga kini menjadi “cash cow” yang menjadi dasar bagi buku-buku larisnya, mulai dari Crossing the Chasm, Inside the Tornado, The Guerrilla Game, Living on the Fault Line, dan buku terakhirnya yang terbit akhir tahun 2005 lalu Dealing with Darwin.
Kalau Anda membaca empat bukunya yang lampau, Anda akan mendapati Moore mengupas satu-persatu kelima fase yang ada dalam technology-adoption lifecycle rekaannya yaitu: early market, growth market, mature market, declining market, dan end of life. Setelah keseluruhan fase habis dikupas, apakah kemudian Moore pindah ke lain hati dengan menciptakan model baru? Celakanya tidak! Moore tak pernah kehilangan akal untuk menjadikan modelnya itu sebagai “sapi perahan” untuk buku-bukunya selanjutnya.
Alih-alih membahas satu persatu fase di atas, dalam buku terbarunya Dealing with Darwin, Moore mencoba membahas keseluruhan fase dengan fokus kepada satu angle pembahasan, yaitu inovasi. Kenapa inovasi? Barangkali saja karena memang topik inovasi kini sedang ngetren dan “laku keras” untuk dijual. Coba saja lihat, Tom Peters bikin buku inovasi (The Circle of Innovation dan Re-imagined), Prahalad bikin buku inovasi (Fortune at the Bottom of the Pyramid), Tom Kelley bikin buku inovasi (The Art of Innovation dan The Ten Faces of Innovation), Gary Hamel bikin buku inovasi (Leading the Revolution).
Lepas dari kepiawaian Moore menjual konsepnya, harus diakui bahwa ia adalah sedikit pakar yang jeli melihat evolusi pasar dan ciamik memberikan resep-resep cespleng untuk merespon perubahan pasar tersebut. Tesis Moore dalam buku ini simpel dan tegas, bahwa perusahaan harus melakukan pendekatan inovasi yang berbeda-beda untuk setiap fase technology-adoption lifecycle yang dihadapinya.
Dengan cantik Moore berargumen bahwa sesungguhnya perusahaan hidup dalam sebuah market ecosystem di mana mereka berjuang mati-matian untuk bertahan hidup. Siapa yang tangguh akan hidup dan berjaya; sebaliknya, siapa yang loyo akan mati digerus oleh si tangguh—persis seperti teori survival of the fittest-nya Charles Darwin. Itu sebabnya kenapa ia memberi judul bukunya Dealing with Darwin.
Pertanyaannya, bagaimana perusahaan-perusahaan tersebut lolos dari kejamnya survival of the fittest ala Darwin? Di sinilah Moore mengeluarkan jurus-jurus inovasinya. Menurutnya, ada 15 jenis inovasi yang harus dilakukan oleh perusahaan untuk bisa lolos dari perangkap survival of the fittest dan kemudian sustainable. Ambil contoh di fase early market, perusahaan harus melakukan disruptive innovation untuk menciptakan kategori baru atau application innovation agar mampu melompati “celah” pasar (crossing the chasm). Begitu juga ketika perusahaan berada di mature market, ia harus jeli melakukan process dan value migration innovation.
Menariknya, jurus-jurus inovasi itu semakin ”saleable” di tangan Moore ketika ia mengemasnya ke dalam empat kategori inovasi yang kemudian dia embel-embeli dengan “brand name” yang sudah terlanjur kondang. Kenapa kondang? Karena ia meminjam konsep dan terminologi yang sudah dipopulerkan sebelumnya oleh Michael Treacy dan Fred Wiersema. Anda yang menyukai manajemen pasti familiar dengan Treacy-Wiersema yang kondang dengan bukunya The Discipline of Market Leaders. Dan Anda pasti juga familiar dengan tiga disiplin pemimpin yang mereka introduksi: product leadership, customer intimacy, dan operational excellence.
Singkatnya, Moore mengkategorikan kelimabelas inovasi tersebut ke dalam empat zona inovasi (innovation zone), yaitu: product leadership zone, customer intimacy zone, operational excellence zone, dan category renewal zone. Jadi, kalau Anda sedang berada di early market, lakukanlah inovasi untuk menciptakan keunggulan produk; ketika Anda berada di growth dan mature market, lakukanlah inovasi untuk menciptakan keintiman dengan pelanggan (customer intimacy) dan mendorong efisiensi (operational excellence); dan terakhir, kalau Anda berada di declining market, lakukanlah inovasi-inovasi untuk menciptakan kategori baru menggantikan produk Anda yang telah usang.
Kalau kita disuguhi film-film sekuel Hollywood—Star Wars, God Father, Harry Potter, Mission Impossible—terdapat kecenderungan bahwa di sekuel ketiga, keempat, dan kelima, biasanya film-film itu mulai kehilangan rohnya. Lebih celaka lagi, kalau memang si produser sudah kehabisan cerita, biasanya sekuel tersebut kemudian semakin tidak jelas ceritanya, ngalor-ngidul nggak keruan arahnya, dan mulai terlihat dibuat-buat.
Sebagai sekuel kelima dari rangkaian buah pikiran Moore, saya kira Dealing with Darwin masih punya energi dan pesona. Moore masih mampu mengeksploitasi konsep technology-adoption lifecycle rekaannya ke sebuah angle bahasan yang menarik dan diperlukan pembacanya, tanpa sedikitpun terkesan dibuat dan diada-adakan. Walaupun memang, seperti umumnya kecenderungan film sekuel di atas, buku ini tidak sehebat dan seesensial buku debutnya.
Kita masih menunggu terus sekual-sekuel Moore selanjutnya, semoga tetap berenergi dan masih menebar pesona.***